“Kepalaku mau pecah rasanya.” Ameria datang dengan sejuta keluhannya yang khas. “Masa Pak Anwar tiba-tiba ngasih kuis. Katanya kalau nilai kusinya bagus, ulangan minggu depan bakal ditiadakan. Kalau nilainya ancur-ancuran selama jam fisika minggu depan bakal diisi dengan ulangan.”
Ameria meneguk botol minuman yang ada didepannya tanpa memastikan isinya juga bertanya siapa pemiliknya. Melupakan tumpukan map plastik dan buku yang Ia bawa. Mengisi salah satu sisi meja ditaman yang ditempati Alfa sejak bel istirahat berbunyi.
“Bukannya nilai fisika kamu selalu bagus.”
“Alfa!” hardik Ameria.
“Apa?” balas Alfa tenang seolah manusia paling suci seantero SMA Persada. Sikapnya yang selalu tenang kadang Ia manfaatkan untuk menggoda sahabatnya yang bertubuh mungil dengan mulut sebesar gajah alias cerewet.
“Kamu kasih aku kopi?”
“Aku nggak ngasih. Kamu sendiri main langsung minum nggak pake tanya.”
Ameria mengabaikan Alfa dan kembali meneguk minuman kopi instan yang dikemas didalam botol. Meski minuman berkafein sangat tidak disukainya tapi saat ini Ia butuh sesuatu untuk membuat kepalanya kembali dingin setelah dipaksa mengerjakan soal-soal fisika.
“Kamu tuh ya, buku yang sering kamu baca aja udah ketuaan untuk usia kita. Ditambah dengan kopi, instan pula. Benar-benar remaja jadul.”
Ocehan panjang Ameria hanya dibalas dengan gelak tawa Alfa. Semua penilaian Ameria terhadap kebiasaannya selalu terlihat lucu.
“Kupluk kamu mana?” tanya Alfa usia tawanya reda.
Ameria sedang membuka map plastik. Kertas hasil fotokopi itu tidak menarik bagi Alfa melainkan sesuatu yang melekat dikepala sahabatnya. Yang menjaga rambut lurus Ameria tidak jatuh menutupi wajahnya.
“Ulah mama, nih. Masa hari ini aku disuruh pakai bando. Emang ini jamannya bawang merah bawang putih apa.”
Tawa Alfa kembali membahana. Kali ini lebih keras hingga membuatnya terpingkal-pingkal.