Alfameria

kumiku
Chapter #11

Chapter #11

Air hujan menyejukkan bumi dari teriknya sinar matahari. Berbicara mampu melunakkan hati yang sedang mengeras. Begitulah sahabat, tidak menjauh meski mendapat dorongan. Dan itu yang sedang Aksa lakukan.

Ameria boleh mengabaikan panggilan teleponnya, boleh tidak menjawab pesan-pesannya atau menolak bertemu dengannya. Tapi Aksa akan sekuat tenaga untuk tetap bertahan bahkan menghancurkan benteng pembatas yang Ameria ciptakan.

Waktu memang memberinya kesempatan tapi kesabaran yang membuatnya tetap bertahan.

“Makasih, ya.” Ucap Ameria begitu mobil berhenti didepan rumahnya. “Kamu nggak pergi meski terang-terangan aku memintamu menjauh. Bahkan menutup semua akses komunikasi.”

“Aku mengerti, kok.”

“Meski nggak satu sekolah lagi tapi kita masih bisa berteman kan?”

“Tentu, Ameria. Dengan senang hati aku akan mengantar kemanapun kamu pergi.”

Ameria hanya bisa tertawa. Lega rasanya masih memiliki teman setelah peristiwa-peristiwa yang melelahkan beberapa waktu ini.

“Selamat juga untuk kamu yang udah diterima di UI. Keren!” Ameria mengacungkan dua jempolnya sebelum membuka pintu mobil.

“Mer, tunggu!” Aksa mengambil sesuatu di jok bagian belakang lalu memberikannya pada Ameria.

“Apa ini?”

“Dari Alfa.” Aksa melihat tubuh Ameria menegang. “Kemarin dia datang kerumah. Dia minta tolong buat kasih itu ke kamu.”

Ameria meremas tepi tas berbahan karton itu. Dia tidak membukanya. Hanya melihat dengan mata yang berkaca-kaca.

“Besok siang dia berangkat ke Belanda.”

====

Matahari bersinar sangat cerah. menghangatkan pagi yang sejuk karena sisa hujan. Semalaman hujan cukup deras. Bahkan subuh tadi pun masih menyisakan gerimis yang semakin membuat orang tidur semakin nyenyak. Hanya saja pagi yang cerah ini sangat cocok untuk beraktivitas diluar ruangan. Bahkan Marisa yang waktu paginya lebih banyak dihabiskan di dapur pun memutuskan untuk berjalan-jalan diluar rumah. Sekedar untuk menghirup udara segar.

Keadaan sangat berbeda dengan salah satu ruangan dilantai atas. Gorden-gorden itu masih rapi menyelimuti. Lampu tidur masih menyala lembut. Selimut masih membungkus hangat tubuh seseorang.

“Ya ampun, Mey. Anak gadis kok jam segini masih diatas kasur. Kapan dapat jodohnya kamu!” Marissa menyibak kain penutup jendela. Membiarkan hangatnya cahaya matahari menyelinap masuk kedalam kamar bernuansa merah jambu itu. “keluar sana. Jogging atau berjemur. Biar badan kamu punya cadangan vitamin D.”

“Tapi, Mey. Jam segini kok kamu masih tiduran? Bukannya siang ini Alfa berangkat ke Belanda.” Marisa hanya mencebik pada anaknya yang pura-pura tidak mendengar sedikitpun perkataannya.

Sebenarnya Marisa juga merasa kehilangan dengan kepergian Alfa. Terlepas dari posisinya sebagai orang tua, Alfa memiliki sosok yang menyenangkan sebagai teman. Dia menemani dan berdiskusi banyak hal dengan Marisa.

Bagaimana pun juga Marisa harus merelakan Alfa. Meski hanya bisa berucap salam perpisahan melalui sambungan telepon.

Benda berbentuk persegi panjang itu berkedip-kedip diatas meja. Marisa melirik untuk melihat. Namun layar LCD itu sudah kembali pada mode awalnya. Hanya saja benda disampingnya yang membuat Marisa lebih tertarik. Sebuh tas kertas berwarna coklat dan terlihat belum dibuka oleh pemilikya.

Marisa nekat untuk melihat isinya. Meski sedikit lancang karena tidak bertanya terlebih dahulu.

“Rahwana Putih?”

Sebenarnya gambar dari sampul buku itu yang membuat Marisa heran. Gambar salah satu toko pewayangan dengan latar belakang berwarna putih. Sepengetahuannya, Ameria tidak pernah membaca buku sejarah selain pelajaran sekolah. Tapi akhir-akhir ini Ameria memang sering membaca buku diluar kebiasaan. Marisa tergelitik untuk mengetahui lebih banyak.

Buku terbuka tepat pada bagian yang sudah diberi penanda. “Bukan buku baru? Apa mungkin hadiah?” Marisa bergumam lalu membaca cukup keras hingga sampai pada telinga Ameria yang bermals-malasan dibawah selimut.

Wahai Sang Penguasa Semesta …!

Adakah yang salah dari hamba?

Akulah Rahwana, Raja Alengkadiraja ….

Mengapa Alengkadiraja seperti belum kunjung sempurna?

Aku tidak pernah berniat mempersoalkan

Mengapa telah engkau lahirkan diriku sebagai raksasa

Dari benih yang tertanam tidak dengan semestinya

Lihat selengkapnya