Kamis, 11 Februari 2021
Seorang anak datang kepadaku dengan membawa air mata yang terurai di wajahnya. “Ibu Hana.” Dia menangis tersedu-sedu di dalam dekapanku. Tubuhnya gemetar dengan hebat, kuning telur nampak mewarnai rambut panjangnya, dan jejak sepatu yang melekat pada bagian belakang seragamnya, membuatku terluka melihatnya. Isak tangisnya turut menggores hatiku. “Siapa yang melakukan semua ini?” Aku terus mengusap air matanya yang bersatu dengan tetesan air yang jatuh dari rambutnya. Kudekap erat tubuhnya, berharap ia mau meluapkan semuanya padaku. Akhirnya, setelah setengah jam larut dalam kesedihan dan juga ketakutan, dia mulai memberanikan diri untuk menceritakan semuanya padaku.
“Siapa yang berani melukaimu seperti ini?” Aku mengusap rambutnya yang terurai panjang ke bawah.
“Me… me… mereka menarik rambutku, lalu membawaku masuk ke dalam kamar mandi.” Tubuhnya kembali bergetar.
“Mereka menyiram tubuhku dengan air, lalu mereka lemparkan beberapa butir telur ke kepalaku,” lanjutnya.
“Apa mereka sudah sering merisak dirimu?” Aku kembali bertanya untuk bisa mencari solusi demi melindunginya.
“Su… sudah sebulan ini saya dirisak oleh mereka.” Air matanya kembali mengalir di pipinya.
“Apa orang tuamu tahu dengan apa yang kamu alami ini?”
“Saya sudah memberi tahu Mama dan Papa, tapi mereka marah kepadaku. Mereka bilang itu salahku karena menjadi orang yang lemah.” Setelah mendengarnya, aku pun tak mampu berucap apa-apa. Aku kembali mendekap anak itu.
“Untuk sekarang, kamu tidak usah kembali ke kelas dulu,” ujarku padanya. Aku bisa merasakan adanya luka yang begitu mendalam di balik tubuh dinginnya ini.
“Ibu, aku tidak mau pulang ke rumah. Aku takut.”
“Kamu tetap harus pulang. Kamu harus memberi tahu kejadian ini kepada kedua orang tuamu, bagaimanapun juga mereka harus bertanggung jawab atas dirimu. Kalau memang mereka tak peduli dengan keadaanmu, biar Ibu yang mengurusmu.” Aku merasa geram.
Tiga hari berlalu sejak kejadian itu. Hanifah kembali datang ke hadapanku dan mengatakan, bahwa kedua orang tuanya tak menggubris keluhan yang ia ceritakan. Amarahku mulai meledak-ledak di dalam batin, aku benar-benar kehabisan kata-kata akan orang tua Hanifah yang begitu tega membiarkan hidup anaknya melebur dihancurkan dunia. Tak sedikit pun mereka curahkan kasih sayang dan perhatian. Aku pun langsung memutuskan untuk membawa Hanifah tinggal bersamaku. Aku pergi mengantar Hanifah untuk mengambil barang-barang miliknya yang ia tinggalkan di rumah. Selagi dia mengemasi barang-barangnya, aku berusaha berbicara dengan kedua orang tua Hanifah untuk menyadarkan pikiran mereka.
“Pak, Bu, apa kalian tega membiarkan Hanifah menghadapi ini semua seorang diri?”
“Memangnya kamu itu siapa? Berani-beraninya mengajarkan saya cara mendidik anak. Hanifah anak saya, dan cara mendidiknya pun terserah saya.” Ibunya membentak kepadaku.
“Punya hak apa kamu mengurusi urusan keluarga saya?!” timpal ayahnya. Tak lama, suara tangis Hanifah mulai terdengar dari dalam kamar.
“Saya hanya berusaha meluruskan cara Bapak dan Ibu mendidik Hanifah, karena bukan cara seperti ini yang Hanifah inginkan. Dia hanya ingin mendapatkan perhatian dan juga kasih sayang dari kedua orang tuanya,” balasku pada keduanya.
“Memangnya kami harus menurutinya? Dia sendiri tidak bisa membanggakan, yang dilakukannya hanyalah menangis meratapi kesedihan. Lebih baik dia menderita, sehingga dia bisa belajar dari luka yang didapatnya,” ujar ibunya.
“Dasar anak lemah, hanya bisa merepotkan,” ucap ayahnya dengan suara yang pelan. Tanganku mulai terasa gatal, ingin melayangkan tamparan kepada mereka.
“Baiklah kalau memang kalian pikir Hanifah itu merepotkan. Sekarang saya yang akan mengambil tanggung jawab atasnya.” Aku membawa Hanifah keluar dari kamarnya.
“Dasar guru tak tahu diri. Hanya karena kau guru konseling, bukan berarti kau bisa mencampuri urusan orang lain. Tindakanmu ini bisa dianggap sebagai penculikan, kau tahu itu?!” Ibunya berusaha merebut Hanifah dari genggamanku.
“Lepaskan…! Saya tidak peduli dengan cara yang saya lakukan. Penculikan? Akan saya lakukan jika itu bisa membuat Hanifah bahagia dan aman dari cengkeraman orang tua tak berperasaan seperti kalian.” Lalu, Ayah Hanifah berjalan mendekatiku dan, “PLAK” tangannya berhasil melukai wajahku. “IBU HANA!” Teriak Hanifah.
“Baiklah, sekarang perlakuan saya dan kalian sudah setimpal. Saya pelaku penculikan, dan kalian pelaku kekerasan.” Aku melangkah keluar sembari membawa Hanifah menjauh dari keluarganya.