Alfa

Haneul
Chapter #4

Sahabat

Senin, 16 Juli 2018

           Sinar mentari datang menembus celah-celah dedaunan yang bergantungan di ranting pohon. Beberapa daun jatuh ke pelukan bumi setelah di kecup angin pagi. Langkah demi langkah telah kuukir di sepanjang perjalananku. Hari ini adalah hari pertamaku duduk di bangku sekolah menengah pertama. Kulihat beberapa siswa datang dengan menggunakan mobil dan juga sepeda motor, lain denganku yang hanya mampu berjalan sembari menikmati pemandangan yang ada di sekelilingku. Aku tiba tepat di depan sebuah gerbang. Dan di balik gerbang itu, terlihat gedung-gedung bertingkat yang menjulang tinggi ke langit, berdiri dengan kokoh mengeliling sebuah lapangan yang terhampar sangat luas. “Aku datang,” ucapku dalam hati. Rasa gugup akan hidup baru yang akan kujalani di tempat ini, datang memeluk diriku. Namun, rasa penasaran pun turut meluap-luap di dalam benakku, “Apa yang akan kulewati di tempat ini? Siapa saja yang akan menjadi temanku di sini? Akankah aku menuai banyak prestasi di sekolah ini?” Semua pertanyaan itu terus mengelilingi benakku.

           Aku pun masuk ke dalam kelas, dan terasa kecanggungan melanda ruangan ini. Semua orang hanya mampu beradu pandang dalam diam. Aku pun hanya mampu termenung kaku di dalam keasingan ini. Lalu, aku memilih tempat duduk tepat di tengah ruangan ini. Beberapa orang sudah menemukan pasangan tempat duduknya, sedangkan aku masih berharap ada yang mau duduk di sebelahku. Tak lama kemudian, seorang anak laki-laki berdiri di depan pintu sembari melihat ke seluruh penjuru ruangan ini. Dengan perlahan ia langkahkan kaki ke arah tempatku duduk, dan akhirnya dia memilih untuk duduk tepat di sebelah kiriku. “Hai, nama kamu siapa?” Dia memulai pembicaraan denganku. “Namaku Alfa, kalau kamu?” Walau lisanku berkata, tapi mataku tak mampu menatap wajahnya. “Oh, namaku Fatih. Salam kenal,” jawabnya sembari memamerkan senyuman hangat padaku.

           Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat tiga puluh menit, dan kami diminta untuk berbaris di lapangan, karena upacara pembukaan akan segera dimulai. Ribuan orang keluar dari kelas masing-masing secara membeludak. Lapangan yang luasnya bagaikan samudera, kini berubah menjadi ruang kecil yang dihimpit ribuan manusia. Di saat upacara berlangsung, beberapa siswa tumbang karena tersengat panasnya terik mentari yang menusuk sampai tulang rusuk kami. Upacara berlangsung selama satu setengah jam, setelah itu kami kembali memasuki kelas masing-masing. Semua orang di kelasku nampak begitu lelah. Tak lama, seorang guru masuk ke kelas kami. “Assalamualaikum,” sapanya sambil melangkah ke depan kelas. “Waalaikumsalam,” jawab kami serentak. “Pagi semua. Perkenalkan nama saya Felita Maharani, kalian boleh memanggil saya Ibu Felita. Saya ditugaskan oleh Kepala Sekolah untuk menjadi wali kelas kalian, salam kenal semuanya.” Matanya menelusuri seisi ruangan kelas. “Sekarang kita akan melakukan perkenalan terlebih dahulu, dimulai dari baris yang paling depan berurutan sampai ke belakang. Kalau begitu, kita mulai sekarang,” lanjutnya. Semua orang maju satu persatu dengan memasang raut canggung di wajahnya. Kakiku pun ikut bergetar saat menunggu giliran maju ke depan. “Kamu kenapa?” Fatih bertanya padaku. “A… aku merasa takut untuk berbicara di depan orang banyak, terlebih mereka semua masih asing di mataku,” jawabku dengan sedikit gagap. “Kamu tidak perlu takut, katakan saja seperti yang seharusnya. Jika kamu takut dan tidak percaya diri, kamu hanya akan merusak segalanya di depan sana,” ujarnya sembari tertawa kecil karena melihat ketegangan tergambar di wajahku. Waktu terasa begitu cepat, sampai akhirnya tiba giliranku. Aku melangkah dengan perlahan sembari mengulang-ngulang kalimat yang harus kuucapkan. Saat hendak kulantunkan, Fatih dengan segera memasang tatapan tajam ke arahku. Aku pun tertegun melihatnya. “Bismillahirahmanirahim,” ucapku dalam hati sembari menghapus keraguan di dalam benakku.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Perkenalkan nama saya Alfa Rezy, kalian boleh memanggil saya Alfa. Saya tinggal di Panti Asuhan Tunas Cahaya, tak jauh dari sini. Hobi saya adalah membaca buku dan menulis puisi, dan cita-cita saya adalah menjadi seorang Ayah,” tanpa ragu kuucapkan semuanya.

