“Kudengar Tuan George yang menguasai perbatasan dibunuh.”
“Yang benar? Burung-burung Flagel juga katanya bermigrasi besar-besaran.”
Arthur Fox sebagai seorang lelaki sejati yang tak sengaja menemukan dua gadis tanggung di jalanan, berduaan, malam-malam, merasa perlu andil dalam pembicaraan itu untuk mengungkap eksistensinya. “Benarkah? Sepertinya kiamat sudah dekat.”
Seorang gadis berkulit kemerahan dengan pipi bintik-bintik bernama Caroline, menatapnya balik, bergiddik dalam keterkejutan, dan hampir menjatuhkan lampu petromaknya kalau-kalau kawannya tidak menahan
Gadis lain bernama Diana langsung mencak-mencak. “Pergi sana.”
“Kalian ini dingin sekali, padahal niatku baik.”
Diana yang memang tampilannya sudah menyerupai lelaki—rambut sebahu, sepatunya berupa bot lusuh dengan sol hampir robek, dan pakaiannya adalah tunik kecoklatan yang kusam alih-alih gaun atau korset—kini nampak lebih jantan ketika maju menantang Arthur dan mengepalkan tangan. “Hah. Baik apanya? Mana mungkin kami percaya orang yang kerjanya setiap hari cuma membual dan melecehkan—”
“Hei, hei. Jaga mulutmu, Manis. Melecehkan? Ya ampun, kalian dengar gosipnya darimana? Jelas-jelas mereka sendiri yang sukarela meminta untuk ditiduri karena tak tahan dengan pesona—hei, jangan tinggalkan aku sendiri disini.” Arthur tergopoh-gopoh menyusul dua gadis itu yang sudah kembali berlalu.
Arthur terengah-engah setelah akhirnya berhasil mengimbangi. Gadis-gadis ini staminanya boleh juga. Pikirannya langsung melayang kepada hal yang tidak-tidak. “Dengar, aku cuma ingin mengobrol. Bertiga. Lihat? Bahkan jika aku berani macam-macam, aku tetap kalah jumlah. Dan…, kau bilang kalau George mati, benar begitu?”
Suara anggun milik Caroline yang menjawab gugup. “Y-ya. “
Arthur kali ini yang merinding. “Baiklah, ini terdengar semakin buruk. Aku juga dengar proyek pertambangan di Braun dihentikan kerajaan, mereka bilang karena keterbatasan fasilitas dan pekerja, tapi aku dengar gosip aneh yang menarik. Katanya para pekerja menghilang tanpa jejak dan tempat mereka bekerja dihancur-leburkan oleh sesuatu. Sekarang seorang Lord yang dibunuh. Para hewan pada gelisah. Kalian tahu apa artinya?”
“Ehmm…, pertannda bencana?” Caroline menebak.
Arthur cuma tersenyum manis. “Jawaban yang bagus, tapi kurang tepat. Ini lebih seperti sesuatu yang jahat, terkutuk, dan siap menghancurkan segalanya. Seperti draga—”
Diana mendengus. “Jadi ini tehnikmu memikat para gadis? Mengatakan kalau besok kiamat dan cara terbaik menghabiskan sisa waktu di bumi adalah dengan saling berbagi kehangatan?”
“Oh, Manis, kau memang pintar. Tapi itu keliru.” Arthur mengelus dagu, “Tapi idemu bagus juga. Mungkin akan kupratekan kapan-kapan.”
Diana berdecak. “Keliru? Para draga terakhir muncul tigaratus tahun yang lalu—”
“Tiga ratus tigapuluh tiga tahun. Dan masih ada sampai sekarang.” Arthur mengedikkan bahu, “Semua hal tentang itu; kepunahan, saling menghancurkan atau memakan, adalah kebohongan orang-orang dewasa lainnya ketika masih kecil. Mereka yang masih terperangkap oleh dongeng itu…, yah, kalau bukan orang dungu, ya delusional. Tidak bermaksud menyinggung.”
Namun, muka Diana sudah merah dan sendi-sendi wajahnya mengeras marah. “Aku juga bisa katakan kalau aku punya testis sekarang, tapi tentu orang-orang tidak akan percaya kalau aku tidak akan tunjukkan bukti. Bukankah itu yang seharusnya kau berikan dari tadi? Bukti?”
Menanggapi itu, sebenarnya Arthur belum siap. Faktanya, yang dia punya cuma sekumpulan berita angin tak mengenakkan dan prediksi asal, sisanya dibuat-buat supaya semakin seru.