Minggu, 11 Januari 2004
Hujan datang menghantam bumi dengan lebat. Sinar mentari hilang ditelan amukkan awan hitam. Namun, hempasan angin membawakan sebuah kebahagiaan pada hidupku. Di tengah riuhnya badai, dia datang dengan menggenggam niat ke hadapan keluargaku. “Assalamualaikum,” sahutnya dari depan pintu rumahku. “Waalaikumsalam, iya tunggu sebentar.” Sembari berjalan ke arah pintu, hatiku terus bergumam “Siapa yang datang di cuaca seperti ini? Suaranya terasa tidak asing di telingaku.” Saat kubuka pintu itu, senyuman hangat terpancar di antara dinginnya udara dunia. “Deva, ada apa datang ke sini?” Aku terheran-heran dan merasa senang bisa melihat dirinya. “Hai, maaf aku datang tanpa memberimu kabar. Orang tuamu ada di dalam?”
“Oh ada, sebentar biar aku panggilkan. Silakan masuk dulu.” Entah mengapa jantungku berdetak kencang. Dengan perlahan kulangkahkan kaki ke arah Mama sembari memikirkan apa yang ia rencanakan.
“Ma, ada Deva di depan. Katanya dia mau bertemu dengan Mama dan Ayah.”
“Deva, ada apa dia datang di cuaca seperti ini?” Mama pun terheran-heran akan kedatangannya.
“Aku juga tidak tahu.”
“Sebentar, Mama panggilkan Ayahmu dulu.”
Tak lama kemudian, kedua orang tuaku tiba di hadapan Deva. Aku hanya mampu terdiam kaku di balik pundak Mama.
“Assaamualaikum Om, Tante,” sembari ia kecup tangan kedua orang tuaku.
“Waalaikumsalam, ada apa Nak datang di waktu seperti ini?” tanya Ayah kepadanya.
“Iya, maaf saya datang mendadak seperti ini. Saya datang untuk meminta izin kepada Om dan Tante.” Rasa penasaran terus meluap-luap.
“Izin apa, Nak?”
“Saya dan Hana sudah menjalin hubungan selama lima tahun, kami pun sudah mengenal jauh satu sama lain. Jadi, saya memohon izin dari Om dan Tante untuk bisa menjadikan Hana sebagai istri saya.” Seketika pupilku membesar, jantungku berdetak tanpa irama, dan rasa senang menyergap perasaanku.
“Terima kasih sebelumnya karena kamu sudah mau bersungguh-sungguh dengan putri saya, tapi apa kamu sudah benar-benar yakin atas keputusanmu ini? Apa keluargamu sudah tahu dengan pilihanmu ini?” dengan tatapan yang sedikit mengintimidasi.
“Tentunya saya sudah memikirkan ini semua matang-matang, karena ini bukanlah hal yang bisa saya putuskan dengan mudah. Saya pun sudah mengutarakan dan membicarakan niat saya ini kepada keluarga saya, dan alhamdulillah mereka mendukung saya,” dengan rapi ia lantunkan jawaban itu. Pembicaran ini semakin lama menjadi sangat serius.
“Kamu yakin bisa menerima Hana apa adanya, dan juga apa kamu siap menerima takdir-takdir yang akan datang ke dalam pernikahan kalian?” tanya Mama memotong pembicaraan Ayah.
“Iya saya yakin Tante, saya bisa menerima Hana dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Untuk takdir kedepannya insyaallah saya mampu menanggungnya,” kepercayaan dirinya meluap-luap dalam setiap kata yang ia ucapkan.
“Kalau begitu, kita tanya pendapatan Hana terlebih dahulu,” sambung Ayah.
“Hana, apa kamu siap dengan ini semua, dan apa kamu siap menerima Deva beserta kekurangan dan kelebihan yang ia miliki?”