“Dari sekian banyak cita-cita, mengapa kamu memilih menjadi seorang Ayah?” tanya Bu Felita penasaran.

“Saya ingin menjadi seorang Ayah yang baik dan mampu melindungi anak-anak saya nanti. Yang selalu ada dan selalu mendukung setiap langkah mereka. Saya tidak ingin jika anak saya nanti harus menjalani hidup tanpa ada orang tua yang mendampingi, sama seperti apa yang saya alami,” jelasku kepada Bu Felita dan semuanya.

“Jika kamu tidak punya orang tua, bagaimana bisa kamu masuk sekolah ini?” tanya salah satu temanku. Ibu Felita nampak terkejut mendengarnya, dia takut pertanyaan itu membuatku sedih dan merasa rendah diri.

“Vino…” Bu Felita menegurnya.

“Tak apa Bu, biar saya jawab pertanyaan itu,” ujarku.

“Aku memang tak memiliki orang tua maupun biaya untuk bisa menempuh pendidikan di sekolah ini, tapi aku memiliki akal yang bisa kuandalkan untuk bisa meraih apa yang kuinginkan,” jawabku dengan percaya diri. Mereka semua menatap kaku ke arahku. Tapi, tidak dengan Fatih, dia memecah suasana dengan menepuk kedua tangannya dan mengacungkan ibu jarinya kepadaku. Dia nampak tak peduli dengan apa yang akan orang lain katakan mengenai tingkahnya, dan aku bersyukur bisa menemukan seseorang yang mau mendukung serta menerimaku apa adanya. Aku pun kembali ke tempat dudukku, kemudian kuucapkan terima kasih kepada Fatih. “Kamu sangat mengagumkan,” ujarnya sembari menepuk pundakku.

Jum’at, 12 Oktober 2018

           Tiga bulan telah berlalu, aku dan Fatih pun menjadi semakin akrab satu sama lain. Banyak hal yang telah kami lalui di sekolah ini. Sering kali kami bertukar pikiran dalam mengerjakan setiap tugas yang diberikan, kami juga selalu menghabiskan waktu di jam istirahat untuk belajar dan makan siang bersama. Namun, banyak orang yang memandang sebelah mata persahabatan kami. “Teman Palsu” itulah julukan yang mereka berikan kepada kami, bahkan mereka menyerukannya dengan lantang di hadapan kami. Aku dan Fatih selalu berusaha untuk tidak menghiraukan ocehan mereka, dan kami pun berhasil bertahan sampai dengan saat ini.

