“Hallo!” sapa gadis dengan kupluk rajut berwarna coklat. Langkahnya ringan, senada dengan senyumnya yang terus berkembang.
Ruangan seluas dua puluh lima meter persegi sudah dipenuhi kamera yang berjejer. Yang membuat siapa saja akan merasa terintimidasi. Benda berlensa itu seperti memiliki kekuatan magis yang bisa melemahkan kekuatan lawan.
Tiga orang yang duduk dibalik meja panjang yang berada di tengah ruangan menjawab sapaan yang penuh energi itu serempak.
“Perkenalkan diri kamu. Sebutkan nama, usia dan pekerjaan kamu saat ini.” ucap laki-laki yang duduk ditengah.
“Selamat sore. Nama saya Ameria. Sekarang duduk dikelas XII. Usia saya 17 tahun.”
“Langsung mulai saja, ya. Action!”
Ameria melenturkan tangannya lemas. Kertas putih yang dipegangnya terjatuh. Kepalanya tertunduk lemah. Dan terangkat perlahan.
“Itu dia masalahnya, Gas. Aku nggak pernah bener-bener tahu.” Matanya menyalang. Menatap lurus dan tajam. “Aku nunggu, Gas. Nunggu.” Tangan kiri yang mengepal, mengeras didepan dadanya yang membungkuk kedepan.
“Tapi akhirnya aku sadar satu hal,” kakinya melangkah kedepan “kamu nggak sesayang itu sama aku.”
Menegakkan badan dan menghembuskan nafas dalam. “Aku nggak milih siapa-siapa.”
“CUT!”
Tepuk tangan berderai mengikuti. Membuat ramai ruangan bercat putih itu. Wajah berseri nampak menghapus semua ketegangan selama 5 menit sebelumnya.
“Ameria.” Ucap laki-laki berbadan besar yang duduk ditengah dengan kumisnya yang tebal.
“Saya suka tipe suara kamu, berkarakter. Artikulasi dari dialog kamu juga jelas. Tapi nggak ada jiwanya. Emosi kamu nggak keluar.”
“Iya,” sahut wanita yang duduk disebelahnya. “gerak tubuh kamu itu bertolak belakang. Seharusnya kamu menunjukkan kekecewaan, kesedihan sekaligus marah disatu waktu. Tapi kamu hanya menunjukkan kemarahan saja. itu pun nggak maksimal.”
“Ini pertama kalinya kamu ikutan casting ya?” tanya pria yang mengenakan topi.
“Iya.”
“Acting kamu bagus tapi masih mentah. Interpretasi kamu nggak jelas. Dan, untuk memerankan tokoh Jasmine ini buat aku belum.”
“Banyak latihan.” Laki-laki berkumis itu menambahkan.
Sedih, kecewa bahkan mungkin marah akan menghampiri Ameria. Tapi malah sebaliknya. Wajahnya yang bulat tidak berkerut sedikit. Senyumnya bahkan melebar manakala dia mengeluarkan selembar kertas dari dalam tas.
“Makasih.” Ameria hendak pergi tapi tidak jadi. Seperti sedang menahan sesuatu. “Om, boleh minta tanda tangannya, nggak?”
Ketiga juri itu tersenyum mendengarnya. Ameria berjalan mendekat dan memberikannya pada laki-laki berkumis. “Mamaku ngefans banget lho sama Om Rano. Dia nonton semua seri si Doel anak sekolahan.”
“Oh ya?” jawab Om Rano sambil menggeser kertas agar ditanda tangan pada juri yang lain.