Ameria sedang duduk sendiri di depan kelas. Seuasana sekolah benar-benar aneh. Senin depan menjadi drama pertama yang harus dilalui setiap murid kelas XII, Ujian Akhir Nasional. Tapi hari ini benar-benar berbeda. tidak ada gerombolan siswa yang belajar bersama bahkan Alfa versi kloningan dadakan pun tidak nampak.
Satu bulan menjelang ujian akhir, tiba-tiba sebagian besar anak kelas XII berubah menadi seperti Alfa. Kemana-mana membaca buku. Dimana-mana membicarakan soal-soal ujian. Hari-hari diisi dengan simulasi-simulasi ujian.
Tiba-tiba semua itu menghilang.
Sekolah menengah berubah menyerupai taman kota yang dipenuhi berbagai macam aktivitas menyennagkan. Aneka macam permainan, gadis-gadis yang bergosip dan mereka yang tidur dibawah tajuk pohon.
“Nggak nyangka ya, senin udah UAN.” Aksa menghampiri Ameria. Duduk dengan kakinya yang diluruskan.
Ameria hanya menggumam. Fokusnya belum beralih dari lapangan yang di isi dengan anak laki-laki yang sedang bermain futsal.
“Setelah UAN selesai, rencana kamu apa?”
“Mau apalagi. Masih ada UTBK, SBMPTN, kalau masih belum beruntung ya Mandiri.”
“Kamu nggak jadi masuk IKJ?”
Ameria menghela nafas dalam. “Jadi. Tapi bunda bilang aku harus ikut semua jalur masuk itu. Cari aman katanya.”
“Kok sedih gitu mukanya. Masih mikirin Alfa?”
Ameria mengangguk. “Dia belum nggak daftar IKJ.”
“Belum aja kali, Mer. Mungkin dia mau nunggu setelah ujian selesai.”
“Gitu, ya?” Ameria tidak yakin dengan ucapan Aksa. Tapi hal itu cukup mengurangi kekhawatirannya pada Alfa selama ini. “Kamu sendiri punya rencana apa setelah UN?”
“Sama kaya kamu juga. Papa nggak mau bayarin kuliah kalau bukan kampus negeri.”
“Oh ya?” Ameria memandang penuh rasa ingin tahu. “Kupikir dengan semua prestasi olahraga kamu bakal serius jadi atlit.”
Aksa terkekeh.”Itu cuma win win solution.”
“Maksudnya?” Ameria semakin tertarik dengan cerita Aksa.
“Papa nggak suka aku jadi atlit. Katanya Atlit tidak memiliki masa depan yang menjanjikan. Menekuni boleh tapi hanya sebatas hobi. Jadi aku dibebaskan mengikuti perlombaan apa saja dengan syarat harus diterima di PTN.”
“Wah, kamu hebat Aksa. Sumpah keren banget.”
“Simpan pujian itu sampai aku benar-benar diterima.”
“Siap Bos!” Ameria mengacungkan tangannya seperti seorang prajurit yang sedang hormat pada komandannya. “Kamu pasti diterima. Percaya, deh.”
“Sok tahu kamu.”
“Yee dibilangin. Dengar ya, ada sebuah teori yang mengatakan bahwa mereka yang rajin olahraga itu kebutuhan oksigen diotaknya terpenuhi. Sehingga mampu meningkatkan kapasitas berpikirnya.”
Mendengar teori panjang yang diucapkan Ameria membuat Aksa tertawa terbahak-bahak.
“Siapa yang bikin teori itu?” tanya Aksa dengan sisa tawanya.
Ameria yang tadinya ikut tertawa harus terdiam setekah mendengar pertanyaan Aksa.
Aksa sadar siapa jawaban dari pertanyaannya. Karena hanya ada satu orang yang bisa membolak balik perasaan Ameria dalam waktu seketika.
“Masih belum ketemu?”
Ameria menggeleng.
“Alfa lagi sibuk persiapan UN kali.” Aksa mencoba menenangkan.
Ameria meregangkan badannya sambil menatap langit yang mendung. Awan yang berkumpul itu mengingatkan wajah Alfa yang serius saat sedang membaca buku. “Mungkin”
====
Seminggu sudah berlalu. Drama pergolakan hati dengan system ujian berbasis komputer pun berakhir. Jutaan ton beton baru saja terangkat dari pundak jutaan murid sekolah menengah atas. Lega rasanya.
Meski sudah kehilangan kewajiban untuk datang ke sekolah setiap hari, nyatanya banyak dari siswa-siswa kelas XII yang masih berdatangan. Sekedar untuk jajan di kantin atau tidur di kelas. Entah mengapa suasana sekolah membuat tidur nyenyak bagi beberapa siswa.
“Sebentar lagi, batagor ini bakal ngangenin.” Ucap Ameria ditengah suasana kantin yang ramai dengan adik kelas mereka.
“Kalau aku bakal kangen sempol Mang Cecep. Gede, enak dan murah.”
Suara tawa mereka teredam dengan celotehan anak-anak remaja senior yang tak lelah berbicara. Setiap mereka bertemu tetapi ide perbincangan seolah tidak pernah habis.
Dan banyak micinnya. Batin Ameria. Berbincang dengan Aksa membuatnya banyak mengulang kejadian ketika bersama Alfa. meski teradi tanpa sengaja tetap meninggalkan kesan sedih disana. Hanya saja seiring berjalannya waktu Ameria mulai bisa mengontrol emosi sehingga hanya dia dan Tuhan yang tahu.
“Ohh kalian disini.” Pak Ucup menghampiri mereka. Istri beliau menjadi penjual batagor sehingga setiap jam istirahat selalu datang ke kantin. “Kebetulan sekali, bapak mau minta tolong. Sepulang sekolah kalian mampir ke ruangan bapak.”
Setelah lelah dan bosen napak tilas kenangan putih abu-abu yang terlalu awal, Aksa dan Ameria memutuskan untuk pulang. Tapi sebelumnya mereka menemui Pak Ucup terlebih dahulu.
“Jadi kalian beneran pacaran ya?” Pak Ucup tersenyum melihat wajah kaget kedua muridnya. “Nggak usah kaget kalau nggak bener.”
“Kami nggak kaget, kok Pak.” Ameria buru-buru memberi penegasan.
“Ohh jadi cinta bertepuk sebelah tangan.”