Selasa, 27 September 2005
“Deva…” itulah yang kudengar setiap hari dari mulut Hana. Hari-hariku terasa semakin menghimpit, waktu berjalan cepat dan tugas pun menumpuk semakin banyak. Dalam lima bulan terakhir, Hana benar-benar berubah menjadi Hana yang tak kukenal sama sekali. Emosi dan kemauannya terus berubah-ubah, bahkan perhatiannya kepadaku juga semakin surut. Aku mengerti bahwa Hana sedang dalam masa-masa yang melelahkan, tapi aku tetap tak mampu menerimanya. Keegoisanku terus berlanjut, sampai akhirnya aku merasa tak rela anak itu terlahir ke dunia ini. “Hana, ada yang ingin kukatakan kepadamu.” Aku mencoba memulai pembicaraan dengan Hana yang tengah termenung menatap langit sore dari balik jendela. “Iya, ada apa?” jawabnya sembari melirik ke arahku.
“Aku tahu kamu merasa lelah dengan semua ini, begitu juga dengan aku yang telah melakukan banyak hal selama lima bulan ini hanya untuk menjaga dirimu dan kandunganmu. Tapi kurasa, aku telah mencapai batasannya. Karena itu, tidak bisakah kita pasrah terhadap anak itu,” tanpa ragu kuluapkan semuanya.
“Apa maksud kamu? Kita sudah sejauh ini mempertahankan hidupnya. Bagaimana bisa kamu dengan mudah mengatakan bahwa kamu ingin menyerah atas hidupnya?” jawab Hana dengan emosi yang sedikit memuncak.
“Aku hanya tak tega melihatmu menderita lebih banyak lagi ke depannya, dan aku pun merasa belum siap untuk menjadi seorang ayah,” aku membalasnya dengan emosi yang memuncak pula. Kami pun mulai beradu argumen dengan emosi yang tak terkendali.
“Belum siap? Seharusnya kamu bersyukur karena telah diberikan sebuah karunia dari Allah, mengapa kamu malah membicarakan hal yang tidak jelas seperti ini?”
“Tidak jelas kau bilang? Ini semua menyangkut hidupmu. Aku tidak ingin kalau kau harus meregang nyawa hanya untuk melahirkan anak itu.” Emosiku terus meluap-luap.
“Kalau begitu, seharusnya kamu membuat diriku lebih tenang dan menjaga diriku lebih baik agar tidak mengalami hal-hal yang tak diinginkan saat melahirkan anak ini. Dan apa alasan sebenarnya kamu membicarakan hal ini?” Hana menatapku dengan kecewa.
“Baiklah. Aku tak siap membiarkan perhatian tercurah padanya, aku pun tak rela kalau kau menghabiskan banyak waktumu hanya untuk dirinya.”
“Hah? Kekanak-kanakan sekali kamu ini. Hanya karena alasan itu kamu tidak siap menjadi seorang ayah?!”
“Terserah kau mau menganggap alasanku itu kekanakan atau bodoh. Intinya aku tidak siap harus membiarkan itu semua. Aku merasa iri karena aku tak pernah mendapatkan hal itu darimu. Saat aku datang ke sekolahmu hari itu, kau mengabaikan aku, padahal aku telah bersusah payah mengambil cuti sehari hanya untukmu. Di hari libur pun, kau selalu sibuk dengan urusanmu sendiri. Bukankah wajar kalau aku menuntut perhatian darimu, aku ini suamimu!” Dan tak lama kemudian, kulihat mata Hana menjadi sedikit redup dan keringat membanjiri wajahnya. Nafasnya terengah-engah, badannya kehilangan keseimbangan, dan akhirnya tumbang. Beruntung aku berhasil menangkapnya, lalu kubopong Hana menuju sofa yang berada tepat di depan kami. Setelah melihat keadaan Hana, aku tak memiliki keberanian untuk menyinggung hal yang kami bicarakan tadi.
Keesokan harinya, kucoba melunakkan hati Hana dan menenangkan pikirannya dengan membelikan beberapa perlengakapan dan juga mainan untuk bayi yang dikandungnya. Ia nampak bahagia, mungkin dia berpikir bahwa aku sudah bisa menerima semuanya. “Terima kasih,” ujar Hana kepadaku. Aku hanya membalasnya dengan senyuman kecil. Walau keadaan sudah tenang, tapi tak sepatah kata pun keluar dari mulut kami. Saat bertemu kami hanya mampu saling memandang dan terdiam. Hana pun lebih sering menghabiskan waktunya di kamar seorang diri. Dan tak lama kemudian, terdengar suara Hana memanggilku, “Deva…”. Tanpa pikir panjang, aku langsung menghampirinya. “Iya, ada apa?” tanyaku sembari membuka pintu kamar. “Tolong ambilkan sarapanku di atas meja makan.” Ia pun tersenyum kepadaku. Aku ambilkan sarapan yang dimintanya, kemudian kuletakkan di samping tempat tidurnya. “Deva.” Hana kembali memanggilku sembari menggenggam tangan kiriku. “Saat kamu mengatakan bahwa kamu belum siap menjadi seorang ayah, aku merasa sedih dan kecewa, tapi aku pun mengerti karena ini pertama kalinya bagimu. Aku pun merasa begitu, tapi takdir berkata lain. Kita memang sudah ditakdirkan untuk menjadi seorang ibu dan ayah secepat ini. Aku yakin dalam sisa waktu empat bulan ini, kamu akan menjadi lebih yakin dan siap menerima segalanya,” ujarnya sembari menyorotku dengan tatapan lembut. Aku hanya bisa mendengarkan, kemudian kujawab dengan sebuah senyuman. “Aku tak bisa melakukannya, maafkan aku… Hana,” gumamku dalam hati sembari melangkah keluar dari kamar.
Sabtu, 12 November 2005
Takdir memang tak bisa di terka, semuanya terjadi di luar dugaan dan meleset dari perkiraan. Hari ini, tepat pukul 12.00 siang, bayi yang dikandung Hana terlahir ke dunia. Di saat bayi lain lahir di usia sembilan bulan, tapi dia harus terlahir di usianya yang baru menginjak tujuh bulan. Rasa senang dan sedih terukir jelas di wajah semua orang, lain dengan diriku yang masih larut dalam dengki. Hana masih dalam keadaan tidak sadar karena obat bius yang diberikan. Setelah bayi itu di pindahkah, aku langsung pergi menemui Dokter yang menangani proses persalinan Hana, Dokter Tantya.
“Permisi Dok,” sambil mengetuk pintu ruangan Dokter Tantya.
“Iya, silahkan masuk,” sahutnya dari dalam.
“Oh, Pak Deva. Silahkan duduk Pak.” Dia nampak sibuk membersihkan lensa kacamatanya.
“Jadi, bagaimana keadaan anak saya, Dok?”
“Saya akan menjelaskannya, tapi keluarga Bapak mana supaya saya bisa sekaligus menjelaskan kepada semuanya?” Matanya menyorot ke arah pintu.