Alfa

Haneul
Chapter #8

Pertemuan

Senin, 14 Juni 2021

           Sudah setahun sejak kepergianku dari semua kebohongan itu. Dan kini aku berhasil menempuh jalan baru yang Tuhan tunjukkan padaku. Sudah setahun pula aku duduk di bangku SMA. Tak sedikit orang yang memandang diriku sebelah mata, namun luka yang kudapat dari masa lalu telah menjadi obat bagi luka baru yang kutemui di masa depan. Dunia memang penuh dengan kebencian, terlebih bagi mereka yang memiliki kelebihan dan mampu mencuri sorot pandang. Di sekolah ini, aku kembali menuai banyak prestasi. Peringkat satu pun berhasil kupertahankan sebagai tahtaku. Teman, aku masih takut untuk mencarinya. Pengkhianatan itu meninggalkan trauma yang tertanam di dalam hatiku. Selama setahun ini, semua mengalir dengan tenang. Tapi kuyakin, suatu saat nanti takdir akan kembali menguji batinku.

           Hari ini, aku memulai pertemuan pertama di kelas dua. Dan kudengar, akan ada seorang siswa pindahan menempati kelas kami. Di saat semua perhatian tertuju pada guru kami yang berdiri di depan. Seorang anak lelaki masuk ke dalam kelas sembari menyembunyikan kedua tangannya di balik saku celana. Terlihat sebuah jaket hitam menutupi seragamnya dan tas yang terangkul hanya di satu sisi menggantung di punggungnya. Melihat gaya dan gestur tubuhnya, aku teringat akan seseorang yang pernah kuhajar karena mulutnya. “Perkenalkan, nama saya Vino Saputra, kalian boleh memanggil saya Vino.” Mataku membelalak saat mendengar namanya. Ternyata memang benar dia orangnya. Vino yang pernah kuhajar karena memanggil diriku dengan sebutan parasit. Aku menatap ke arahnya, dan dia membalas tatapanku sembari tersenyum. Dia mengejekku. “Kenapa masa laluku harus kembali menghampiriku?” gumamku dalam hati. Setelah memperkenalkan dirinya di depan kelas, Vino berjalan ke arah kusri kosong yang berada tepat di sampingku.

“Hai, Alfa. Kamu masih mengingatku?” bisiknya di depan telingaku.

“Jangan bertingkah seakan-akan kau kenal padaku!” balasku.

“Sombong sekali kau. Bagaimana apa bekas lukamu sudah hilang?” Dia terus berusaha memancing kesabaranku.

“Apa di sini tidak ada yang merisakmu?” lanjutnya.

“Berhentilah menggangguku atau kuhajar kau seperti dulu.” Aku mengancamnya.

“Wah… apa perlu kubongkar masa lalumu di sini?” Dia balik mengancam diriku yang semakin lama semakin terintimidasi akan keberadaannya. Aku pun terdiam sejenak.

“Kau pikir aku masih lemah seperti dulu?” Tanpa pikir panjang, aku mengambil keputusan yang melenceng jauh dari jalanku.

“Memangnya sekuat apa dirimu, berapa banyak orang yang sudah menjadi korbanmu di sini?” Vino menantangku.

“Lihat saja nanti.” Aku larut dalam ketakutan akan terkuaknya masa laluku, sampai akhirnya aku harus rela meninggalkan jati diriku. Namun, aku kembali memikirkan keputusan bodohku itu. Aku pun tersadar dan menganggap ucapanku kepada Vino hanyalah sebuah candaan. Lalu, aku mulai memikirkan cara untuk bisa menghindar dan menjauh dari Vino.

           Tiga hari berlalu, dan Vino terus menggangguku agar aku mau bertindak sesuai dengan keinginannya. Awalnya aku berhasil memberikan seribu alasan kepadanya, lalui dia mulai menyadari bahwa aku telah membohongi dirinya. Dia pun mulai mengancam akan membuka mulut di hadapan semua orang. Walau hanya dengan waktu tiga hari, sifat Vino yang mampu beradaptasi dengan cepat, berhasil membuatnya dikelilingi dengan banyak teman. Sedangkan aku yang sudah menjadi penghuni asli sekolah ini, masih belum bisa menemukan seseorang yang mampu kupercayai. Aku mulai merasa takut dengan ancaman yang diberikan Vino. Aku tak mau jika mimpi buruk itu harus datang menghampiri diriku untuk yang kedua kalinya. Kembali terbayang olehku saat aku benar-benar terpuruk sampai rela mengorbankan nyawaku agar bisa terlepas dari belenggu luka dunia. Akhirnya, aku pun terpaksa menutup cahaya yang menyinari hatiku.

 “Mana? Katanya kau akan menunjukkan aksimu padaku?” Vino terus memaksa diriku.

