ALBERT EFFENDI

Nada Lingga Afrili
Chapter #18

18. Reuni Tiga Serangkai

2000 - 2003

"Halo? Kau di mana, Din?"

"Sudah di dekat bundaran air mancur, Bert. Kau sudah sampai?"

"Aku kena macet, Din. Mungkin beberapa belas menit lagi baru sampai. Dodo sudah kau hubungi? Dari tadi dia tak membalas pesanku, ditelepon juga tak diangkat-angkat."

"Sama, Bert. Dari tadi kutelepon juga tak diangkat-angkat. Mungkin dia sedang fokus mencari lokasinya. Maklum, kami berdua ini kan bukan orang Jakarta. Kalau tidak lihat peta mana bisa berkeliling di Jakarta?"

"Ya sudah. Jika kau sampai duluan langsung kabari aku, ya? Hati-hati di jalan, Din."

Sambungan telepon ditutup.

Albert melihat ke kanan. Puluhan kendaraan tak kunjung jalan, terhenti akibat macet sekaligus lampu merah. Untungnya sekarang jam setengah 8 malam. Kalau sekarang jam 12 siang, bisa-bisa mandi keringat seluruh pengendara di jalan raya itu.

Setelah beberapa belas menit menunggu akhirnya lampu lalu lintas itu berubah menjadi warna hijau. Dengan gesit Albert menyetir mobilnya agar cepat sampai di tujuan. Angin sepoi-sepoi yang masuk lewat jendela mobilnya membuat hatinya tenang. Sudah mulai terlihat pedagang-pedagang kaki lima yang berjualan di sepanjang jalan itu. Tempat yang disebut pasar malam itu mirip alun-alun Bandung. Banyak pedagang makanan yang berjualan dengan gerobak-gerobak mereka. Mereka berjualan di depan bangunan-bangunan tua yang masih bertahan di Jakarta. Sudah abad ke-20 dan masih ada bangunan tua berdiri tegak di Jakarta, itu adalah sebuah keajaiban.

Semua bangunan tua yang ada di Jakarta mulai berubah sejak beberapa tahun yang lalu. Bangunan tua digusur, dihancurkan, lalu mereka mengubahnya menjadi gedung-gedung tinggi yang memiliki banyak lantai. Gedung-gedung itu selalu silau untuk dilihat karena pantulan cahaya dari ratusan kaca yang menempel pada gedung tersebut. Dan bangunan-bangunan tua yang saat ini berada di kanan dan kiri jalan raya itu masih bertahan hingga sekarang. Bangunan itu sudah pasti sangat bersejarah sehingga tidak dihancurkan begitu saja melainkan dimuseumkan.

Jalanan di sini memang ramai, tapi tidak semacet pada saat lampu merah tadi. Albert mengendarai mobilnya dengan santai sambil mencari tempat yang akan ia tuju. Tak perlu menunggu lama tempat itu sudah terlihat dari dekat. Albert segera memarkirkan mobilnya di tempat khusus parkir yang sudah disediakan di sana. Setelah keluar dari mobil, Albert berjalan menuju tempat itu.

Itu hanyalah sebuah gerobak sederhana di depan bangunan tua. Gerobak yang menjual sate khas Madura. Albert sengaja memilih tempat untuk berkumpul dengan teman-temannya di situ karena ingin mengenang masa lalu mereka dengan kegiatan yang dulu sering mereka lakukan tiap malam Minggu.

Malam itu terasa menyenangkan. Udin tiba lima menit setelah Albert memesan 3 porsi sate pada penjualnya. Kemudian Dodo menyusul dari belakang Udin dengan wajah yang lelah karena ternyata Udin sempat kesasar setelah akhirnya berhasil menemukan tempat ini.

"Kau tinggal di Depok tapi kerja di Jakarta? Apa tidak jauh bolak-balik dari rumah ke kantor, Bert?" Tanya Udin sambil menyantap satenya.

Albert menggeleng. "Tidak, Din. Rumahku itu jaraknya dekat dengan perbatasan Depok - Jakarta. Makanya tidak jauh dan menguras waktu."

"Kau sekarang sibuk melakukan apa, Do?" Tanya Udin pada Dodo yang dengan lahap memakan sate-satenya.

"Aku memiliki usaha percetakan di Pemalang. Percetakan di sana sangat sedikit dan itu peluang bagus untukku membuka bisnis percetakan di sana. Sekarang percetakanku sudah ada tiga cabang di sana."

Lihat selengkapnya