Bel istirahat pertama akhirnya berbunyi. Stefani segera melangkah keluar dari kelas, matanya mencari sosok Kaisan di lorong yang mulai dipenuhi keramaian siswa.
Hatinya berdebar kencang, tapi langkahnya mantap. Ia lebih memilih menghadapi Kaisan daripada membuang waktu untuk membuli Aleta. Meski dirinya sangat kesal dan ingin melampiaskan kemarahannya terhadap gadis tersebut, namun inilah saatnya untuk mencari jawaban yang membuatnya penasaran.
Di antara riuh rendah teman-teman sekelas yang berdesakan di lorong, Stefani menatap Kaisan dari kejauhan, berusaha menenangkan dirinya sebelum akhirnya melangkah lebih dekat.
Saat jarak mereka tinggal beberapa langkah, Kaisan menoleh dan menatap Stefani. Wajahnya datar, nyaris tak menghadirkan kehangatan yang setidaknya membuat Stefani sedikit lega.
"Kita latihan duluan ya, bos!" ucap Genta. Tanpa menunggu jawaban, ia merangkul bahu Elang pergi menuju lapangan basket.
"Aku mau bicara tapi gak mau di sini."
Kaisan menggeleng menolak. "Apa si salah Aleta sampe segitunya lo buli dia?!" tuturnya sambil melipatkan kedua lengannya di bawah dada.
“Kaisan, aku udah bilang aku gak mau—”
"JAWAB?!" Kaisan membentak, suaranya menggema di lorong yang penuh siswa.
Stefani terkejut, tubuhnya seketika kaku. Semua mata di sekitarnya menatap ke arah mereka, bisik-bisik dan tatapan penasaran mengisi udara.
Ia menelan ludah, berusaha menenangkan diri, sementara Kaisan menatapnya dengan intensitas yang membuat jantungnya berdegup lebih kencang.
"Kenapa?" Lanjut Kaisan. "Lo takut kartu lo kebongkar?!"
"Kaisan, aku gak ngerti apa yang kamu—”
" Lo kan, yang sengaja masukin dompet lo ke tas Aleta?!" potong Kaisan. Pernyataan lantang itu sontak menarik perhatian murid yang berada di koridor. Bisik-bisik dan tatapan penasaran segera memenuhi ruangan, beberapa kepala menoleh, mencoba menangkap apa yang sedang terjadi.
"Kamu nuduh aku? Jelas-jelas Aleta yang udah curi dompet aku, Kaisan!"
"Gue tahu permainan busuk lo!" Kaisan menunjuk wajah Stefani.
Stefani membeku, hatinya campur aduk antara kesal, kaget, dan marah. Bibirnya terbuka, namun kata-kata yang ingin meluncur, tertahan begitu saja. Matanya menatap lurus Kaisan, memastikan apakah lelaki itu benar-benar murka atau hanya ingin menakut-nakutinya.
Hening.
"Kamu nuduh aku yang melakukannya?" ucap Stefani kemudian. Nadanya pelan, seakan kalah menyaingi nada lelaki yang ada dihadapannya. "Untuk apa?"
Kaisan mendesis pahit. "Untuk apa? Lo sadar gak, si? Apa yang lo lakuin itu lebih dari jahat, Stef! Lo matahin mental seseorang hanya demi kepuasan lo!"
"Aku gak melakukannya!"
Kaisan tertawa pahit. "Oh, ya? Gue bicara ini gak asal nuduh, ya!" Kaisan mengangguk-anggukkan kepalanya. "Oke, gini aja. Lo mau jujur apa gue sendiri yang laporin lo bukan cuma BK sama walas lo. Tapi polisi! Lo tahu kan, siapa bokap gue?!"
Stefani gelisah. Jantungnya berdegup kencang, tangan-tangannya sedikit gemetar. Kata-kata Kaisan menggema di telinganya, menuntut jawaban yang belum siap ia berikan.
Stefani menatap Kaisan, berusaha menenangkan diri. Lidahnya kelu. Dan, wajahnya yang memerah, semakin memperlihatkan kebohongannya. Sementara, lorong yang ramai seolah mengerucut hanya pada mereka berdua, setiap bisik murid terdengar seperti suara gemuruh di kepalanya.
Kini, dunia telah berbalik. Stefani seperti terjebak di tengah pusaran yang tak ia kendalikan. Ia yang biasanya berdiri tegak dengan percaya diri, kini tampak kecil di hadapan tatapan ratusan pasang mata yang menilai.
Punggungnya terasa berat, seakan semua bisik-bisik di lorong berubah menjadi beban yang menekan. Untuk pertama kalinya, Stefani merasakan bagaimana rasanya berada di posisi yang selama ini kerap ia ciptakan untuk orang lain.
"Lo mau cari ide kayak gimana lagi buat nutupin perbuatan busuk lo?!" desak Kaisan.
"Kaisan. Stefani!" seru seseorang.