ALETA

essa amalia khairina
Chapter #2

BAB 1

Bel sekolah berbunyi khas, membuat para murid segera melangkah masuk melewati gerbang sekolah. Mereka membanjiri koridor, langkah-langkah kaki berpadu dengan suara tawa dan percakapan yang riuh memenuhi udara pagi di SMA Pelita Harapan Bandung.

Namun tidak dengan Aleta. Ia melangkah, namun tatapannya kosong, menandakan pikirannya yang tertinggal entah dimana. Bekas rasa sakit akibat jatuh terlempar oleh sepeda motor kemarin yang tidak bertanggung jawab pun kian terasa di tubuhnya. Setiap gerakan kecil menghadirkan rasa nyeri yang menyebar.

“Whaw! Ada cewek rata baru dateng, nih!” seru suara familiar yang membuat perut Aleta mulas ketakutan. 

Cewek rata–sebab Aleta memiliki tubuh tinggi semampai, namun berat badannya kurang dari berat ideal. Tawa pecah disekelilingnya membuat beberapa murid lain ikut melirik dengan rasa penuh ingin tahu. Begitu juga dengan ketiga lelaki di ujung koridot yang semula bersandar di dinding sambil bercanda, kini bergeming dan ikut memperhatikan.

“Eh, baju lo belum ganti?” seru gadis lainnya. Gadis itu memang canti, wangi, dan selalu menjadi pusat perhatian bagi siapupun. Ia juga cukup pintar dan beberapa kali pernah memenangkan piala perlombaan di sekolah.

Namun, semua itu seakan tak berarti saat mulutnya selalu melontarkan kata-kata tjam dan menusuk di hati Aleta. Tatapannya kali ini bukan tatapan ramah seorang juara, melainkan sorot mata yang perlahan menguliti Aleta di depan banyak orang. “Coba deh lo, ngaca! Baju lo lecek. Yaaaa, minimal jangan kelihatan banget kalau itu baju dikasih dari sumbangan!”

“Kasian banget, dia,” gumam salah satu lelaki yang tadi di koridor. Namun, nada suaranya terdengar seperti campuran antara simpati palsu dan ejekan yang disengaja.

Lain halnya dengan Kaisan Eka Prawira. Ia mengepalkan ruas-ruas jemarinya seolah merasa jengkel oleh pernyataan itu. Di sisi lain, ia melihat ekspresi gadis yang membuatnya tersenta.

Aleta. Ternyata dia adalah gadis yang ia tabrak kemarin malam. Wajah pucat itu, sorot mata yang berusaha tegar, dan langkah kaki akibat luka, semuanya langsung memanggil kembali bayangan kejadian semalam. Sesatu di dadanya terasa mengeras, entah rasa bersalah atau amarah pada orang-orang yang kini menertawakannya.

“Kasih tuh cewek,” kata teman satuna lagi. “Gue perhatiin dari awal semester dia masuk, selalu jadi korban buli geng Stefani.”

Kaisan menatap Elang, temannya. “Lo tahu siapa, dia?”

“Namanya kalau gak salah Al …”

“Aleta,” potong Genta. “Kenapa? Lo mau belain dia?”

“Ya elah, Kaisan Eka Prawira di lawan!” celetuk Elang. “Yang ada, si Stefani klepek-klepek sama bos kita! Mending, kalau bos kita mau!”

“Tapi ….” Mata Kaisan masih lurus menatap Aleta yang masih berdiri di tengah kerumunan. “Gue baru liat tuh cewek hari ini.”

Aleta tampak berusaha menahan diri, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh, seolah mencoba menahan gemetar. Wajahnya datar, tapi sorot matanya menyimpan letupan yang hampir pecah.

Genta tertawa sembari merangkul pundak sahabatnya itu. “Bro, lo nya aja yang terlalu sibuk. Jadi gak sempet ngurusin hal beginian!”

Elang menjenjentikkan jari. “Anak gubernur gak harus tahu semuanya tentang masalah orang. Kecuali ….”

“Kecuali?” Bola mata coklat Kaisan menyipit.

Elang menopang dagunya dengan jemari. “Gak ada salahnya juga, si kalau lo belain tuh cewek. Kasian juga gue liatnya.”

“Kaisan, Elang, Genta!” seru seseorang mengejutkan.

Tanpa hitungan, ketiganya menoleh menatap Bu Tari, guru produkti desain, sekaligus wali kelas mereka yang terkenal tegas namun bersahabat.

“Kenapa kalian masih ada disini?!” protes wanita berusia kepala tiga itu. “Kalian gak denger kalau udah jam masuk pelajaran?”

“Denger, Bu,” kata Genta, berusaha membela diri. “Tapi yang lain juga masih nimbrung disana, kok!” Mata Genta lau menuntun pandangan Bu Tari ke arah kerumuman, seakan ingin menunjukkan bahwa ia tidak sendirian. “Tanggung Bu, lagi rame.”

