Alfa

Haneul
Chapter #6

Mawar

Rabu, 6 Mei 2020

           Satu tahun telah berlalu, dan kini aku kembali dipertemukan dengan hari libur yang cukup panjang. Selama beberapa hari ini yang kulakukan hanyalah berbaring di atas tempat tidur sembari menikmati semua buku yang terpajang di rak. Aku kembali membaca buku novel yang diberikan oleh Risa, dan aku teringat akan puisi yang ia tulis untukku. Kubuka kembali lipatan kertas yang kusisipkan di antara lembaran buku itu, lalu kubaca lagi puisi yang terukir di dalamnya. Saat membacanya, bayang-bayang Risa di hari itu terlintas di dalam benakku. Secara tak sadar, sebuah senyuman terukir di wajahku. “Apa dia benar-benar menyukaiku,” gumamku dalam hati. Aku pun berencana untuk membalas puisinya. Aku merangkai kata-kata yang hendak kutuangkan ke atas kertas. Namun, tiba-tiba sebuah pesan masuk merusak konsentrasiku.

“Alfa, Risa, apa kalian punya waktu?” Fatih mengirim pesan di grup pertemanan kami.

“Memangnya ada apa?” balas Risa.

“Aku ingin mengajak kalian makan bersama,” lanjut Fatih. Lalu, dengan segera kugerakkan jari-jariku untuk membalas pesan Fatih, “Maaf, aku sudah memiliki rencana untuk hari ini.” Kemudian, sebuah pesan masuk dari Risa.

“Alfa, apa rencanamu hari ini?”

“Aku mau pergi ke perpustakaan untuk meminjam beberapa buku,” balasku.

“Apa aku boleh ikut?” Risa kembali bertanya padaku.

“Tentu saja, tapi bagaimana dengan Fatih?”

“Lain kali saja,” balasnya.

“Kalau begitu aku juga akan mengajak Fatih.” Aku pun langsung beranjak dari kursi, dan mulai melangkah ke kamar Fatih.

“Tidak usah.” Langkahku terhenti setelah membacanya.

“Kenapa?” tanyaku.

“Tidak apa-apa.”

“Baiklah kalau begitu.” Aku mengurungkan niat untuk mengajak Fatih. Lalu, perbincangan kami berakhir sampai di situ. Aku kembali ke kamar untuk bersiap-siap pergi. Saat sedang sibuk merapikan buku yang tergeletak di atas kasur, aku teringat dengan puisi yang hendak kutulis. Karena terburu-buru, akhirnya kubiarkan kertas itu menanti di atas meja.

           Saat berada di tengah perjalanan, Risa mengabariku bahwa dia sudah sampai di perpustakaan. Aku pun langsung mengayuh sepeda yang kunaiki dengan sangat cepat, berharap tak terlambat. Sesampainya aku di depan sekolah, keheningan menyelimuti seisi sekolah ini. Lalu, kupacu kedua kaki untuk berlari ke perpustakaan. Saat kubuka pintunya, tak ada satupun orang yang terlihat olehku. Lalu, mataku mulai menyusuri seisi ruangan ini, dan kudapati sebuah tas kecil berwarna coklat tengah terpajang di atas sebuah meja yang tak jauh dari tempatku berdiri. “Sepertinya itu tas milik Risa,” ucapku perlahan sembari melangkah mendekati tas itu. Setelah menaruh tas yang kubawa, aku mengeluarkan beberapa buku yang tersimpan di dalamnya untuk kukembalikan. Aku berjalan menyusuri setiap rak untuk mengembalikan buku-buku yang kupinjam sekaligus mengambil beberapa buku yang hendak kubaca. Saat aku hendak meraih salah satu buku di rak bagian tengah, kulihat Risa tengah melihat-lihat buku di seberang rak tempatku berdiri. “Risa.” Aku melambaikan tangan padanya. Dia pun menoleh ke arahku. “Oh, Hai.” Lalu, aku melangkah ke tempatnya berada.

“Apa kamu sudah lama menunggu?” tanyaku.

