Senin, 13 Juli 2020
Untuk pertama kalinya, aku pergi ke sekolah tanpa Fatih. Dia rela menaiki sepeda ke sekolah, hanya untuk menghindar dariku. Risa pun mengatakan, bahwa Fatih tak pernah berbicara dengannya lagi di kelas. Pesan-pesan yang dikirimnya pun tak pernah Fatih gubris.
Saat aku tiba di sekolah, semua siswa melihat ke arahku dengan tatapan yang menyiratkan kebencian. Aku tak mengerti dengan apa yang terjadi, yang terpikirkan olehku adalah keadaan Fatih. Aku masuk ke dalam kelas. Dan secara serentak, semua orang menatap diriku sembari berbisik dengan yang lainnya. Aku berdiri mematung di depan pintu. “Apa lagi yang akan menghujam diriku,” hatiku berkata. Lalu, Vino mendorong tubuhku dari luar. “Ya… jangan menghalangi jalan orang.” Dia membentak di dekat telingaku. “Dasar parasit.” Vino mengumpat dengan suara pelan. Namun, aku mendengarnya. Emosiku pun langsung memuncak. Kutarik tas yang menggantung di punggungnya, lalu kulayangkan sebuah tinju tepat ke wajah. Dia jatuh tersungkur ke lantai. Beberapa orang berusaha merangkulnya, dan yang lainnya hanya menatap tajam ke arahku. “Dasar tidak tahu malu, berani sekali kamu menghajar seseorang tanpa memiliki rasa bersalah sedikitpun.” Semua orang terus mencaci maki diriku. “Mengapa kau marah, bukankah kamu memang parasit?” ucap Vino sembari mengusap luka di bibirnya. “Kau pikir kami semua tidak tahu apa saja yang sudah kau lakukan pada keluarganya Fatih?!” Aku menatap kesal ke arahnya. “Berani sekali kau menampakkan wajah kepada dunia setelah menguras habis kasih sayang orang lain dan merenggut hak yang bukan milikmu,” lanjutnya. Aku pun meninggalkan kelas dengan amarah yang terus bergejolak. Aku berlari masuk ke perpustakaan dengan berharap bisa kembali menenangkan pikiranku. Namun, semua tetap sama. Semua orang yang berada di perpustakaan menatap tajam ke arahku. Aku pun berlari ke sudut ruangan untuk menghindar dari semua tekanan ini. “Hei, apa benar dia memanfaatkan kebaikan Fatih agar bisa hidup bersama keluarganya?” bisik salah seorang anak yang berjalan melewati tempat dudukku. “Kudengar dia memaksa Fatih untuk menjadi temannya,” ucap yang lainnya. “Apa dia tidak malu dengan apa yang telah dilakukannya? Berani sekali dia datang ke sekolah.” Semua orang menebarkan kebencian padaku. Entah apa yang telah kuperbuat sampai harus menerima semua hujatan ini. Di saat aku tengah meratapi kebencian yang dicurahkan semua orang padaku, Fatih mengirimkan sebuah pesan padaku. “Alfa, ada yang ingin kukatakan padamu. Temui aku di aula olahraga.” Aku pun langsung beranjak dari perpustakaan dan berlari menuju aula olahraga. “Akhirnya Fatih mau berbicara denganku,” gumamku dalam hati.
Dari luar aula, kulihat Fatih tengah berdiri seorang diri di dalam. Kubuka pintu aula dengan perlahan sembari memanggilnya, “Fatih.” Dia pun menoleh. “Oh kamu sudah datang.” Fatih berjalan ke arahku.
“Maafkan aku, Alfa.” Tak lama setelah Fatih mengatakan itu, beberapa orang datang dari belakangku dan langsung menahan kedua tanganku. Aku pun berusaha melawan dengan terus berteriak, “Lepaskan…! Apa yang terjadi, Fatih?” Aku kembali menatap dirinya. Kulihat sebuah senyuman terukir di wajahnya.
“Maafkan aku, Alfa. Aku tak tahu bagaiman harus melampiaskannya. Aku tak bisa menahan rasa kecewa yang kau berikan padaku. Di saat aku benar-benar berharap, kau menghancurkan harapanku dengan mengkhianati diriku.”
“Apa maksudmu?” Tubuhku terus meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari cengkeraman mereka.