Alfa

Haneul
Chapter #5

Lembaran Baru

Selasa, 13 Mei 2019

           Kakiku berpijak pada dunia baru yang akan mengisi lembaran-lembaran riwayat hidupku. Setelah panti benar-benar lepas dari dekapanku, kini aku bernaung di dalam sebuah istana dengan menyandang gelar sebagai anggota keluarga baru. Setelah sampai, kami semua keluar dari mobil. Ayah Fatih turun untuk mengambil koperku yang tersimpan di bagasi mobil. Fatih bersama ibunya menuntunku masuk ke dalam rumah. “Selamat datang, Alfa. Sekarang rumah ini menjadi milikmu juga. Jangan ragu untuk melakukan segala hal yang kau inginkan di sini, dan mulai sekarang kamu jangan panggil kami Tante dan Om, tapi Mama dan Ayah.” Ibu Fatih memeluk tubuhku. Aku dan Fatih langsung bergerak menuju kamar pribadiku. Di lantai dua, terlihat sebuah pintu tengah berdiri tegak di samping ruangan Fatih. Saat kubuka, terlihat beberapa furniture yang terpajang rapi di kamarku. “Alfa, coba rebahkan badanmu di atas kasur ini,” ujar Fatih padaku. Aku pun mencoba untuk membaringkan tubuhku di atas sebuah ranjang berukuran besar. Seakan-akan aku sedang terbaring di atas awan, benar-benar lembut dan empuk. Kemudian, rasa penat mulai menyelimuti ragaku. Mataku mulai redup, begitu juga dengan Fatih yang sejak tadi terbaring di sampingku. Kami berdua pun terhempas ke dalam mimpi.

Assalamualaikum.” Ayah masuk ke dalam kamarku.

“Alfa, Fatih bangun, kalian belum shalat dzuhur,” lanjutnya sembari menepuk-nepuk pipi kami. Kami pun terbangun.

“Ayah, ada apa?” tanya Fatih yang masih setengah sadar.

“Shalat dzuhur dulu, setelah itu kalian berdua turun, kita makan siang bersama.” Ayah menuntun kami berjalan keluar dari kamar.

           Setelah melaksanakan shalat, kami berdua turun. Terlihat Mama tengah sibuk mengatur makanan di meja makan. “Oh kalian sudah turun, ayo sini kita makan dulu.” Mama tersenyum kepada kami. Kami semua duduk mengelilingi meja makan. Terlihat semangkuk nasi goreng tersaji di tengah-tengah meja, di temani dengan lauk pauk lainnya. Lalu, kami semua mulai menyantap makanan yang dimasak oleh Mama.

“Alfa, bagaimana kamarnya? Apa kamu menyukainya?” tanya Mama memulai pembicaraan.

“Iya, aku suka,” jawabku sembari terus melahap nasi yang memenuhi piringku.

“Kalau kamu butuh sesuatu, katakan saja sama Ayah atau Mama,” ujar Ayah padaku.

“Apa barang-barang kamu sudah dirapikan?” lanjut Mama.

“Belum, tadi aku dan Fatih sudah terlanjur terlelap di kamarku.” Aku menoleh ke arah Fatih.

“Iya, nanti biar aku yang bantu membereskannya,” ujar Fatih kepada Mama.

“Ya sudah, cepat habiskan makanannya supaya kalian bisa istirahat lagi.” Ayah menatap ke arah kami.

           Setelah menghabiskan waktu bersama untuk makan siang, aku dan Fatih kembali ke kamar untuk merapikan barang-barang bawaanku. “Kalau begitu kita mulai dengan merapikan baju terlebih dulu.” Aku memisahkan baju dan buku-buku di atas kasur, sedangkan Fatih membantuku menata baju ke dalam lemari.

“Sudah selesai.” Fatih meregangkan tubuhnya di depan cermin.

“Kalau begitu kita lanjut merapikan buku,” ujarku.

“Huh… baiklah,” ucapnya sembari menghela napas.

“Hei, Alfa. Rak bukumu hampa sekali, tak ada satupun barang yang terpajang.” Fatih menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Wajar, aku kan juga baru pindah ke sini, nanti juga pasti terisi lebih banyak dari punyamu.”

“Iya, pasti penuh karena dipadati buku dan kertas-kertas catatanmu.” Fatih meledekku.

“Bagaimana kalau besok kita ajak Ayah ke toko buku. Kamu pasti akan menggila di sana,” lanjutnya.

“Memangnya Ayah ada waktu untuk itu?” tanyaku sembari merapikan sisa-sisa barang yang masih tersimpan di dalam koper.

“Tentu saja, biar aku yang memintanya nanti.”

“Ya sudah, lakukan saja sesuka hatimu.”

