"Muka lo kenapa, Neng? Kucel amat kaya cucian kotor." Ujaran itu menyapa gendang telinga gadis yang tengah dilanda gundah.
Sooleha menoleh lantas mendengkus kesal. Dia sedang duduk di trotoar sekitaran pasar induk Tanah Eyang. Junedi, tangan kanan Sooleha menghampiri bersama dua ajudannya -Apan dan Apin.
Lelaki bersurai merah dengan tato setangkai mawar di lengan kiri itu duduk di sebelah kanan Sooleha. Sementara Apan dan Apin hanya berdiri saja. Apan dan Apin bukan saudara kembar. Apan bernama asli Didik sedangkan Apin memiliki nama lahir Doni. Mereka diberi julukan Apan dan Apin hanya karena keduanya sama-sama tidak memiliki rambut.
"Kenapa? Geng Kapak Pelangi bikin kacau lagi?" terka Junedi.
Sooleha menggeleng. "Bukan, Bang. Hati Leha yang kacau."
Sepanjang sejarah karir Sooleha memimpin Persatuan Sobat Santuy, baru kali ini dia berbicara soal hati. Junedi jadi was-was. Dia mengepalkan kedua tangan, bersiap menghajar siapa saja yang berani membuat atasannya ambyar.
"Bilang sama Abang, siapa yang bikin Neng sakit hati?!"
Apan dan Apin pun mengambil ancang-ancang. Tidak butuh pasukan untuk menghabisi siapa pun lelaki itu, mereka berdua saja sudah cukup.
Sooleha mengembus napas perlahan. Dia senang diperhatikan seperti itu, ketika keluarganya mengabaikan. Nanti Sooleha akan berterima kasih kepada Kakek Sadeli yang sudah mewariskan kepemimpinan padanya.
Dulu sekali, keamanan di wilayah pasar tersebut dijabat oleh Kakek Sadeli. Beliau amat disegani oleh para jawara. Kemudian ketika merasa usia semakin renta, Kakek Sadeli mencari pengganti. Daeri yang semula ditunjuknya, ditolak massa. Daeri itu terlalu penyayang dan pemaaf terhadap sesama. Tidak bisa kalau harus menghadapi begundal-begundal dari kelompok lain dan menjaga keamanan Tanah Eyang.
Alhasil, Sooleha menawarkan diri. Pasalnya sejak duduk di bangku SMP, Sooleha memang sudah bergaul dengan para bawahan Kakek Sadeli. Bahkan terlihat sekali jiwa kepemimpinan bocah perempuan tersebut.
"Hati Leha enggak sakit, Bang. Cuma kacau," tukas Sooleha.
Junedi menggaruk tengkuk. Apa bedanya? Dia tidak mengerti.
Ah, perempuan memang sulit dimengerti.
"Pasti soal Neng mau dikawinin sama anaknya lurah sebelah 'kan?" celetuk Apan menduga, ternyata dia lebih up to date dibanding Junedi.
Salahkan saja Junedi yang terlalu sibuk mengurusi kebucinan sendiri kepada calon istri, sampai-sampai dia tidak mengetahui trending topic di Kota Eksoluksien.
"Au ah, capek. Mau jadi gedebok pisang aja." Sooleha manyun. Dia benar-benar muak mengingat perjodohan itu. Ingin terbebas, tetapi tidak tahu bagaimana caranya.
Namun, bibir manyun Sooleha berubah seketika kala melihat sang pujaan hati berjalan ke arahnya. Senyum manis segera terbit, dia pun lantas bangkit.
"Pagi semua." Sehan selalu ramah menyapa, itulah mengapa Sooleha menjadi semakin jatuh cinta.
"Pagi …" sahut Sooleha, "... sayang," imbuhnya berbisik.
Sehan hanya menyapa singkat diiringi senyum hangat, tetapi begitu saja sudah membuat jantung Sooleha berdegup hebat. Apalagi kalau nanti Sehan menyatakan cinta kepadanya. Duh, bisa-bisa Sooleha pingsan di tempat.
Membayangkan setiap pagi saat membuka mata, hal pertama yang dilihat Sooleha adalah wajah tampan Sehan dengan senyum menawan juga sapaan lembut disertai kecupan. Apa tidak indah?