Gue gak nyangka. Aleta, salah satu siswi yang satu kelas dengan gue seorang pencuri. Padahal, tuh cewek pendiem banget. Mungkin, karena dia kepepet musti bayar SPP, sampe segitunya nyuri dompet orang. Tapi gue sebagai korban, si... Ya, udah. Gapapa lah, gue maafin aja. Maklum mungkin, dia lagi butuh banget uang buat bayar sekolah.
Begitu caption yang Stefani unggah di laman instagram dan tak tanggung-tanggung ia share ke grup angkatan forum sekolah disertai video yang ia minta dari teman sekelasnya yang lebih dulu mengunggah. Bibirnya tersenyum menyeringai, puas dan bahagia.
"Gimana?" tanya Evita yang duduk di belakang jok mobil milik Stefani yang mereka tumpangi sambil mengintip layar ponsel gadis itu yang menyala.
"Sukses!" seru Stefani sambil memperlihatkan ponselnya lebih dekat lagi. "Bener, ide lo cemerlang! Gue yakin, Kaisan pasti lihat unggahan gue. Dan kalau dia tahu keputusan yang gue buat, dia pasti bakal minta maaf dan menyesal udah nyebut gue kayak anjing!"
"Siapa dulu, dong!" tambah Tirani sambil merangkul bahu Evita. Sementara, sebelah tangannya lagi masih memegang kemudi dan matanya tetap fokus pada jalanan lenggang yang ada didepannya. "Lo harus beruntung dapetin temen pinter kayak kita."
Stefani tersenyum terkekeh. "Iya-iya, malam ini gue traktir kalian makan, deh! Gue gak sabar buat esok tiba. Pengen lihat reaksi-reaksi orang besok."
Tirani menjentikkan jari. "Semua orang pasti salut sama sikap lo, dan nyangka hati lo kayak malaikat. Pemaaf."
Stefani menoyor kepala Tirani. "Jadi, lo pikir selama ini gue bukan malaikat?!"
"Oooops! Sorry keceplosan gue!"
Evita menggeleng sambil tersenyum terkekeh. "Udah, udah! Yang penting hari ini kan hari kemenangan lo, Stef. Lo traktir kita di restoran yang enak, ya. Laper, gue! Oh ya, gue juga mau request dong."
"Apa?!"
"Minta bungkusin buat adik dan nyokap gue di rumah, ya? Hehe."
"Wait!" ucap Tirani refleks ketika pandangannya menangkap sosok yang begitu dikenalnya di jalan. Tangannya spontan merapat ke kemudi, menurunkan kecepatan mobilnya. Sedangkan, pandangannya tak beranjak dari lelaki berjaket hitam yang sedang mengemudikan motornya didepan sana.
"Apaan?!" seru Stefani dan Evita kompak bersamaan. Nyaris bersuara lebih keras daripada musik yang masih mengalun dari dalam mobil.
"Stef, di depan bukannya motor Kaisan?"
Stefani menahan napas sesaat. Benar saja—motor sport berwarna gelap itu begitu familiar. Bahkan helm yang dikenakan si pengemudi motor itupun tidak asing baginya. "I-Iya, itu Kaisan. Dia mau kemana, ya malem-malem begini?"
"Ah, palingan ke rumah si Elang atau Genta temennya, kali."
"Gak mungkin!" sergah Tirani sambil menepiskan tangan. "Gue tahu rumah Elang bukan arah sini."
Evita menutup mulut tiba-tiba. "Oooops! Lupa gue, disini ada mantan Elang!" Celetuknya, matanya melirik penuh arti ke arah Tirani.
Tirani hanya mendengus, enggan menanggapi. Tatapannya segera ia alihkan kembali ke jalanan, seolah pemandangan luar jauh lebih penting daripada ucapan sahabatnya. Rahangnya mengeras, tapi tangannya tetap mantap di setir.