Untuk membuat brownis dengan citarasa coklat yang cukup kuat harus menggunakan banyak komponan dari pohon coklat. Coklat bubuk yang dicampur dengan tepung terigu dan coklat leleh. Sayangnya, Marisa melupakan coklat block dalam daftar belanjanya kemarin sehingga. Ingin menunda saja tetapi beberapa bahan sudah menjadi adonan sementara jika harus membeli saat itu juga butuh waktu yang lumayan karena jarak rumah dengan supermarket cukup jauh.
Bel berbunyi tetapi Marisa tidak mendengar karena masih bimbang dengan kedua pilihannya tersebut. Pada bunyi yang kedua Marisa langsung tersentak. Kepalanya otomatis langsung menoleh pada dinding di sebelah kiri.
“Masih pagi.” Jam dinding menunjuk angka 05.30. “Tumbenan Alfa udah kesini”
Untuk yang ketiga kalinya bel berbunyi.
“Ini anak iseng banget sih pake bunyi-bunyiin bel.” Marisa menggerutu kemudian membuka pintu. “Masuk aja kali, Al. Eh, bukan Alfa. Hallo!”
“Pagi Tante,” Sapa Aksa.
“Pagi.” Tante Marissa membalas dengan nada yang sama cerianya dengan kicau burung diatas pohon. “Siapa, ya?”
“Saya Aksa, Tante. Teman sekolahnya Ameria. Kemarin udah janjian mau ke CFD.”
“Car free day?” Marisa menggumam heran. “Tunggu didalam aja, ya. Biasanya jam segini Amey belum keluar kamar.”
Aksa masuk dan berjalan mengikuti Marisa.
“Duduk dulu. Mau minum apa?”
“Nggak usah, Tante. Cuma sebentar aja kok.”
“Hhmm kaya Alfa aja malu-malu pas pertama kali datang. Tenang aja, minuman kamu udah habis juga Amey masih dandan.”
“Apaan sih, Bun.” Sahut Ameria sambil menenteng sepatu bertali.
“Eh … anak bunda udah bangun.” Marisa berjalan masuk dan menghampiri Ameria yang tengah duduk di meja makan.
Rumah Ameria tidak memiliki dinding penyekat kecuali kamar sebagai ruang pribadi. Hanya menggunakan partisi-partisi kayu untuk membedakan ruangan tamu dan ruang makan yang menyatu dengan dapur. Sehingga setiap orang bisa melihat dengan mudah isi dari dalam rumah itu.
“Siapa?” tanya Marisa sambil berbisik.
“Teman sekolah.”
“Berdua aja. Alfa nggak ikut?”
“Jam segini mana mungkin Alfa keluar kamar.”
“Kamu?”
Pertanyaan dan jawaban singkat ini mirip dengan kejadian di ruang interogasi. Marisa sebagai penyidik dan Ameria sebagai tersangka.
“Aku mau nyoba hal baru aja, Bun.”
“Hari minggu bukannya kamu pergi sama Alfa?”
“Ke perpusnya kan siang. Lagian CFD cuma sampe jam 9 aja.”
Marisa masih merasa janggal dengan rencana Ameria. Selama 18 tahun tinggal bersama, Ameria paling sulit diajak melakukan hal baru. Butuh pengantar panjang dan berliku untuk membuatnya berkata, “Iya, deh.”
“Kamu sama Alfa nggak lagi berantem, kan?”
“Ya ampun, Bunda. Aku sama Alfa baik-baik aja. Kemarin kan masih nganterin aku pulang.”
“Ya kali berantem virtual yang dibawa ke dunia nyata.”
“Bunda, iihhhh. Apalagi itu berantem virtual.” Ameria mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Kemudian menunjukkan ruang percakapannya bersama Alfa. “Nih.”
“Bukan Bunda nggak percaya, Mey.”
“Bunda kuatir aku berantem sama Alfa.” Ucap Ameria mendahului. “Kita nggak mungkin marahan. Dunia kebalik kalau Alfa sampe marah. Udah, Ah. Aku berangkat dulu.
Marisa ikut berjalan sampai kedepan rumah. “Mey, nitip beliin coklat blok ya? Uangnya Bunda ganti kalau kamu udah pulang.” Teriak Marisa ketika Ameria hendak masuk kedalam mobil.
Amey. Aksa lebih tertarik dengan sapaan baru itu. dia bahkan tidak memperhatikan ketika ibu dan anak saling bertitip pesan. Bahkan tanggapan Ameria yang penuh rasa tidak rela atas permintaan mamanya pun tidak diindahkannya.
“Aku baru tahu kamu punya panggilan lain kalau dirumah?” Aksa bertanya ketika mereka sudah berada dijalan.
“Oh, itu. nama kecil aja.”
“Alfa panggil Amey juga?”
====
“Hey,”
Alfa mengamati seseorang yang baru saja menghampirinya. Berdiri tegak dihadapannya. Dengan topi putih bertengger manis dikepalanya. Rambutnya diikat menjadi dua bagian yang salah satunya jatuh dipundak. Jaket yang dikenakannya kini sudah menutupi sandaran kursi. Menampakkan kaos berwarna mint yang basah dibagian leher.