“Lepas!”
Suara Aleta pecah, lebih keras dari biasanya. Kaisan sontak terdiam, lalu menuruti. Ia melepaskan genggamannya dan membiarkan tangan gadis itu bebas.
Sesaat, keheningan menggantung di antara mereka. Aleta menarik tangannya cepat, lalu memeluk dirinya sendiri seakan itu adalah perisai yang bisa melindunginya. Nafasnya memburu, matanya bergetar menahan sesuatu—marah, takut, juga luka lama yang tiba-tiba terbuka.
Keduanya saling berdiam diri di koridor yang mulai sepi. Hanya suara langkah siswa lain yang samar-samar terdengar dari ujung bangunan. Kemudian, Kaisan selangkah maju lebih dekat.
"Aku tahu ini sangat sulit bagimu," kata Kaisan memandang gadis itu dari tampak samping. "Tapi, diam bukan selamanya emas. Karena ada sebagian dari mereka yang tidak pernah memaknai diam kita, A-Aleta."
Aleta menatap lurus lelaki yang cukup dekat dengannya. "Da-darimana kamu tahu namaku?"
Kaisan mencondongkan tubuhnya sedikit, matanya tidak lepas menatap Aleta yang kini tampak gugup. Bibir Kaisan terangkat, membentuk senyum tipis yang hangat.
“Kenapa? Kaget?” tanya Kaisan pelan, suaranya terdengar setengah mengejek namun juga penuh rasa ingin tahu.
Aleta mundur setapak, jari-jarinya menggenggam erat tali tas seolah mencari pegangan. “Aku … aku nggak pernah bilang ke kamu, kan?”
Kaisan mengangkat alis, masih menatapnya seakan membaca seluruh isi kepalanya. “Memang. Tapi bukan berarti aku nggak bisa tahu.”
Deg. Jantung Aleta berdegup lebih keras. Ada rasa cemas yang sulit ia kendalikan. “Maksud kamu, apa?"
“Nama kamu terlalu sering disebut orang lain. Gimana mungkin aku nggak dengar?”
Aleta terdiam. Wajahnya memanas, antara takut dan bingung.
"Kamu sendiri?"
"A-Apa?"
"Kenal aku?"
Aleta menggeleng tanpa suara.
Kaisan mendesis. "Masa iya, kamu gak kenal aku? Serius?"
Aleta memberanikan diri membalas tatapan Kaisan lebih lekat. Tidak asing, memang.
Mata itu, ia pernah melihatnya. Kilasan samar menyeruak dalam ingatan—mata yang pernah memandangnya tanpa sanggup menyelamatkan. Bahkan, membiarkannya dan pergi begitu saja.
Berani mengakui kesalahan itu adalah hal yang sulit untuk kita lakukan. Tapi itu harus.
Bunda. Batin Kaisan menegang sejenak. Senyum tipis yang tadi menghias bibirnya perlahan memudar, berganti dengan sorot serius. Nyaris kepada cemas. "Sudahlah, lupakan!" Lirihnya memalingkan wajah. "Maaf, ini sudah waktunya ke kelas. A-Aku harus pergi."
Kaisan segera berbalik, langkahnya tergesa seakan ingin melarikan diri dari sesuatu yang tak sanggup ia hadapi. Padahal, ia sudah susah payah mengumpulkan keberanian untuk meminta maaf kepada Aleta atas kejadian tabrak lari yang dilakukannya kemarin malam.
"Tunggu!" seru Aleta menghentikan langkah langkah.
Kaisan segera berbalik, langkahnya tergesa seakan ingin melarikan diri dari sesuatu yang tak sanggup ia hadapi.
“Tunggu!” seru Aleta, spontan menghentikan langkahnya.
Kaisan terhenti. Ia menggigit bibir bawahnya. Bahunya menegang, namun ia tak segera menoleh. Ada jeda panjang yang menggantung di udara, menyisakan jarak di antara mereka yang lebih terasa daripada sekadar beberapa langkah.
