ALeha

Lovaerina
Chapter #3

Bagian 2

"Leha ogah dikawin paksa, Beh!" Gadis berambut panjang menekuk kedua tangan, meletakannya di depan dada. Bibir tebal pun mengerucut tanda tidak suka.

"Kenapa sih malam-malam ribut?" Bu Maesaroh, alias istri Pak Marzuki datang dengan secangkir besar teh tubruk untuk sang suami.

Pak Marzuki menjelaskan duduk perkara yang dibahas oleh para warga bersama lurah dari Eksodus di balai desa tadi. Hasil kesepakatan akhir untuk menciptakan perdamaian di antara dua kelurahan dengan wilayah paling besar di Eksoluksien itu, adalah menikahkan putra putri para lurah.

Bu Maesaroh menatap putri bungsunya. Gadis bernama Siti Sooleha tersebut memang sedikit berbeda dari perempuan kebanyakan. Sooleha tidak suka diatur, berjiwa santai yang benci sekali dengan segala bentuk peraturan. Sikapnya lumayan urakan untuk ukuran seorang gadis.

"Duduk dulu, Neng. Kan bisa diomongin secara baik-baik. Enggak usah pake urat," ujar Bu Maesaroh.

Sooleha masih bersungut, tetapi menurut duduk di sebelah kiri Pak Marzuki, berhadapan dengan Bu Maesaroh.

"Emangnya kenapa Neng enggak mau kawin sama anaknya Pak Tuman? Emak sering denger tuh cabe-cabean di gang depan suka gibahin dia, pada rebutan dikawinin. Kata mereka ganteng." Bu Maesaroh belum pernah bertemu langsung dengan sosok yang digadang-gadang akan menjadi menantu.

Namun, desas-desus yang menyebarkan berita burung bahwa tampang anak bujang Pak Tuman sangatlah rupawan. Ibu-ibu berlomba menjadikannya menantu. Para abege memimpikan bisa dipersunting.

"Katanya mirip oppa-oppa Korea," imbuh Bu Maesaroh. 

"Kreo kali, Mak!" gerutu Sooleha.

Bibir tebal Sooleha semakin manyun. Sepertinya dia tidak setuju anggapan yang mengatakan bahwa putra bungsu Pak Tuman masuk dalam kategori idaman kaum hawa.

"Leha kan bukan cabe! Selera Leha beda kelas!" Si gadis terus bersungut menyerukan penolakan tegas. 

Oh jelas saja. Putri bungsu kesayangan Bu Maesaroh bukan sejenis cabe-cabean. Dia lebih hot dibanding cabe mana pun. Mahal, tidak terhingga nilainya.

Pun demikian, Bu Maesaroh menyarankan putrinya untuk mencoba berkenalan saja dulu. Siapa tahu memang cocok. Dengan begitu Bu Maesaroh bisa berbangga diri karena mengalahkan ibu-ibu yang lain.

"Gebetan Leha lebih ganteng, Mak, Beh! Sehun Exo yang katanya titisan dewa aja kalah ganteng dari gebetan Leha!" pongah si bungsu.

Pak Marzuki menyeruput teh tubruk tanpa peduli. Omongan Sooleha ibarat masuk telinga kanan dan langsung keluar di telinga kiri. Sedangkan Bu Maesaroh tampak mencari solusi. Sebenarnya, jabatan lurah itu lebih cocok untuk Bu Maesaroh, karena selama ini beliau yang sering kali mengambil keputusan dan Pak Marzuki hanya menjalankan.

"Leha mau minggat aja ke rumah aki sama nini," ancam Sooleha.

Pak Marzuki masa bodoh dengan ancaman tersebut. dia mencomot pisang goreng yang masih mengepulkan asap, baru saja diangkat dari penggorengan.

"Fuh … fuh …" Pak Marzuki meniup pelan pisang goreng lalu melahapnya penuh kenikmatan.

Sooleha berdecak sebal lantaran diabaikan oleh ayahnya.

"Beh, Leha minggat beneran nih ya!" Sooleha mengancam lagi.

"Ya. Hati-hati di jalan, Neng, " sahut Pak Marzuki, masih asik mengunyah pisang goreng.

Sooleha yang merasa tidak dihargai, segera mengentak kaki menuju kamar. Dia akan mengemas semua barang dan dibawa pindah ke tempat kakek neneknya sekarang juga.

Plak!

Bu Maesaroh menampol tangan Pak Marzuki. Pisang goreng yang masih setengah, tercebur ke dalam cangkir berisi teh.

Lihat selengkapnya