"Bodoh!"
Satu pukulan keras mendarat di kepalanya. Aleta tak menangis, sepertinya ia sudah terbiasa oleh rasa sakit itu. Matanya hanya menatap kosong ke lantai, menahan sesuatu yang lebih dari sekedar tangis. Mungkin luka yang sudah lama membatu.
"Lima kali tiga aja, kamu gak tahu!" Pekik Sadam sambil memukuli anak semata wayangnya itu lagi, kali ini dengan gagang sapu yang kuat dalam cengkraman. Sedangkan, Wina, istrinya yang baru saja kembali pulang dari ladang, muncul dari pintu rumah dan hanya menyaksikan anaknya dipukuli.
"Lima kali dua berapa?!" Lanjut Sadam.
Hening.
Aleta, gadis berkulit kuning langsat dengan tubuh tinggi semampai, duduk membisu. Wajahnya pucat, sorot matanya memancarkan ketakutan yang tak bisa disembunyikan. Perlahan, pandangannya terangkat, menatap langit-langit ruang tamu yang kusam oleh bercak rembesan air membentuk pola-pola tak beraturan, seolah menyimpan masa lalu yang suram.
Ruangan itu sudah tak lagi layak disebut ruang tamu. Udara di dalamnya terasa pengap, bukan hanya karena sirkulasi yang buruk, tapi karena kenangan-kenangan pahit yang menggantung di setiap sudut, membebani suasana seperti jeruji tak kasatmata. Lebih mirip penjara daripada tempat menerima tamu.
"Ayo, jawab?!"
Aleta menelan saliva. "Du-dua belas, Ayah."
"Bodoh!" umpat Sadam dengan pukulan yang lebih keras mengenai kepala Aleta lagi. "Mau jadi apa, kamu?! Menghitung perkalian saja tidak bisa!"
Sadam, pria berusia empat puluh tahunan itu melemparkan buku paket Matematika yang sedari tadi ia genggam ke atas meja kayu reyot, sehingga menimbulkan bunyi khas yang memecah ketegangan. Tak lama, ia beranjak. Sapu di tangannya ia lempar sembarangan ke lantai, tanpa peduli arah, seakan melampiaskan rasa kesal dan amarah yang kian memuncak. "Bersiaplah untuk selalu direndahkan orang jika memang kamu ditakdirkan sebagai gadis yang bodoh!" bentaknya tajam, menusuk langsung ke dada Aleta. Bukan oleh suaranya. Namun, lebih kepada makna yang diterimanya.
Namun, air mata Aleta tak jatuh. Hanya menggenang di pelupuk, tertahan kuat oleh harga diri yang entah masih ia punya atau hanya sisa-sisa dari luka lama. Ia bergeming, membeku. Seperti biasa, ia menyimpan semuanya sendiri.
Sadam kemudian mengalihkan pandangannya pada Wina, dengan sorot mata penuh perintah. Tanpa berkata banyak, ia hanya menggerakkan dagunya sedikit. Sebuah sinyal yang jelas bahwa ia ingin dibuatkan kopi sesaat sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan ruangan itu.
Wina kemudian mengangguk pelan, lalu beranjak dari kursi yang bahkan tak pantas disebut sofa. Sebelum melangkah, matanya sempat menoleh ke arah Aleta. Namun, tatapannya kosong, tanpa jejak empati dan rasa peduli. Lalu, ia melewati gadis itu begitu saja dan berjalan menuju dapur dengan langkah ringan, seakan tak menyimpan beban selain rasa letih setelah seharian penuh ia bekerja.
Wina memang selalu seperti itu. Ini tak sekali dua kali Aleta dibiarkan seolah tak berharga di mata Ibunya. Pernah, ketika Aleta menangis karena dihukum Sadam, Wina hanya diam, seolah tak punya kendali sebagai sosok pelindung.
Ia lebih sering membela Sadam, meski jelas-jelas lelaki itu salah, bersikap kasar kepada anak gadisnya. Bagi Aleta, ibunya bukan rumah untuknya pulang, melainkan bayangan yang samar–ada, namun tak pernah benar-benar hadir.
Beberapa menit kemudian, Wina kembali sambil membawakan secangkir kopi. Namun, sebelum kopi panas itu ia hidangkan kepada suaminya, ia berhenti di hadapan Aleta yang masih duduk membisu. Mata Aleta menatap sang ibu yang benar-benar tak membuat dirinya merasa aman.
"Sebentar lagi jam dua. Kamu siap-siap pergi, jemput adik kamu dari sekolah!" jelas Wina. "Kalau gurunya nagih uang buku, bilang aja nanti dibayar."
Aleta beranjak, "Tapi, Bu–"
"Gak ada tapi! Udah cepet sana, pergi!"
Jawaban itu seperti cambuk yang menghantam Aleta. Ia terdiam, bibirnya mengatup. Sejenak ia menatap ibunya—berharap ada sedikit saja pengertian di wajah itu. Namun, yang ia temukan hanyalah dinding keras yang tak bisa ditembus. Dengan kepala tertunduk, Aleta melangkah pergi, menahan gemetar di jemarinya yang mengepal erat.
****
Lima belas menit menunggu, akhirnya terdengar suara riuh anak-anak memberi salam perpisahan—pertanda kelas telah usai. Kemudian, Aleta bangkit dari duduknya, lalu perlahan melangkah mendekati ambang pintu. Bulat bola mata coklatnya mencari sosok kecil yang paling ia kenal di antara kerumunan anak-anak yang mulai berhamburan keluar kelas.
“Kak Alet!” seru suara familiar itu.
Aleta langsung melambai-lambaikan tangan, senyumnya merekah begitu melihat seorang gadis kecil berkepang dua berlari ke arahnya. Kulit gadis itu kecokelatan, matanya berbinar penuh semangat. Ransel merah muda bergambar boneka beruang itu bergoyang-goyang di punggungnya seiring langkah kecil yang tak sabar menghampiri.
Begitu sampai di depan Aleta, Lili, gadis kecil itu langsung memeluk pinggang kakaknya erat-erat. "Hari ini aku dapat bintang lagi, Kak!" katanya bangga sambil memperlihatkan kertas bergambar bintang emas yang sedikit kusut di tangannya.
Bola mata Aleta perlahan berbinar saat mengamati goresan pensil yang memenuhi kertas itu. Gambar itu sederhana, namun sarat makna—sebuah rumah mungil lengkap dengan pohon rindang, bunga-bunga di halaman, dan tiga sosok yang berdiri berdampingan di depan pintu. Wajah-wajah itu digambar dengan senyum lebar, seperti potret kebahagiaan yang dirindukan.
“Ini Ayah,” kata Lili sambil menunjuk ke sosok pria yang di gambar paling tinggi. “Ini aku … dan ini Ibu.”
Aleta hanya mengangguk dengan senyum. “Kok, Kak Aleta gak ada?” tanyanya.
“Ceritanya, Kak Aleta lagi gak ada di rumah. Makanya gak sempet foto bareng,” jawab Lili polos.