“Tidak, aku baru saja sampai lima belas menit yang lalu.” Matanya sibuk menatap semua buku-buku yang terpajang di hadapannya.

“Kamu sedang mencari buku apa?” Aku pun turut sibuk mencari beberapa buku.

“Entah, ada terlalu banyak buku di sini, aku jadi bingung. Menurutmu, buku apa yang bagus dan menarik di sini?”

“Hmm… bagaimana kalau kita saling bertukar buku. Kamu memilihkan satu buku untukku, dan aku akan memilihkan satu buku juga untukmu.”

“Boleh juga.” Kami berdua mulai mencari buku di semua rak. Setelah beberapa saat, aku dan Risa berhasil mendapatkan buku yang hendakkan kami tukarkan satu sama lain. Setelah itu, kami kembali ke tempat duduk untuk mulai membaca. Selama hampir tiga jam kami melebur pada setiap bacaan, dan akhirnya kami selesai. Lalu, kami mulai bertukar cerita mengenai isi buku yang kami baca, dan juga menceritakan bagian yang menjadi favorit kami berdua. Setelah itu, kami pun beranjak pergi dari perpustakaan.

“Apa kamu mau langsung pulang?” tanya Risa padaku yang sedang sibuk bergelut dengan tali sepatuku.

“Ah iya, memangnya kenapa?” balasku sembari menolehkan wajah ke arahnya.

“Apa kamu mau menemaniku lebih lama?”

“Memangnya kita mau kemana lagi?”

