Injury time. Lima menit sebelum bel berbunyi menjadi saat kritis untuk menunggu. Entah untuk istirahat atau untuk pulang sekolah. Sehingga diwaktu-waktu itu kegelisahan akan menjadi wabah yang menyerang semua penghuni sekolah. Serangan rasa lapar juga mengantuk hingga bosan membuat semua murid SMA Persada ingin segera meninggalkan bangku.
“Minggu depan kalian sudah UAS artinya waktu kalian di SMA ini tinggal sebentar lagi. Selain persiapan untuk ujian akhir nasional kalian juga harus mempersiapkan diri untuk ujian masuk perguruan tinggi.”
Dua bunyi panjang dengan nada yang paling disukai semua siswa pun berbunyi. Hanya saja Pak Yusuf atau yang biasa dipanggil Pak Ucup belum selesai dengan wejangan-wejangan khas guru BK.
“Jangan lupa datang ke ruang BK. Semua informasi perguruan tinggi ada disana. Bapak tidak akan mengumumkan satu per satu di dalam kelas. Kalian juga harus lebih aktif lagi.” Pak Ucup mendesah. Ia sedih pada Wakil Kepala Sekolah bagian kurikulum yang selalu meletakkan jam pelajarannya disaat kritis sehingga Ia lebih banyak mendapat ketidakfokusan siswa. Padahal materi yang diberikannya sangat penting untuk masa depan anak-anak.
“Baik. Pak!!!”
Jawaban keras dan sangat kompak itu diikuti dengan langkah kaki yang penuh semangat. Ditambah rasa lega akhirnya bisa keluar dari ruang yang semakin hari terasa semakin sempit.
Menjadi murid tahun terakhir dibangku SMA bukan perkara mudah. Rasanya pun tidak semenyenagkan yang kebanyakan orang lihat. Ada begitu banyak hal yang harus dicapai dalam waktu bersamaan.
Tuntutan dari sekolah untuk mendapatkan nilai tinggi demi menjaga reputasi sekolah. Kurikulum yang memberikan standar nilai yang nyaris mustahil dicapai tanpa kerja keras. Orang tua yang menaruh harapan besar pada anaknya. Tentu saja hal itu belum ditambah dengan persoalan pribadi seperti rasa lelah yang semakin hari terus bertambah. hubungan dengan sesama teman.
Tentu, itu hanya daftar pendek yang masih bisa disebutkan. Ketika hari-hari berseragam putih abu-abu semakin berkurang, beban lain pun menanti. Persiapan untuk mengenakan status baru, mahasiswa, pun menadi drama baru yang harus dihadapi. Seleksi masuk perguruan tinggi yang semakin tahun semakin susah untuk lalui. Bahkan untuk mereka yang cemerlang didalam kelas pun tidak bisa bersantai.
Mungkin mereka yang terlahir dari keluarga berlebih yang tidak terlalu memusingkannya. Atau mereka yang terlahir dengan kapasitas otak yang ada pada level genius. Yang tidak pernah merasa kesulitan karena kampus manapun selalu memiliki pintu khusus untuk mereka.
“Alfa, bisa temui bapak diruangan?” Pak Ucup menghampiri Alfa yang duduk dibangkunya. “Bapak menemukan kampus yang sesuai dengan minat kamu.”
Alfa mengangguk sebagai jawaban dari kesediaannya untuk bertemu dengan Pak Yusuf. Namun didalam hatinya timbul sedikit rasa khawatir akan tersebarnya pertemuan itu. Memang bukan hal yang perlu dirahasiakan namun Alfa sedang tidak ingin proses pencariannya menjadi perbincangan banyak orang.
Apalagi saat itu Aksa masih duduk disampingnya. Kemungkinan besar dia mendengar ucapan Pak Yusuf meski dia terlihat sedang sibuk.
“Aksa … barusan … eh … maksudku … tadi …”
“Kamu khawatir aku cerita sama Ameria?” Aksa memberinya senyuman. “Jangan khawatir, kami nggak pernah berbicara dibelakang orang.”
“Ohh gitu.”
“Ngomong-ngomong … “
“Duluan, ya.”
Lagi, Aksa hanya bisa melihat punggung itu pergi. Alfa terlihat seperti orang yang sedang dikejar sesuatu sehingga tidak pernah satu detik saja tinggal dikelas. Bahkan Aksa yang hampir delapan jam bersama setiap hari tidak memiliki kesempatan berbicara. Padahal ada yang ingin sekali Aksa sampaikan. Ada banyak sekali pertanyaan yang ingin dia diskusikan. Tapi temannya itu seperti sedang menghindar dari kesempatan itu.
Bagaimana dengan Ameria? Wajar saja dia sangat merasa kehilangan sahabat terbaiknya.
“Ameria!”
====
Ada satu pemilik suara yang tidak ingin didengarnya saat ini. Tapi dunia seperti tidak mendukungnya. Kemanapun kakinya melangkah sepertinya seseorang itu selalu mengikutinya.
“Buru-buru amat?”
Inilah resiko memiliki kaki yang tidak panjang sehingga menghasilkan langkah yang tidak lebar pula. Meski sudah menambah ritme tetap saja dikalahkan oleh pemilik kaki panjang.
“Mau ke kantin? Apa perpustakaan?”
Ameria masih diam meski Aksa terus mengajukan pertanyaan.
Berkeringat sangat mengganggu di tengah cuaca yang super panas ini. terus mencoba berjalan cepat hanya akan membuat suhu tubuhnya semakin naik. Maka mengalah dan menghadapi Aksa satu-satunya cara.
“Mau ngadem dikelas.”
Aksa melongo melalui tubuh Ameria yang sudah berhenti berjalan.
“Kamu serius? Nggak ada orang lho disana.” Aksa tersenyum jahil. “Tapi ruang kelas sangat cocok untuk melanjutkan pembicaraan kita kemarin.”
Ameria merasa geram tapi sekaligus malu. Saat ini dia tidak siap untuk berhadapan dengan cowok jangkung itu. Ucapannya setelah pulang dari UGD kemarin memuatnya merasa malu. Tapi menghindar pun tidak ada gunanya.
Ameria berbalik, menatap dengan sedikit mendongak. Goresan yang cukup lebar di tulang pipi Aksa belum terlalu kering. Bahkan warna merah itu kini bercampur dengan warna biru.
“Oke.” Jawab Ameria menantang.
Tapi kenapa jantungnya jadi berdetak cepat saat berhadapan dengan Aksa seperti ini?
Luka ditubuh aksa tidak parah hanya lecet dibeberapa lengan dan wajah. Hanya saja rasa sakit dan nyeri biasanya baru terasa satu hari setelah kejadian.