ALETA

essa amalia khairina
Chapter #6

BAB 5

Pagi itu, langkah Aleta terasa berat. Sepatu yang biasanya membawanya melangkah ringan kini seakan menjerat setiap langkahnya. Udara sekolah yang selalu ramai dengan suara tawa dan obrolan dari setiap murid, kini terdengar asing di telinganya. Ia tidak pernah menyangka bahwa Kaisan, lelaki yang kemarin tiba-tiba hadir di hidupnya, mendadak datang ke rumah kemarin malam. Pertanyaan itu terus bergema di kepalanya—darimana Kaisan tahu alamat rumahnya?

Aleta menunduk, berusaha menghindari tatapan mata yang ia tahu sedang menelusuri setiap gerakannya. Menyusuri koridor kelas pagi itu, ia seperti berjalan di tengah lorong penghakiman. Bisikan-bisikan lirih terdengar di sudut-sudut, meski tak ada yang berani mengatakannya keras-keras. Hatinya pedih. Tuduhan itu seperti noda yang melekat di wajahnya, tak peduli seberapa keras ia mencoba menjelaskan bahwa ia bukan pencuri.

Namun, itulah dilema yang mengikat dirinya sekarang. Jika ia memilih untuk tidak datang ke sekolah, orang-orang akan semakin yakin kalau ia memang bersalah. Tapi dengan datang seperti ini, ia harus menelan bulat-bulat rasa malu dan tatapan curiga yang menusuk.

Ia menarik napas panjang. “Aku bukan pencuri,” bisiknya lirih, menguatkan kepada dirinya sendiri. Ya. Sebuah mantra kecil yang ia harap cukup kuat untuk menopang langkahnya. Meski hatinya bergetar hebat, ia tahu, satu-satunya cara adalah bertahan.

Satu per satu murid menoleh, menatapnya seperti sebuah tontonan. Ada yang berbisik sambil menutup mulutnya, ada yang sengaja menertawakan pelan, ada pula yang hanya menatap dengan rasa ingin tahu. Semua itu bercampur menjadi satu—membuat Aleta merasa semakin ciut.

Namun, ia terus melangkah. Meski dadanya sesak, meski jantungnya berdegup tak beraturan, ia tahu bahwa menyerah bukan pilihan. Bahkan jika hari ini harus menjadi salah satu hari terburuk dalam hidupnya, ia tetap harus hadir.

Di ujung lorong, samar-samar ia melihat siluet yang sudah tak asing lagi. Kaisan. Lelaki itu berdiri dengan tenangnya, seolah menunggu. Dan entah mengapa, keberadaannya justru membuat langkah Aleta semakin guncang.

"Aleta?" seru seseorang menghentikan geraknya.

Di saat bersamaan, ia berbalik dan mendapati seorang wanita. Usianya sekitar tiga puluhan, berpenampilan sederhana namun berwibawa. Rambut hitamnya terikat rapi je belakang, wajahnya teduh namun tatapannya menyimpan ketegasan, layaknya seorang guru yang seharusnya memang layak dihormati dan disegani. Tubuhnya ramping namun tegap, mencerminkan disiplin yang selama ini ia junjung.

Dialah Bu Ratna, wali kelas Aleta. Ia bukan tipe guru yang suka meninggikan suara, tetapi sekali ia menatap dengan sorot mata yang tajam, cukup membuat murid-muridnya menunduk. Meski begitu, Bu Ratna juga dikenal mampu menjadi pendengar yang baik, seringkali menjadi tempat curhat bagi siswa yang terjebak masalah. Begitu juga dengan yang Aleta rasakan sekarang. Namun, hari ini, kehadiran Bu Ratna di hadapannya justru berbeda. Aleta spontan meremas jemari tangannya sendiri. Ada perasaan cemas, takut, sekaligus sedikit lega. Wali kelasnya itu menatapnya lekat-lekat, seolah memahami pergulatan yang sedang ia alami.

"Ibu mau bicara sama kamu. Ikut ke ruangan Ibu sekarang," ungkap Bu Ratna.

Tanpa menunggu jawaban dari Aleta, Bu Ratna segera berbalik, langkahnya mantap menyusuri koridor. Gaun batiknya yang sederhana bergoyang pelan mengikuti gerak tubuhnya. Ia tidak menoleh sedikit pun, seolah yakin benar bahwa Aleta kini sedang mengikutinya dari belakang.