Beberapa minggu yang lalu, kami menjalani ujian pertama di semester ini. Dan hari ini, hasilnya akan terungkap di hadapan  kami. Semua orang nampak tegang menunggu kehadiran Ibu Felita. “Fatih, menurutmu bagaimana hasilnya?” tanyaku sembari mengetuk meja Fatih. “Ah, aku tidak yakin. Sejak dulu aku selalu payah dalam masalah pelajaran, aku tak bisa membayangkannya.” Fatih menghela napas dan terus mengetuk jarinya di atas meja. “Assalamualaikum.” Bu Felita masuk dengan membawa setumpuk kertas hasil ujian kami. “Waalaikumsalam.” Semuanya menjawab dengan lemas. “Kenapa kalian begitu tegang hari ini, hasilnya tidak mengecewakan kok. Wajar saja kalau memang belum mencapai target, karena ini kali pertama bagi kalian.” Bu Felita berusaha menenangkan kami yang masih menatap kosong ke arahnya. “Kalau begitu, yang namanya Ibu panggil, langsung maju dan ambil hasil ujiannya ya,” lanjutnya. Semua orang maju dengan langkah perlahan, bahkan beberapa dari mereka enggan melihat hasil yang didapatnya. Giliran kami pun tiba, “Alfa, Fatih,” sahut Bu Felita. Kami berdua maju sembari melantunkan do’a di dalam hati. Kugenggam kertas yang diberikan Bu Felita kepadaku. Saat kubalik kertas itu, kalimat tahmid secara otomatis terucap di dalam hatiku. Fatih pun nampak kegirangan saat melihat hasil ujian miliknya. Lalu, Bu Felita mengacungkan kedua ibu jarinya kepada kami berdua.

“Berapa nilai rata-ratamu?” tanyaku pada Fatih penasaran.

Alhamdulillah, rata-rataku sembilan puluh lima. Setelah sekian lama aku hidup di dunia, akhirnya aku bisa mendapat nilai setinggi ini.” Fatih nampak begitu bahagia, bahkan tak henti-hentinya ia pandangi kertas itu.

“Kalau kamu?” tanya Fatih padaku. “Alhamdulillah aku juga mendapat nilai yang bagus, sembilan puluh delapan.” Mata Fatih membelalak, kemudian dia memelukku sembari menepuk-nepuk punggungku.

“Wah…, kamu memang luar biasa. Aku pun bisa mendapatkan nilai sebagus ini karena belajar bersamamu,” ujarnya sembari menjabat tanganku. Aku hanya mampu tersenyum sembari mengusap kepalaku. “Karena sudah selesai semua, sekarang silahkan duduk kembali di tempatnya masing-masing.” Bu Felita kembali mengambil komando kelas. “Kita ucapkan selamat kepada Alfa, Fatih, dan Putri yang sudah berhasil meraih nilai tertinggi di kelas kita ini,” ujar Bu Felita sembari menepuk kedua tangannya. Beberapa orang turut serta memberi kami tepukan dan ucapan selamat, tapi sebagian lagi menatap iri ke arah kami. Tak lama kemudian, bel istirahat menjerit dari ujung lorong. Bu Felita pun pergi meninggalkan kelas, begitu juga dengan kami.

Aku dan Fatih pergi ke taman untuk makan siang bersama. Tak jauh dari tempat kami duduk, terlihat beberapa siswa dari kelas kami tengah berkumpul di bawah pohon. “Lihatlah mereka! Benar-benar munafik.” Salah seorang dari mereka menunjuk ke arah kami yang sedang asyik bergurau sambil menyantap bekal. “Benar, Fatih memanfaatkan Alfa hanya untuk mendapat nilai yang bagus, dan Alfa memanfaatkan Fatih hanya untuk menaikkan derajatnya di sekolah ini. Sangat memalukan,” ujar yang lainnya. “Ya…!” Tak lama kemudian, Fatih bagun dari tempat duduknya. “Aku bisa mendengar suara kalian semua, pergilah dari sini jika tidak ingin kuhajar kalian semua!” Mereka pun pergi sembari memendam amarahnya kepada Fatih. “Bukankah sudah kubilang, jangan hiraukan mereka,” ujarku berusaha menenangkan Fatih. “Aku sudah muak menahannya selama tiga bulan ini, sesekali mereka memang harus diberi pelajaran. Apa kau tidak lelah mendengarnya? Mereka terus mencurigai ketulusan kita, karena hanya ada kita berdua dalam lingkar pertemanan ini, seakan-akan kita memang bekerja sama untuk saling menguntungkan.” Amarah masih terpancar di balik tatapannya. “Sudahlah lupakan itu semua, kita bahas hal lain saja yang lebih berguna daripada menanggapi omong kosong mereka.” Kami berdua terdiam sejenak untuk bisa mengembalikan suasana. “Oh iya, ada satu orang yang ingin kukenalkan padamu.” Wajahnya nampak antusias. “Tiba-tiba sekali, memangnya untuk apa kamu mengenalkan seseorang kepadaku?” Aku sedikit terkejut dan juga bingung. “Sudah lama ingin kuberi tahu padamu. Sejujurnya aku merasa bosan karena hanya ada kita berdua, karena itu aku ingin dia menjadi teman kita.” Ujarnya. “Mungkin mudah bagimu untuk bisa berteman dengan orang banyak, tapi tidak denganku. Belum tentu orang yang akan kau kenalkan itu mau berteman denganku. “Kau tak perlu merasa malu, dia pasti mau berteman denganmu. Sebentar aku panggilkan dulu.” Fatih pun berlari meninggalkanku. Tak lama kemudian, Fatih kembali dan nampak seorang perempuan berdiri di sampingnya. “Alfa, perkenalkan ini teman kecilku, Risa. Aku dan Risa berteman sejak SD.” Risa pun melambai padaku. “Dan Risa, perkenalkan ini Alfa teman sekelasku. Dia sedikit pemalu, tapi sangat keren,” lanjut Fatih. “Hai, semoga kita bisa berteman dengan baik,” ujarku.

