Disini lah geng Obed sekarang. Kantin mbak Yem. Mereka memutuskan untuk meninggalkan jalannya upacara, hanya karena pembinaannya adalah pak Sugiyanto yang katanya saat memberikan sambutan malah meleber kemana-mana.
"Loh, kalian kok malah disini? Bukannya, upacara masih lanjut?" Tanya mbak Yem.
Obed hanya terdiam sambil memainkan jarinya. Ia membiarkan dua temannya yang agak gila untuk menjawab semuanya.
"Biasa lah mbak, kayak nggak tau aja kalau pembinanya pak Sugiyanto kan, mas bos-nya melipir kemari," jelas Yusuf.
"Bener tuh mbak!" Sahut Ali sambil mencomot bakwan.
Mbak Yem hanya mengangguk mengerti. Lalu, kembali ke belakang untuk membuat mendoan.
"Eh Bed, Lo nggak ngerasa bersalah gitu?" Kata Yusuf sambil meneguk es teh manisnya.
"Yaelah bro, dia mana punya rasa bersalah, ya nggak Bed?" Sahut Ali sembari menaik turunkan alisnya.
"Diem Lo orgil!" Titah Obed yang membuat mulut ember Ali terdiam.
"Ciaa haha... Kena mercon kan lo, Li," ledek Yusuf.
"Lo nggak merasa bersalah gitu? Atau minta maaf kek sama cewek yang lo tabrak tadi,"
"Apa?! Obed nabrak cewek?!" Teriak Ali tiba-tiba.
Tukkk
Satu sendok makan mendarat tepat di dahi Ali. Ali mengusap dahinya itu. "Sakit bego!"
"Nggak perlu," sahut Obed singkat.
"Paling nggak lo minta maaf ke cewek yang lo tabrak Bed,"
"Siapa tau lo entar suka sama dia, kan berawal dari sengaja menjadi cinta. Beuh! Kayak di pilem-pilem Bed! Ntar judulnya, Pangeran bodo amat jatuh cinta dengan cewek yang sengaja ditabraknya di koridor sekolah."
"Itu judul apa rel kereta? Buset panjang amat," sahut Yusuf
"Lagi tren Suf," tukas Ali.
Obed tak menggubris perkataan dua kucrit itu. Ia memilih menyuapkan sesendok nasi bungkus kedalam mulutnya. Memang, ia tak pernah peduli dengan apa yang ia perbuat.
Mata Ali tiba-tiba melotot. "Mampus! Pak Bekan melipir,"
Mendengar itu Yusuf dan Obed menengok kebelakang.
"Gimana nih coe?!, cepet sembunyi coe!" Ucap Yusuf pura-pura panik, kemudian tertawa.
"Dah biasa kali, kan Bed," Lanjutnya sambil menyenggol bahu Obed.
"Hm." Jawab Obed singkat.
"Loh, kalian kok disini? Cepet kembali ke barisan kalian!" Titah pak Bekan saat sudah berada di tempat tongkrongan Obed.
Obed dan dua temannya berdiri, kemudian tersenyum seolah tak melakukan kesalahan. "Pak Bekan mau nyoba bakwan nya mbak Yem?" Tanya Ali basa-basi.
"Enggak ah, bapak masih harus keliling, dan kalian nanti masuk ke ruangan nya bapak ya," ucap Pak Bekan, kemudian pergi. Namun, tangan guru BK itu di cekal oleh Yusuf.
Yusuf tersenyum. "Ehh, jangan pergi dulu pak, gini deh, bapak duduk disini, abis itu bapak pesen deh makanan yang bapak suka, nanti kita yang bayarin, gimana?"
Ali melotot, lalu berbisik ke telinga Yusuf. "Kok kita sih? Gue dikasih uang jajan mami dikit nih, jangan gila, lo rela gue nggak jajan demi guru sableng? Ha?" Protes Ali.
Yusuf menyentil jidat Ali. "Kalau bego jangan kebanyakan! Ada mas bos! So santai lah, se dikit-dikitnya uang saku lo juga, palingan lima ratus ribu buat tiga hari," Ali menyengir mendengar lontaran kata-kata Yusuf, yang ternyata benar.
Pak Bekan keheranan melihat tingkah anak didiknya yang gemar keluar masuk ruang BK itu. "Kalian kenapa sih?"
"Eh enggak kenapa kenapa kok pak," sahut Ali dan juga Yusuf.
"Gimana pak? Mau? Kalau mau, ada syaratnya. Nah, syaratnya kita nggak usah masuk keruangannya bapak, ya?"
Guru BK itu nampak berpikir. "Ah... Saya tau! Kalian pasti mau nyuap saya kan, biar nggak kalian nggak masuk ruang BK? Hayo ngaku!"
"Ehh enggak pak!" Jawab Ali dan Yusuf spontan. Jangan tanya kenapa Obed tak mau ikut berbicara. Secara Obed diciptakan hanya untuk menggantikan tembok yang tak bisa berjalan. Diam dan datar.
"Terus?" Tanya pak Bekan mengintimidasi.
"Hehe, jadi gini pak, Obed lagi dapet rejeki yang berlimpah. Nah, Obed pengen mentraktir bapak di warungnya mbak Yem. Yah... Itung-itung berbuat baik kan Bed?" Jelas Yusuf. Obed menatap Yusuf dengan tatapan intimidasi.
"Apa benar itu Obed?" Tanya pak Bekan untuk meyakinkan.
"Iya bener ini Obed lah pak, memangnya ini Anissa?!" Sahut Ali.
Yusuf menginjak kaki Ali saking geregetan nya. Nampak raut wajah kesakitan terpampang di wajah manis Ali. Seandainya tidak ada pak Bekan, Ali sudah meninju hidung Yusuf.