Bu Tari menggeleng. “Kalian masuk ke kelas sekarang juga, biar mereka yang Ibu urus.”

Elang menatap Bu Tari penuh permohonan. “Tapi, Bu. Kaisan katanya mau–”

“Mau, apa?!” potong Bu Tari, tegas. “Cepat kalian masuk kelas! Mau Ibu kasih point?!”

Genta mengangguk, begitu juga Elang. Keduanya tampak ciut di bawah tatapan tajam Bu Tari. Sementara, Kaisan hanya ikut mengangguk, mengikuti langkah kedua sahabatnya meninggalkan tempat. Namun, sebelum benar-benar pergi, matanya sempat melirik kea rah Aleta yang masih berdiri di tengah kerumuman–sendirian, menunduk, dan memeluk buku erat-erat seakan itu pelindung satu-satunya.

“Kaisan, lihat apa kamu?!” timpal Bu Tari.

Kaisan menggeleng. “Oh, anu, Bu. Itu …”

“Itu apa?!”

“Ibu cantik, hehe!” celetuk Kaisan. “Tapi, lebih cantikan Ibu akuuuuu!” Jelasnya sembari terbirit lari masuk ke dalam kelas.

“Kaisaaaaaan!”

****

Suara guru terus mengalun lantang. Namun bagi Kaisan, setiap kata hanya terdengar seperti gema yang jauh dan tak mampu ia tangkap maknanya. Pandangannya lurus memandang papan tulis, namun kosong.

Aleta–wajahnya yang muram, tatapan matanya yang seolah menyimpan luka yang dalam semakin membuat Kaisan dihantui rasa bersalah. Peristiwa malam itu hingga peristiwa tadi pagi menampar nuraninya. Seandainya saja ia bisa menampakkan jati dirinya sebagai seorang lelaki yang bertanggungjawab. Seandainya saja ia lebih cepat bergerak. Seandainya saja ia berani bicara.

Pengecut!

Sebuah bisikan terngiang dikepalanya. Tangannya mengepal di bawah meja. Ada dorongan untuk menebus semuanya. Ia menarik napas panjang, mencoba mengusir resah yang semakin menggeliat di dadanya. Kemudian, ia mengangkat tangan ke udara, memanggil perhatian sang guru dan pasang mata murid termasuk Genta dan Elang memandangi geraknya yang kini beranjak dari bangku belajarnya.

“Ya, Kaisan? Kamu mau jawab pertanyaan ini?”

Kaisan menggeleng. “Saya mau izin ke toilet, Bu.”

Genta yang disebelahnya menepuk jidat sambil memandang Elang yang ada disebrangnya. Keduanya saling menatap seolah tengah berbicara tanpa kata.

Bu Tari menggeleng. “Tapi kamu ngerti kan penjelasan materi ini?”

“Aduh bu. Kebelet, nih! Kalau aku bilang ngerti, Ibu pasti mau tanya aku soal materi ini, kan? Gimana kalau disini tiba-tiba banjir terus bau pesing?” celetuk Kaisan beralasan sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan seolah tengah menahan sesuatu dari bawah.

“Ya ampuuuun ...!” Bu Mira beranjak dari kursi sambil membuka pintu kelas lebar-lebar. “Ya udah, sana!” Perintahnya. “Jangan, lama! Materi ini penting buat kamu. Soalnya minggu depan kita ulangan harian!”

Kaisan hanya mengangguk, lalu terbirit pergi meninggalkan kelas. Sementara, Bu Tari yang masih berdiri di ambang pintu, mencondongkan kepalanya ke depan, matanya terus mengikuti punggung Kaisan yang semakin menjauh nyaris berbelok di tikungan koridor.

“Kalau belok ke kiri, berarti dia benar pergi izin ke toilet,” gumamnya yang tanpa sengaja suaranya terdengar oleh Genta dan Elang. “Gak biasanya dia izin.”

“Bu!” ucap Elang, membuat Bu Tari tersentak dan berhasil menarik matanya dari arah koridor.

Bu Tari menarik napas, memaksakan senyum. “Apa?”

“Materinya, Bu. Bisa kita lanjut, Bu?” pinta Elang dengan nada sopan, meski matanya sedikit melirik ke arah pintu seakan tahu antara Bu Tari sedang penasaran dan Kaisan, sahabatnya, sedang melakukan sebuah rencana yang membuat dirinya juga ingin tahu.

Sekejap, Bu Tari berpaling ke arah luar.

“Iya, Bu,” tambah Genta. “Ibu ngapain disana? Ibu mau ke toilet juga?” Celetuknya. Membuat sebagian murid yang mendengar terkikik pelan.

Bu Tari menoleh kea rah Genta, memberi tatapan setengah heran dan setengah ingin menegur. “Kalian, ini …!”

Lihat selengkapnya