Alfameria

kumiku
Chapter #5

Chapter #5

Jam kosong bagi sebagian besar murid SMA Persada adalah golden moment. Mereka bisa berada di sekolah tanpa harus dibuat stres oleh kimia, fisika, matematika, akuntansi dan huruf kanji untuk anak bahasa. Meski seharusnya mereka harus didalam kelas karena selalu ada tugas yang harus mereka kerjakan.

Ada dua tempat utama yang menjadi konsentrasi siswa, kantin dan halaman sekolah. Mereka biasanya akan menghabiskan sebagian besar waktu dengan jajan dikantin sambil bergosip, melakukan permainan di lapangan atau hanya sekedar duduk di taman.

Begitu juga dengan Alfa, biasanya dia akan duduk di pojokan perpustakaan menghabiskan buku yang Ia bawa dari rumah atau buku-buku yang ada diperpustakaan. Salah satu koleksi perpustakaan SMA Persada yang menjadi favoritnya adalah buku-buku biografi.

Golden moment kali ini Alfa habiskan dengan duduk di taman. Ia sedang malas untuk berjalan menuju perpustakaan yang jaraknya cukup jauh dengan kelasnya.

Sebuah meja semen dibawah pohon ketapang kosong, disanalah Alfa akan menghabiskan dua jam kedepan. Tujuh belas menit berlalu tapi buku dengan warna sampul yang mulai pudar masih tertutup. Mata penuh kesedihan dari gadis kecil yang ada disampul itu seperti kehilangan daya tariknya.

“Alfa! Alfa lihat, deh. Aku panen DM lagi.” Ameria menghampiri Alfa dengan semangat. Dan langsung menunjukkan kolom direct message di akun Instagram miliknya yang diberi nama @amrbookland. “Mereka minta rekomendasi novel-novel yang diangkat dari kisah nyata.” Alfa masih belum menanggapi.

“Aku jarang baca novel gituan, jadi koleksiku nggak banyak. Buku apa ini?” Ameria mengambil buku yang ada di hadapan Alfa. “Three cups of Tea, boleh juga nih. Setting tempatnya juga keren, Himalaya.”

Alfa hanya menyimak setiap kata yang keluar dari bibir Ameria. Kali ini dia memakai bandana dengan simpul ikatan dipuncak kepala. Rambutnya diikat agak tinggi sehingga bergoyang-goyang setiap kepalanya bergerak. Seperti sekarang ketika sedang membicarakan permintaan dari pengikut di akun instagramnya. Tidak hanya tangannya, bibir, mata bahkan alis semuanya bergerak. Ameria selalu bersemangat dan antusias terhadap hal yang disukainya.

“Menurut kamu gimana?”

“Buat polling aja. Pake feature yang ada diinstastory.”

“Oh iya. Kok aku nggak kepikiran ya? Padahal aku sering lihat di akun bookstagram lain.”

Ameria kembali mengarahkan matanya untuk fokus pada layar ponsel. Keriuhan yang terjadi seperti tidak membuatnya terganggu, sedikit pun. Anak-anak cheerleader yang sedang berlatih, lapangan yang dipenuhi teriakan saling mengumpan bola atau sekelompok murid perempuan yang histeris penuh semangat melihat permainan kapten basket sekolah pun berlalu begitu saja.

“Kamu nggak capek? Tiap hari mikir buat bikin postingan, jungkir balik cuma buat foto bahkan kamu nggak kenal sama follower kamu.”

“Karena aku suka.” Menulis tetapi mulutnya ikut bergerak. Mirip seperti mbah dukun mengucap mantra. Begitulah salah satu tanda ketika Ameria sedang serius dengan satu hal. Jika hal itu terjadi, jangan baper dengan jawaban singkat atau diabaikan.

“Nggak jelas.” Alfa mencemooh.

“Sahabat terbaikku Alfa,” Ameria meletakkan ponsel pintarnya. “Tidak ada satu hal di dunia ini yang tidak memiliki kejelasan. Bahkan ketika Mr. Mark menciptakan facebook dan Instagram juga punya tujuan.” Ucap Ameria diplomatis.

“Biar dia dapat uang.”