           Kamarku sudah kembali bersih dan rapi. Akhirnya, kami berdua bisa menghabiskan waktu untuk beristirahat. Fatih terbaring di atas tempat tidurku, sedangkan aku hanya termenung menatap langit biru yang terukir di balik jendela. Kami sama-sama terdiam menikmati kesunyian yang meliputi ruangan ini. Aku terus menatap jauh ke atas sembari berpikir “Apa kedua orang tuaku masih tinggal sembari mengarungi takdir di bumi ini? Ataukah mereka sudah pergi ke atas sana, bersemayam bersama bintang yang kupandangi setiap malam?” Aku hanya ingin mereka tahu bahwa aku baik-baik saja di sini, dan aku akan segera menemukan mereka tak peduli dengan apa yang akan kulewati. Aku menoleh ke arah Fatih yang sedang asyik menatap langit-langit kamar.

“Aku ingin menanyakan sesuatu padamu.” Aku memecah keheningan.

“Apa?” Fatih terbangun dan langsung menatap mataku.

“Apa alasanmu membawaku sampai sejauh ini?” Aku menatap penasaran ke arahnya.

“Bukankah kamu sudah mengetahuinya?” ujar Fatih.

“Aku hanya ingin mendengar ketulusanmu sekali lagi.” Aku pun mengalihkan pandangan darinya.

“Oh, hanya saja aku merasa berhutang kepadamu. Kamu dengan senang hati membantuku untuk menghapus kebodohan yang selama ini bersemayam di dalam otakku, dan aku ingin membalas kebaikanmu dengan memberikan sesuatu yang mampu menutupi kekuranganmu.” Fatih kembali membaringkan tubuhnya.

“Terima kasih,” ujarku sembari menatap ke luar jendela.

“Bukankah kamu sudah terlalu sering mengucapkan terima kasih padaku, aku tak berbuat banyak untukmu. Simpan saja rasa terima kasihmu, dan hiduplah dengan bahagia bersama kami semua yang ada di rumah ini.” Fatih pun memejamkan matanya, sampai akhirnya dia tertidur. Aku tersenyum seraya berkata pada hati kecilku, “Mungkin ini memang awal kebahagiaanku, aku tak akan menyesalinya.”

           Langit menghitam, kesunyian menyelimuti semesta, dan tak ada satupun bintang yang muncul di permukaan langit. Angin terus menerus datang mengetuk jendela kamarku. “Ting.” Sebuah pesan masuk untukku. Saat kulihat, nama Risa tertulis di atas pesan tadi.

“Alfa, kamu sedang apa?”

“Tidak ada, aku hanya sedang berbaring di kamar,” balasku

“Oh, apa besok aku boleh menemuimu di panti?”

“Oh iya, aku lupa memberi tahumu. Aku sekarang tinggal di rumah Fatih. Fatih meminta kedua orang tuanya untuk mengambil tanggung jawab atas diriku, dan akhirnya kami menjadi saudara.”

“Hah, sungguh? Kenapa kamu baru mengatakannya sekarang,” Risa membalas pesanku dengan sangat cepat.

“Iya maaf.”

“Memangnya kenapa kamu mau bertemu denganku?” lanjutku.

“Aku hanya ingin bertemu dan pergi ke perpustakaan bersamamu.” Risa mengirimku sebuah stiker yang menggambarkan rasa kecewa.

“Oh iya, besok aku dan Fatih akan pergi ke toko buku untuk membeli beberapa buku. Apa kamu mau ikut?” Risa berhenti sejenak, lalu kembali membalas pesanku.

“Hmm… dengan Fatih ya?”

“Iya, memangnya kenapa?”

“Tidak, tidak apa-apa. Baiklah kalau begitu besok aku akan datang ke rumah kalian.”

“Baiklah.” Pesan kami berakhir. Saat aku hendak siap-siap untuk tidur, sebuah notifikasi kembali masuk.

“Kalau begitu, lain kali kita ke perpustakaan bersama ya!” Risa kembali mengirim pesan padaku. “Iya,” balasku. Lalu, dia mengirimkan stiker berbentuk hati padaku. 

Hari pun berganti. Aku dan Fatih tengah bersiap untuk pergi ke toko buku. Sesaat sebelum kami berangkat, Risa tiba di rumah kami. “Assalamualaikum, Fatih.” Risa tengah berdiri menanti kami di depan gerbang. “Waalaikumsalam, iya sebentar,” balas Fatih.

“Risa, sedang apa kamu di sini?” Fatih membukakan gerbang untuknya.

“Hai, aku dengar kau tinggal bersama Alfa sekarang.” Risa menatap ke segala arah.

Lihat selengkapnya