Alfa

Haneul
Chapter #9

Mama

Senin, 1 November 2021

           Hukuman atas dosa-dosa yang kulakukan di sekolah ini, berlanjut selama dua minggu. Dan sejak hari itu, aku menaruh benci dan rasa kesal pada Bu Hana. Setiap hari, dia hanya mengocehkan nasihat-nasihat yang merusak pendengaranku. Saat bertemu dengannya, semangatku untuk menjalani hari menjadi hancur melebur bersama rasa benci yang tertanam di dalam hatiku. Aku selalu berpikir untuk bisa menghindar darinya, tapi tak pernah berhasil. Sampai akhirnya, tersebar sebuah rumor mengenai masa lalu Bu Hana.

“Apa kamu sudah dengar berita tentang guru baru yang mengajar konseling di sekolah kita?” tanya salah seorang anak di kelas padaku.

“Bu Hana maksudmu?” Aku balik bertanya padanya.

“Iya, kudengar di kehilangan anaknya saat baru sebulan melahirkan,” lanjutnya.

“Apa maksudmu, lagi pula apa urusannya denganku?” balasku.

“Apa kamu tidak merasa risih dengannya? Banyak orang yang bilang kalau dia bekerja sebagai guru konseling hanya untuk memuaskan rasa rindu yang mendalam pada anaknya.”

“Kenapa aku harus risih, dia juga hanya berusaha mengobati rasa rindunya.” Aku mulai mengacuhkannya.

“Bukan itu saja, kudengar dia juga pindah ke sini karena pernah terlibat kasus penculikan di sekolahnya dulu.” Aku pun mulai tertarik mendengarnya.

“Biar kuceritakan semuanya. Di sekolah tempat dia bekerja dulu, ada seorang anak yang menjadi korban perisakan di sekolahnya. Bu Hanalah yang menjadi tempat pelarian anak itu. Hampir setiap hari anak itu datang ke ruangan Bu Hana untuk menceritakan keluh kesahnya. Bu Hana juga menjadi sangat perhatian pada anak itu, dan merasa bahwa anak itu sudah seperti anaknya sendiri. Setelah beberapa hari kemudian, anak itu tidak pernah datang ke sekolah, bahkan tak pernah pulang ke rumahnya. Orang tua dari anak itu melapor ke sekolah, lalu sekolah melaporkan berita kehilangannya ke kantor polisi. Polisi mencurigai orang-orang terdekatnya, sampai akhirnya Bu Hana pun menjadi tersangka utama karena banyak tuduhan yang mengarah padanya. Semua orang di sekolah itu merasa yakin bahwa Bu Hana adalah penyebab hilangnya anak itu, karena selama ini Bu Hana yang selalu ada di sampingnya, ditambah Bu Hana yang sudah kehilangan anaknya selama bertahun-tahun, membuat semua tuduhan itu bisa diterima oleh pihak polisi. Saat polisi mendatangi rumah Bu Hana, mereka berhasil menemukan anak itu. Bu Hana pun dituntut oleh kedua orang tua dari anak itu, namun tuntutan itu berhasil dipatahkan dengan kesaksian yang diberikan oleh anak itu. Dia mengatakan bahwa dia yang meminta agar Bu Hana mengizinkannya tinggal di rumah Bu Hana, anak itu merasa takut untuk pulang dan juga datang ke sekolah. Bu Hana pun terbebas dari hukumannya, tapi semua siswa di sekolah itu percaya bahwa Bu Hana memaksa anak itu untuk memberikan kesaksian palsu di hadapan polisi dan orang tuanya.” Setelah mendengarnya, kalbuku tergugah. Pikiran jahat mulai menari-nari. “Berani-beraninya wanita itu menceramahiku berhari-hari, padahal dirinya pun bermasalah,” gumamku dalam hati. Aku pun berencana untuk menggali lebih dalam masa lalu Bu Hana, supaya aku bisa membalaskan kebencianku dengan menyeret sisi gelap dirinya ke hadapan semua orang.

“Tunggu, kamu tahu dari mana cerita ini?” Aku berusaha memastikan agar rencanaku bisa berjalan dengan lancar.

“Aku mendengarnya dari salah seorang temanku yang bersekolah di tempat Bu Hana mengajar dulu.”

“Oh, terima kasih untuk ceritanya.” Skenario pembalasan dendamku mulai terancang di dalam benakku.

“Terus, apa rencanamu?”

“Tunggu dan lihatlah.” Aku pun tersenyum.

           Hari ini, aku tidak memiliki jadwal konseling dengan Bu Hana. Aku memutuskan untuk mendatangi wali kelasku yang kebetulan guru konseling dan teman dekat Bu Hana di sekolah ini. Setelah menjalani masa hukuman selama dua minggu, aku merasakan sebuah perubahan. Saat aku berjalan menyusuri koridor sekolah, tak ada satupun tatapan yang tertuju padaku. Aku pun merasa lebih percaya diri untuk berjalan sembari memandang ke depan. Sesampainya aku di depan ruang konseling, rasa cemas mulai melanda hatiku. “Semoga Bu Hana tidak ada di dalam,” ucapku dengan perlahan sembari membuka pintu ruangan. Kulihat, hanya ada dua orang guru di dalam ruangan itu. Mereka tengah sibuk menatap layar komputer yang terpajang di hadapannya.

“Alfa, ada apa ke sini,” tanya Pak Farhan, wali kelasku.

Assalamualaikum, Pak,” ucapku perlahan.

Waalaikumsalam,” jawabnya.

“Pak, apa saya boleh bicara dengan Bapak sebentar?” lanjutku.

“Tentu saja, silahkan.” Pak Farhan mempersilahkan diriku untuk duduk.

“Pak, apa kita bisa bicara di luar?” Aku mengajak Pak Farhan untuk pergi ke perpustakaan sekolah. Kami berdua keluar ruangan dan langsung menuju perpustakaan.

Lihat selengkapnya