ALBERT EFFENDI

Nada Lingga Afrili
Chapter #19

19. Map Merah

Siang itu keadaan kantor seperti biasa. Agak ramai karena sedang jam istirahat. Para karyawan yang bergaji UMR sudah menghilang entah ke mana, pastinya mereka mencari restoran yang murah agar isi dompetnya tidak meraung-raung. Para karyawan yang bergaji menengah sedang berkumpul di satu bilik untuk membicarakan mereka akan makan di mana.

Pada situasi itulah terlihat gelagat aneh dari dua karyawan yang tidak ikut mengumpul di bilik itu. Oman dan Ela hanya berjarak beberapa bilik dari tempat masing-masing. Sudah beberapa hari sejak kejadian waktu itu mereka belum juga berbicara satu sama lain. Entah karena gengsi atau apa, setiap mereka berpapasan pasti salah satu dari mereka langsung menghindar.

Sebelum salah satu karyawati di bilik yang ramai itu ikut beranjak ke luar ruangan untuk menyusul yang lain, karyawati tersebut menghampiri Ela dengan tatapan yang penuh perhatian.

“Kau masih belum mau berbicara dengannya? Ini sudah lebih dari 3 hari. Tidak baik bertengkar dengan seseorang lebih dari 3 hari.”

“Untuk apa aku berbicara dengannya? Yang ada hanyalah mendapat omong kosong darinya.”

Sebenarnya bukan itu yang ingin Ela katakan, namun ia tak mau rekan kerjanya itu mengetahui apa yang sebenarnya ia rasakan.

Sama-sama egois. Yang satu terlalu mementingkan diri sendiri sehingga tidak menyelesaikan pekerjaannya, yang satunya lagi tidak mau tahu urusan di luar pekerjaan. Jika mereka adalah sepasang suami istri, maka hancur sudah hubungan itu hanya dalam beberapa menit sejak hubungan itu dimulai. Kepala yang sama-sama dipenuhi ego seperti itu memang sangat susah untuk disatukan.

“Tapi jika terus-terusan seperti ini nanti kau sendiri yang rugi,” ucap karyawati itu. Tangannya kini memegang pundak rekannya dengan rasa khawatir.

“Kenapa jadi aku yang rugi?”

“Kau membutuhkannya untuk hal-hal tertentu. Memangnya kau bisa menghadap bos langsung untuk meminta tanda tangan? Selama ini, kan, kau meminta bantuan Oman karena di kantor ini memang ia yang paling hebat dalam urusan mengambil hati seseorang. Jika kau terus-terusan begini yang ada pekerjaanmu tidak akan selesai-selesai dan masalah akan terus berjalan tanpa ada titik terangnya. Kau mau seperti itu? Ingat, kau juga seorang ibu sekaligus tulang punggung keluarga. Jika kau tak mau menurunkan ego dan gengsimu, makan nasibmu-lah taruhannya.”

Setelah itu si karyawati pergi menyusul teman-temannya. Ucapannya terngiang di kepala Ela. Ela tak berpikir panjang tentang hal itu. Meskipun ia masih membenci Oman, tetapi memang betul bahwa dirinya sangat membutuhkan bantuan Oman dalam hal pekerjaan. Kalau bukan berkat Oman bisa-bisa ia tak dapat bertahan di perusahaan ini.

Lama sekali Ela berpikir keras sampai-sampai ia tak sadar bahwa Oman sudah berada di sampingnya dan memanggilnya berkali-kali.

“La? Ela? Hei, Ela?”

“E-eh? Maaf tadi aku melamun.”

Ela sempat berpikir bahwa sepertinya kali ini ia akan dicaci maki kembali oleh Oman. Ia sudah mempersiapkan dirinya untuk itu, jadi ia menghirup udara sebanyak mungkin dan menghelanya dengan wajah tenang yang agak dipaksakan. Ela membenarkan duduknya dan sekarang ia sudah menghadap ke arah Oman.

“Ada apa?”

Lihat selengkapnya