Tepat dua minggu selanjutnya, hubungan aku dengan Kak Vina semakin dekat. Awalnya aku hanya ingin mengenalnya lebih dekat, tentu itu semua karena keanehannya yang membuatku selalu penasaran.
Via telepon, kami mencoba berdiskusi seperti apa hubungan kami ke depannya. Waktu itu, saat pulang sekolah,
“Kamu pikirkanlah baik-baik selama dua hari ini. Jangan cepat ambil keputusan, takutnya nanti kita cuma bertahan beberapa hari saja. Aku gak suka itu,,” ucapnya dari seberang telepon.
“Iya Kak, aku harus bagaimana?? Kakak juga pikirkan ya,” cercaku.
“Iyaa,” serunya sambil menutup telepon.
*
Di hari yang sama pada malam harinya, kami kembali berbincang via telepon. Aku putuskan sebuah keputusan yang menjadi awal bagiku. Aku mencintainya.
Kak Vina menerimaku apa adanya. Walaupun aku memiliki banyak kekurangan. Seperti biasanya, keanehan membuat kami saling melengkapi. Terkadang, kami tertawa hanya karena hal kecil. Seperti kentut, misalnya. Heheheh...
Melalui teleponlah keceriaan itu sering kami curahkan.
“Kak, aku belum tahu apa-apa tentang orang tua kak. Kerjaan orang tua kakak, apa kak??” tanyaku dalam suatu kesempatan via telepon.
“Gak mau kasih tau. Cari tahulah sendiri atau datang aja ke rumah, tanyain langsung sama orang tua aku.” jawab Kak Vina sekenanya.
“Ehh,,, kasih tahulahh.. ku mohonn,,,,,???” bujukku padanya.
“Iya dehh, iyaa.. Bunda aku kerja di rumah aja. Ayah aku kerjanya cuma sebagai petani.”