“Apa kamu benar-benar tidak takut dengan ancamanku. Kamu tahu sendirikan, aku itu pantang menarik ucapanku.” Aku pun merasa gelisah. Tak lama, seorang teman sekelasku tengah berjalan ke arah mejaku. Saat dia hendak melewati mejaku, aku menutup jalannya dengan menggunakan kaki kiriku. Dia pun terjatuh tersungkur ke lantai. “Hei, apa kau gila?” Dia terbangun dan langsung membentakku. Aku pun bangun dari tempat dudukku, lalu membalas perkatannya. “Salahmu sendiri, suruh siapa jalan tidak lihat-lihat,” ucapku sembari mendorong pundaknya dengan jari telunjukku. Orang itu pun pergi meninggalkanku tanpa meninggalkan sepatah kata padaku. Vino memperhatikan diriku sembari tersenyum bangga padaku. “Wow… Alfa… kamu keren sekali.” Dia mengacungkan ibu jarinya padaku. Entah mengapa aku merasa senang mendapat pengakuan darinya.

           Tingkahku mulai berlanjut. Aku dan Vino pergi ke kantin bersama. Kami memerhatikan sekeliling kami, sampai akhirnya aku menemukan sasaran yang diminta Vino.

“Hei, kamu kenal aku tidak?” tanyaku pada seorang adik kelas yang menjadi korbanku selanjutnya.

“Oh iya, Kak Alfa kan. Tentu saja saya kenal, kakak kan murid paling pintar di sekolah ini.” Dia tersenyum padaku. Lalu, aku pun menarik bajunya sembari uang yang tersimpan di sakunya.

“Uang ini untukku ya, aku lapar.” Aku dan Vino meninggalkan anak itu, dan langsung menggunakan uangnya untuk membeli makan siang. Vino semakin terkagum-kagum dengan sifat gelap yang mulai lahir di dalam jiwaku. Namun, aku masih merasa bersalah saat melakukan semua tindakan itu. Setelah makan siang, kami kembali ke kelas untuk melanjutkan jam pelajaran. Dan saat pelajaran baru saja dimulai, Vino menyuruhku untuk meminta izin kepada guru yang sedang menjelaskan materi pelajaran di depan kelas. Aku menolaknya, namun ancaman Vino berhasil membutakanku. Aku pun langsung mengepalkan tangan kananku ke atas. “Iya ada apa, Alfa?” Guru itu menoleh kepadaku. “Ibu apa saya boleh izin ke toilet sebentar?” Dengan ragu, kuucapkan apa yang telah Vino perintahkan. “Oh, tentu saja. Silahkan.” Guru itu mempersilahkan diriku dengan senang hati. “Saya juga ya, Bu,” susul Vino. Lalu, kami berdua pun berhasil keluar dari kelas. “Sekarang kita mau ke mana?” tanyaku pada Vino. “Bagaimana kalau kita tidur saja di perpustakaan,” ujar Vino. Aku pun mengikuti kemauannya. Kami berhasil menyusup ke dalam perpustakaan tanap terlihat oleh siapa pun. Kami pun memilih tempat yang tertutup dan jarang dilalui oleh kebanyakan orang. Vino dengan mudah tidur dengan lelap, sedangkan aku merasa was-was karena takut ada yang melaporkan kami. Namun, akhirnya aku pun ikut terlelap tanpa beban. Aku dan Vino tertidur selama berjam-jam, sampai akhirnya kami dibangunkan oleh suara bel yang berdering dengan kencang.

“Bagaimana tidurmu?” tanya Vino sembari meregangkan tubuhnya.

“Lumayan, ternyata asyik juga membolos untuk beristirahat seperti ini. Sudah lama sekali aku tidak pernah tidur siang.” Aku mulai terbiasa dengan kenakalan yang aku lakukan bersama Vino. Lalu, Vino menjabat tanganku, “Aku bangga padamu.” Aku kembali merasa senang bisa mendapat pengakuan darinya. 

Keesokannya, aku mulai terbiasa dengan kenakalan yang kulakukan belakangan ini. Aku merasa bahwa dengan berbuat seperti ini aku tidak akan pernah ditindas lagi, bahkan mereka yang akan tunduk dan takut kepadaku. Aku pun memutuskan untuk menghabiskan waktu di sekolah dengan bersenang-senang mengikuti keinginan hatiku. Saat memasuki kelas, Vino datang menghampiriku dan menyambutku dengan antusias. “Yo… Alfa, sahabatku.” Lalu, kami saling menepukkan kedua telapak tangan kami di udara. Hari ini, aksi kami dimulai dengan menyembunyikan dompet milik salah satu anak di kelas kami, Putra. Awalnya semua berjalan lancar, sampai akhirnya Putra menyadari bahwa dompetnya hilang. Di saat kami tengah sibuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru matematika, Putra membuat keganduhan di mejanya.

Lihat selengkapnya