Senin, 8 November 2021
Setelah meninggalkan rumah Bu Hana di hari itu, aku memutuskan untuk tidak datang ke panti dan juga sekolah, karena aku tahu Bu Hana pasti akan mencari diriku setelah membaca surat itu. Aku merasa marah dan kecewa setelah berkunjung ke rumahnya. Pikiranku mengenai keluarga baru dan juga hidup baru yang dijalani oleh Bu Hana terus menghimpit benakku. Selama ini aku menumpang tinggal di rumah Vino. Dan hari ini, kuputuskan untuk kembali datang ke sekolah untuk menanyakan kebenaran atas prasangkaku pada Bu Hana.
Setibanya aku di sekolah. Saat aku hendak memasuki kelas, Pak Farhan berlari ke arahku. Dia memeluk erat diriku di hadapan semua siswa yang berlalu lalang di koridor sekolah. Pak Farhan menangis di hadapanku. “Ada apak dengan Bapak?” tanyaku kebingungan. “Alfa… Alfa… kamu benar-benar Alfa,” ucapnya sembari menatap dalam ke arahku. “Ternyata mereka sudah mengetahui kebenarannya,” gumamku dalam hati sembari tersenyum pada Pak Farhan.
“Pak, apa Bu Hana ada di ruangannya?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Oh iya, kamu harus ikut Bapak sekarang ke Rumah Sakit.” Pak Farhan menarik tanganku.
“Kenapa, Pak?” Aku berusaha menahan langkahku.
“Bu Hana, bukan, Ibumu sedang di rawat di rumah sakit.” Pak Farhan kembali memaksaku untuk melangkah bersamanya. Rasa bersalah dan sedih mewarnai setiap langkah kakiku. Kami berdua langsung bergegas memasuki mobil, dan melaju menuju Rumah Sakit.
Sesampainya di rumah sakit, Pak Farhan dan aku langsung berlari menyusuri lorong Rumah Sakit untuk bisa sampai ke tempat Bu Hana berada. Dan akhirnya, kami tiba di depan kamarnya. Kubuka pintu itu, dan kulihat Bu Hana tengah terbaring lemas di atas ranjang. “Mama…” aku berteriak sembari berlari memeluk tubuhnya yang rapuh. “Alfa.” Mama membalas pelukan yang kuberikan dengan menggenggam jari-jari tanganku. “Bagaimana bisa Mama sampai terbaring di tempat ini?” tanyaku sembari meneteskan air mata. Mama mengusap air mata yang terurai di wajahku. “Mamamu pernah mengalami depresi berat saat kehilangan dirimu, sampai akhirnya dai harus mengidap penyakit maag,” jelas Pak Farhan smebari mengusap kepalaku. Air mataku terus mengalir membasahi tangan Mama.
“Kenapa kamu pergi tanpa pamit kepada Mama hari itu?” tanya Mama dengan suara yang sangat pelan.