“Jadi kamu yang namanya Alfa?” tanya Risa padaku.

“Iya, memangnya kenapa?”

“Tidak, hanya saja Fatih sering sekali menceritakan tentang dirimu kepadaku,” ujar Risa. Aku pun langsung menoleh ke arah Fatih.

“Aku juga sudah mendengar bahwa kamu adalah seorang yatim piatu, tapi kamu tidak perlu merasa malu di hadapanku, karena aku sangat mengagumi dirimu. Aku terkejut saat tahu bahwa kamu mendapat nilai tertinggi di kelasmu, bahkan kamu juga berhasil membuat Fatih menjadi salah satu siswa terbaik di kelasnya, padahal dulu dia sangat payah.” Risa tersenyum kepada Fatih.

“Hei, kamu tidak perlu menjelaskan bahwa aku ini payah,” balas Fatih kepada Risa.

“Iya iya maaf.” Aku dan Risa menertawakan Fatih yang terlihat kesal.

“Wah, kalian berdua memang menyebalkan. Aku menyesal mempertemukan kalian berdua.” Fatih membuang mukanya dari hadapan kami. Kemudian, aku dan Risa kembali tertawa. Dalam beberapa menit, kami sudah bisa merasakan adanya kedekatan serta kecocokan di antara aku, Fatih, dan Risa. Perbincangan kami berlanjut dengan menyenangkan. Sampai akhirnya, kami harus kembali menjalani kegiatan di dalam kelas.

           Keesokan harinya, aku pergi ke perpustakaan sekolah untuk mengerjakan tugas bersama Fatih dan Risa. Sekolah terasa begitu hening dan hampa, hanya nampak satu dua orang yang berlalu lalang di taman. Aku menunggu Risa dan Fatih yang tak kunjung datang di depan perpustakaan. Kemudian, aku mendapat pesan teks dari Risa, “Alfa, aku sudah tiba di depan sekolah. Aku akan segera ke sana.” Aku pun membalasnya, “Bagaimana dengan Fatih?” tanyaku. “Oh, dia tidak bisa datang karena ada acara dengan keluarganya. Jadi, hanya kita berdua,” jawabnya. Tak jauh dari tempatku berdiri, aku melihat Risa tengah melambai kepadaku. “Kamu sudah lama menunggu ya? Maaf,” ucapnya sembari tersenyum padaku. “Tidak apa-apa,” jawabku. Kami berdua masuk ke perpustakaan sembari melihat ke segala arah. “Di mana tempat yang nyaman untuk belajar ya?” ujar Risa sembari berpikir dan melihat ke sekelilingnya. “Bagaimana kalau kita duduk di dekat jendela?” jawabku. “Boleh juga.” Kami berjalan menuju tempat duduk yang nampak bersinar tersorot sinar mentari. “Aku mau mencari beberapa buku sebentar,” ujarku pada Risa yang tengah termenung melihat pemandangan yang terukir indah di balik jendela. “Iya,” jawabnya.

           Saat aku kembali dengan membawa setumpuk buku, kulihat Risa sedang menulis sebuah puisi di atas secarik kertas.

Lihat selengkapnya