"Kamu," Aleta menelan saliva, "kamu kenapa mau tolong aku?"
Kaisan menghembuskan napasnya, lega. Detik berikutnya, ia berbalik dan menatap gadis itu lagi. "Karena kamu itu baik," jawabnya dengan senyuman tipis, meski bukan itu alasan yang sesungguhnya.
Aleta merasakan degup jantungnya kian tak beraturan. Setiap hentakan terasa nyaring menusuk, menggema hingga ke telinganya sendiri. Jemarinya mengepal tanpa ia sadari, berusaha meredam getar yang menjalar ke seluruh tubuh. Di antara orang yang telah ia temui, tak begitu banyak yang peduli tentangnya. Namun saat ini, seseorang itu, mengapa terasa begitu dekat?
Di saat yang sama, Kaisan memandang Aleta dari atas kepala hingga ujung kaki. Gadis itu nampak malang, begitu rapuh.
"Ke-kenapa kamu melihatku seperti itu?" protes Aleta mengejutkan.
"Kamu tahu?" Mata Kaisan tertuju lagi mengunci wajah oval, Aleta. "Di dunia ini, ada orang yang suka sama kita dan ada orang yang nggak suka juga sama kita. Beberapa orang memandang kita dengan prespektif yang berbeda-beda," jelasnya sambil melangkah lebih dekat lagi. "Karena itu, kamu harus belajar menerima fakta. Dan, kamu juga harus ingat kalau kamu itu berharga kalau berada di tempat yang tepat. Jangan biarkan mereka menyakitimu lebih dalam lagi. Aleta."
Begitu nama itu meluncur dari bibir Kaisan, seolah ada getar berbeda yang merayap masuk ke telinga Aleta. Ia terpaku. Di balik matanya yang menghangat dan sedikit berkaca, ia bahkan berani nyaris tak berkedip. Suaranya—lembut, namun sarat ketegasan. Ia tak tahu harus membalas dengan kata atau hanya diam, karena kalimat itu terdengar seperti peringatan sekaligus permohonan yang cukup dalam.
Lagi, Kaisan melempar senyum. Kali ini, ia berbalik dan benar-benar melangkah pergi, meninggalkan jejak sunyi yang terasa lebih berat daripada ribuan kata. Maaf jika permohonan maafku ini belum bisa aku sampaikan, Aleta.
Aleta terdiam, menatap punggung Kaisan yang kian hilang di balik lorong. Ada sesuatu yang menggantung di udara, sesuatu yang belum sempat ia tanyakan, atau mungkin sesuatu yang tak pernah akan terjawab. Entah.
****
Suara guru terdengar jelas di depan kelas, menerangkan materi dengan penuh keseriusan. Begitu juga dengan semua murid yang ada di dalam kelas. Kecuali, Stefani.
Ia merasakan jengkel yang tak bisa ia sembunyikan. Namun jauh di balik sorot matanya, rasa itu lebih mirip luka ketimbang sekadar kekesalan. Ucapan Kaisan barusan menusuk halus, seolah menyentuh bagian terdalam dari harapan yang selama ini ia agung-agungkan. Bibirnya sempat terbuka, ingin membalas, tapi yang keluar justru hanya helaan napas berat.
Dari banyak lelaki yang pernah dekat dengannya, baru Kaisan yang mampu membuat perasaannya sangat terluka. Rendah. Seperti gonggongan anjing.
Stefani menelan saliva, mencoba meredakan gumpalan perasaan yang mengganjal di tenggorokannya. Di dalam kelas yang sunyi kecuali suara guru yang sedang menjelaskan materi, ia hanya bisa menunduk. Jemarinya meremas ujung pulpen, berusaha menahan getar di dadanya. Hatinya berdebat, antara masih ingin percaya pada sosok Kaisan atau mulai belajar melepaskan, meski perasaannya tidak pernah sampai.
"Lo pasti kepikiran omongan si Kaisan tadi, ya?" lirih Evita disebelahnya.