Ya. Aleta menelan ludah sambil menggerakkan kakinya dengan ragu. Ia memang mengikuti dari belakang, menjaga jarak beberapa langkah. Rasanya seperti seluruh murid yang tadinya memperhatikannya kini semakin punya alasan untuk berbisik-bisik—melihat dirinya dipanggil langsung oleh wali kelas.

Sementara, Kaisan yang sudah berharap gadis itu akan melewatinya, justru dibuat kecewa. Pandangannya mengikuti langkah Aleta yang tiba-tiba berhenti dan berbalik arah ketika Bu Ratna menghampirinya.

Koridor terasa lebih panjang dari biasanya. Suara langkah sepatu Bu Ratna yang mantap berpadu dengan derap pelan sepatu Aleta di belakangnya, menciptakan irama yang membuat dada Aleta semakin berdebar.

Hatinya dipenuhi banyak pertanyaan. Apa Bu Ratna percaya dengan tuduhan itu? Apa beliau juga melihatnya sebagai pencuri? Atau… mungkinkah beliau tahu sesuatu yang orang lain tidak tahu?

Ketika mereka tiba di depan pintu ruangan guru, Bu Ratna membuka pintu tanpa berkata apa-apa. Ia masuk lebih dulu, lalu menyingkir sedikit sambil menunggu Aleta masuk. Tatapan matanya tetap teduh, namun ada ketegasan yang tak bisa ditawar.

"Duduklah," perintahnya.

Aleta mengangguk lalu menarik kursi ke belakang. Ia duduk di hadapan Bu Ratna dengan meja kayu sebagai dekat di antara mereka.

"Aleta, Ibu tahu ini bukan hal yang mudah buat kamu. Tapi Ibu ingin dengar langsung dari kamu, tanpa bisikan orang lain, tanpa tuduhan siapa pun. Katakan apa yang sebenarnya terjadi?” ucap Bu Ratna dengan suara lembut, nyaris seperti sebuah bisikan.

Aleta tertunduk. Detik berikutnya, ia memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya. Berusaha mencari secercah perlindungan dari sosok didepannya. "Bu," suaranya bergetar nyaris seperti ampunan, meski ia tidak pernah bersalah. "Aku tidak pernah mencuri barang orang lain. Sekalipun, aku sangat membutuhkannya. Aku tidak pernah mencuri dompet Stefani."

Bu Ratna tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Aleta dengan penuh kesabaran, lalu menggeser kursinya sedikit ke depan, mendekat. Tatapan teduh itu membuat Aleta merasa seolah memang ada tempat untuknya bersandar.

"Aku gak tahu kenapa, dompet itu tiba-tiba ada di tasku." Lanjut Aleta. "Aku memang membutuhkan uang untuk bayar SPP bahkan membayar hutang Ayahku, tapi aku tidak pernah berani nekad untuk melakukan hal tersebut."

Bu Ratna menarik napas panjang, lalu menghembuskannya pelan. Sorot matanya tetap lekat pada Aleta, penuh perhatian namun tidak sekalipun terlihat ragu. “Aleta…,” ucapnya dengan nada yang tenang, namun dalam. “Ibu percaya, anak sepertimu tidak akan mudah melakukan hal seperti itu. Kejujuranmu sekarang sudah cukup untuk Ibu pahami. Tapi Ibu juga perlu bukti, apakah memang betul kamu tidak bersalah."

Aleta menggigit bibirnya, menunduk lagi. Kata-kata Bu Ratna menusuk, tapi bukan untuk menyakitinya—lebih kepada kenyataan pahit yang harus ia hadapi.

Kemudian, Bel pelajaran pertama berbunyi, dentangnya menggema di seluruh sekolah. Bu Ratna melirik jam di dinding ruang guru, lalu kembali menatap Aleta yang masih duduk dengan wajah gusar. Perlahan, Bu Ratna berdiri dari kursinya, lalu menepuk bahu Aleta dengan penuh keyakinan. “Sekarang, masuklah ke kelas." perintahnya. "Dan untuk saat ini, biarkan mereka bicara. Kalau kamu tidak bersalah, kamu harus tunjukkan dengan keberanianmu menghadapi mereka."

Lihat selengkapnya