Ameria mencondongkan badannya. Memandang tepat kedalam mata Alfa. “Sekedar senyuman kalau itu bermanfaat, kenapa tidak.”

Wajah Ameria begitu dekat. Nafas Alfa nyaris berhenti ketika bola mata Ameria terlihat sangat jelas. Alfa terkunci. Namun, sedetik kemudian dia memalingkan wajah untuk mengambil oksigen sebanyak mungkin.

“Teori absurd siapa lagi itu?” Alfa kembali bersuara meski tergagap ketika dadanya kembali bergerak tenang.

“Profesor Marisa Hanafi.” Ameria tergelak sendiri setelah menyebut nama bundanya dengan sebutan yang sering digunakan untuk ilmuan. Alfa sendiri tanpa sadar ikut tertawa meski tidak bermaksud untuk menertawakan.

“Kayanya kamu harus tinggal dipedalaman hutan kalimatan dulu, deh. Terus kamu selamatin Orang utan, Anakonda, dan semua hewan-hewan yang jadi korban kebakaran. Jadi kamu nggak perlu capek-capek memahami teori absurd tadi.” Lajutnya dengan teori yang lebih absurd lagi.

“Aku cuma nggak ngerti sama rencana kamu, ya. Ikut casting cuma buat pembuktian. Milih kuliah di IKJ juga cuma untuk memastikan pilihan. Masuk IPA karena dipilihin. Terus sekarang sibuk ngurusin Instagram. Sebenarnya kamu mau fokus dimana sih?”

“Fokus sama hal yang aku suka.”

Alfa hanya memberikan cibiran. Kemudian menarik kembali buku yang sejak tadi belum dibacanya.

“Alfameria!”

Sebuah bola berwarna oranye bergerak. Memantul semakin lama semakin rendah. Kemudian menggelinding ke bawah kaki Alfa. Hanya saja Ia tidak menyadari sesuatu menyentuh sepatu hitamnya. Ameria yang mendengar namanya dipanggil mengetahui kedatangan bola basket itu lalu melemparnya.

“Makasih ya, Mer.” Aksa tersenyum.

Jam kosong menyumbangkan lembar penuh warna dalam buku cerita masa abu-abu. Bahkan jika hanya dihabiskan dengan duduk dan mengobrol. Tapi dari obrolan itulah, baik singkat atau panjang, akan menjadi batu loncatan pada detik berikutnya.

====

“Mati gaya deh kita.” Ucap Ameria lesu.

Ucapan Ameria sangat bertolak belakang dengan teman-temannya. Mereka berhamburan keluar kelas dengan penuh rencana. Ada yang pergi ke mall sekedar jalan-jalan, hunting kafe yang lagi trending atau pergi ke rumah teman sekedar untuk menghabiskan waktu. Semua rencana itu terdengar jelas ditengah keriuhan menyambut pulang pagi.

Alfameria, sebutan Aksa untuk Alfa dan Ameria, manganggap pulang pagi menjadi hal yang menyebalkan. Bagi mereka yang terbiasa hidup dengan rencana akan kebingungan dengan waktu yang tidak terjadwal.

“Mau ke perpus?” usul Alfa.

“Kan minggu besok kita kesana. Masa seminggu dua kali.”

“Toko buku?”

“Udah weekend kemarin. Novelku juga belum selesai semua.”

“Masa kita jalan ke mall.” Ucap Ameria murung.

Mall menjadi salah satu tempat yang enggan mereka kunjungi. Keduanya pernah mengalami hal tidak menyenangkan. Semua itu terjadi ketika mereka ingin mencoba hal yang biasa dilakukan teman-temannya, jalan-jalan di mall. Hanya saja pilihan waktu yang kurang tepat sehingga meninggalkan kesan yang tidak mengenakan.

Saat itu ada sedang berlangsung meet and great artis. Acara yang diselenggarakan dalam rangka promo film terbaru. Film yang bercerita tentang gaya pacaran remaja yang kelewat batas sangat booming sekali. Terbayang kan betapa penuhnya pusat perbelanjaan saat itu. Bahkan pihak dari managemen mall mengerahkan petugas tambahan untuk mengamankan acara. Hal itu belum ditambah dengan pengamanan dari managemen artis sendiri.

Lihat selengkapnya