“Kalau begitu, ayo ikut saja, nanti juga kamu tahu.” Risa meraih tanganku, lalu membawaku berlari meninggalkan sekolah. Kami berdua menaiki sepeda yang kubawa. Risa duduk di kursi belakang, dan aku sibuk mengayuh sepeda mengikuti arahan Risa. Tak jauh dari sekolah kami, terlihat sebuah taman bermain menghiasi pusat kota. Risa memintaku untuk berhenti tepat di depan taman bermain itu, lalu dia kembali menarik tanganku untukku ikut masuk ke dalamnya. Saat memasukinya, mataku dengan lincah mengamati ke segala arah. Berbagai macam wahana berdiri mengelilingi taman ini. Setelah beberapa saat melihat-lihat, Risa pun mengajakku untuk bermain bumper car. Kami berdua memasuki wahana, aku dan Risa berada di mobil yang berbeda. Saat permainan mulai, mobil Risa langsung melaju dengan cepat ke arahku, dan mobilku beserta diriku terpental ke belakang. Risa tertawa saat menatap wajahku yang terlihat kaget. Merasa tak terima, aku pun membalasnya. Kami berdua sama-sama tertawa sembari terus menabrakkan mobil kami satu sama lain. Setelah keasyikan di wahana bumper car, Risa membawaku berlari ke depan wahana rumah hantu. Kami pun masuk ke dalamnya. Di saat kami baru melangkah masuk ke dalamnya, tangan Risa dengan cepat mencengkeram lengan bajuku. Dengan perlahan kami menyusuri jalan setapak di dalam wahana ini. Berbagai macam hantu berusaha mengejutkan kami dari segala arah. Hampir setiap saat Risa meneriakkan permintaan maaf kepada hantu-hantu palsu itu, lalu bersembunyi di balik pundakku. Tingkahnya menggelitik perasaanku, sampai akhirnya aku menertawakannya. Kami pun keluar dari wahana itu. Risa tak mampu menegakkan kedua kakinya yang masih bergetar ketakutan. “Kamu sendiri yang mengajakku untuk masuk ke sana, tapi kamu juga takut di dalam sana.” Aku tersenyum padanya. “Hei, jangan meremahkan diriku. Aku hanya terkejut bukan ketakutan.” Risa menoleh kesal ke arahku. Lalu, aku ulurkan tanganku untuk membantu Risa menegakkan tubuhnya. Aku merangkul Risa sembari melihat-lihat dan berpikir, “Permainan apa yang bisa memulihkan kebahagiaannya?” tanyaku dalam hati. Setelah lama mencari, aku mengajak Risa untuk memainkan permainan melempar bola. Risa hanya memperhatikan diriku dari belakang, sedangkan aku tengah berusaha melemparkan bola-bola yang kugenggam tepat ke sasarannya. Setelah melalui tiga kali percobaan, aku berhasil mengenai sasaran. “Yes…!” seruku sambari mengepalkan tangan ke udara. Risa bertepuk tangan dengan bangga di belakangku. Kami berdua dipersilahkan untuk memilih satu boneka yang menggantung di sekeliling tempat permainan ini. Lalu, aku meraih sebuah boneka kuda berwarna putih dan memberikannya kepada Risa. Dia langsung merebut boneka itu dariku, dan mendekapnya dengan erat. Risa terlihat begitu senang. Setelah merasa penat bermain seharian, Risa mengajakku untuk beristirahat dengan menaiki wahana kincir ria sembari memakan es krim. Wahana pun mulai bergerak. Semakin lama, kursi yang kutempati bersama Risa mulai naik ke atas. “Terima kasih karena sudah mau menemaniku dan tertawa bersamaku,” ujar Risa padaku yang tengah asyik melihat pemandangan dari ketinggian. Aku pun tersenyum pada Risa. Setelah sepuluh menit berputar di udara, kami berdua turun. “Alfa, ayo kita abadikan momen hari ini,” ujar Risa padaku. Risa menggenggam tanganku dan berlari membawaku ke depan sebuah komidi putar. Kami berdua berdiri di depan permainan itu. Risa meminta tolong kepada salah satu pengunjung taman bermain untuk memfoto kami berdua. Namun, aku mengacaukan foto pertama karena melihat ikatan tali sepatu Risa yang terlepas. Aku pun membungkuk dan mengikatkan tali itu untuknya. “Terima kasih,” ucap Risa. Lalu, mata kami kembali fokus ke arah kamera yang sudah siap memotret kami berdua. Beberapa foto berhasil diabadikan di tempat ini. Karena senja sudah mulai tiba, aku dan Risa memutuskan untuk meninggalkan taman bermain. Aku mengantarkan Risa pulang dengan menaiki sepeda yang kubawa. Di tengah perjalanan, aku dan Risa tak henti-hentinya membicarakan kebahagiaan yang kami lalui bersama di taman bermain. Setelah sampai di depan rumahnya, Risa melambai padaku. Begitu juga dengan boneka yang kuberikan padanya, ia gerakkan salah satu tangannya untuk melambai padaku. Aku tersenyum melihatnya. Aku pun kembali mengayuh sepeda untuk berjalan pulang.

           Sesampainya di rumah, Fatih datang menghampiriku dengan wajah yang terlihat bahagia.

“Alfa…” seru Fatih di depan pintu.

“Ada apa?” tanyaku sembari melepas sepatu.

“Apa kamu bisa membuatkan aku sebuah puisi?” Harapn tersirat di balik tatapannya.

“Tentu saja. Tapi, tumben sekali kamu minta kubuatkan puisi, ada apa?” Aku berjalan mendekatinya.

“Nanti saja kucerita, sekarang ayo kita ke kamar dulu.” Fatih menuntunku menuju kamar.

Assalamualaikum,” ucapku sembari melangkah masuk ke dalam rumah.

Waalaikumsalam,” jawab Fatih.

“Mama dan Ayah kemana?” tanyaku sembari melihat ke sekeliling rumah.

“Masih belum pulang dari kantornya,” jawab Fatih. Kami berdua sampai di kamarku. Lalu, Fatih memaksaku untuk segera duduk di depan meja belajar.

“Memangnya puisi seperti yang kamu inginkan?” Aku memandang ke arah kertas yang masih setia menunggu di atas meja.

“Kalau begitu akan aku ceritakan supaya kamu paham puisi apa yang aku inginkan.” Fatih membaringkan tubuhnya di atas tempat tidurku.

Lihat selengkapnya