Rabu, 3 Maret 2010
Di saat semua orang masih berada dalam dekapan selimut, aku memilih untuk bangkit dari ranjangku. Aku berlari di tengah gelap ke arah jendela yang memancarkan sinar bulan ke dalam ruangan ini. Langkahku terhenti, dan aku terkagum-kagum melihat bulan yang tengah bergandengan dengan bintang. Aku kembali ke ranjangku untuk mengambil selimut yang terhampar di atas tempat tidur. Lalu kubuka jendela itu, dan hembusan angin datang menerpa tubuhku yang terbalut selimut. Kupandangi terus lukisan Tuhan yang tak kunjung pudar dari hadapanku. Sampai akhirnya mentari datang membawa sinar pagi yang menghangatkan ragaku dan menentramkan jiwaku. Kupejamkan mata sembari merasakan sinar itu menembus tubuhku. Hampir setiap pagi kulakukan kebiasaan ini, aku merasa bahagia bisa melihat keindahan alam yang Tuhan tunjukkan kepadaku. Seiring berjalannya waktu, kapas-kapas putih mulai terlihat menggantung di permukaan langit. “Kamu sedang apa di situ?” tanya salah seorang temanku yang sejak tadi memerhatikan diriku. “Aku sedang melihat matahari terbit,” ujarku yang masih larut dalam kehangatan mentari. “Sungguh, aku juga ingin melihatnya.” Dia pun berlari ke arahku sembari membawa sehelai kain tebal untuk membalut tubuhnya. Kami berdua termenung di depan jendela, menghabiskan waktu hanya untuk menatap langit dan perhiasannya. Tak lama kemudian Bu Rahma masuk ke kamar kami, “Anak-anak, ayo bangun kita sarapan dulu,” ujarnya sembari membangunkan mereka yang masih terlelap satu persatu. Bu Rahma adalah ibu satu-satunya bagi kami. Beliau yang mengurus kami dan mendukung kami untuk bisa tetap bertahan hidup walau tak ada orang tua yang mendampingi. Dia rela mengorbankan waktunya hanya untuk membesarkan lima belas anak yang datang membawa penderitaan.
Kami semua berkumpul mengelilingi meja makan. Beragam makanan telah tersaji di atasnya, wanginya pun sukses membuka mata kami. Seorang wanita datang dengan membawa semangkuk nasi berukuran besar untuk kami santap bersama-sama. Dia yang bertugas membantu Bu Rahma di bagian dapur, Kak Sarah namanya. Kami semua sudah tinggal bertahun-tahun di tempat ini. Tempat pertemuan takdir kami, Panti Asuhan Tunas Cahaya. Di sini, banyak hal telah kami lalui, baik susah maupun senang. Tak ada kehampaan yang kami rasakan di sini, semua bersatu untuk saling mengasihi dan juga melindungi.
Setelah selesai makan, kami berlari menuju halaman untuk berjemur di bawah matahari pagi. Kami semua duduk di atas padang hijau yang terhampar luas mengelilingi kami. Kulihat Bu Rahma tersenyum sembari menatap kami dari kejauhan. Senyumannya semakin lebar saat mendengar gelak tawa kami dan juga tingkah polos kami yang menyiratkan kebahagiaan tanpa beban. Tak lama kemudian, matahari mulai naik ke tempat yang lebih tinggi, sinarnya pun mulai menyengat kulit kami. Kami pun kembali masuk untuk menjalankan rutinitas. Beberapa orang pergi ke sekolah, dan yang lainnya tetap tinggal di rumah.
Semua orang nampak sibuk dengan urusannya masing-masing, aku pun mulai merasa bosan. Terdengar suara Bu Rahma yang memanggil Kak Sarah, “Sarah, tolong belikan sayuran dan beberapa lauk ke pasar. Persediaan kita sudah hampir habis.” Setelah mendengar itu, Kak Sarah langsung berlari ke dapur untuk mengambil uang yang diberikan Bu Rahma. Dan saat itu juga, sebuah ide tercetus di dalam benakku, “Kak, aku boleh ikut tidak. Aku bosan di rumah terus,” ujarku menghentikan langkah kaki Kak Sarah. “Kamu sudah merapikan kamar belum?” tanya Kak Sarah. “Sudah Kak.” Kak Sarah pun tersenyum mendengar jawaban yang terucap dari lisanku. “Baiklah kalau begitu, Kakak ganti baju dulu ya.” Aku mengangguk padanya. Kami berdua berangkat ke pasar dengan menaiki sebuah sepeda. Aku merasa senang bisa melihat dunia luar yang lebih luas dari dugaanku. Sekitar lime belas menit harus kami tempuh untuk sampai ke pasar. “Kak, apa di pasar itu ada banyak orang?” tanyaku sembari menikmati pemandangan di sekelilingku. “Iya, makanya nanti Alfa jangan lepaskan genggaman Kakak,” jawab Kak Sarah yang masih fokus mengayuh sepeda. “Baiklah.” Aku pun mulai merasa antusias untuk bisa melihat keramaian pasar. Tak lama kemudian, mulai terdengar suara bising dari ujung jalan yang kami lewati ini. Mataku membelalak melihat kepadatan pasar dan juga kebisingan yang menyertainya. Aku mulai ragu untuk ikut masuk ke dalam. Lalu, Kak Sarah memarkirkan sepedanya di depan sebuah taman kanak-kanak yang tak jauh dari pasar. Di tengah keraguanku, sebuah ayunan yang terpajang di dalam halaman TK itu berhasil mencuri perhatianku. Tanpa pikir panjang, aku pun langsung mengutarakan keinginanku kepada Kak Sarah. “Kak, aku ragu untuk ikut masuk ke dalam pasar, terlalu banyak orang di sana. Apa aku boleh menunggu di TK ini? Aku ingin menaiki ayunan itu.” Kak Sarah mengiyakan permintaanku, namun dia mulai sedikit bingung. “Bagaimana caranya aku meminta izin ya?” bisik Kak Sarah pada dirinya. Tak lama, seorang wanita keluar dari gedung TK itu.
“Permisi Ibu,” sahut Kak Sarah.
“Iya ada apa, Nak?” Wanita itu pun datang menghampiri kami.
“Maaf, saya mau minta izin untuk menitip anak ini sebentar, karena saya harus ke pasar.” Kak Sarah merasa sedikit gugup, aku juga merasa bersalah karena sudah membebaninya.
“Oh iya tentu saja,” jawab wanita itu.
“Terima kasih banyak Bu, maaf saya merepotkan.” Kak Sarah pun mulai merasa tenang, kegugupannya pun mulai hilang.
“Iya, tidak apa-apa kok. Ayo nak masuk.” Aku pun berjalan meninggalkan Kak Sarah sembari melambai kepadanya.
“Nama kamu siapa?” Wanita itu menuntunku menuju halaman.