Ini adalah suatu pekerjaan yang sulit, yaitu bagaimana upaya saya dalam menyusun dan merangkai kisah perjalanan hidup seorang imam pada lembaran-lembaran buku. Sejujurnya, saya ingin utarakan kepada Anda semua, pembaca yang budiman, bahwa saya tak mau sekadar coba-coba menulis kisah ini. Apalagi, saya sudah pernah mencoba menghindari penyusunan buku ini.
Sebelumnya, saya telah menyusun dua buku tentang kisah hidup Abu Bakar dan ‘Umar. Saya kemudian berhadapan dengan penyusunan buku selanjutnya mengenai sosok Imam ‘Ali serta melukiskan keutamaan dan keagungannya. Namun, tiba-tiba saya dihinggapi rasa takut luar biasa saat hendak memulainya.
Sesungguhnya perjalanan hidup sang Imam, terutama pada masa-masa terakhir kehidupannya di dunia—dimulai sejak awal era kekhalifahannya dan diakhiri dengan kesyahidannya— bukanlah kisah hidup yang biasa. Kehidupannya berbeda dengan kehidupan biasanya. Untuk menelusuri sejarah hidupnya, diperlukan kecerdasan dan kekuatan pikiran yang tinggi. Kehidupannya sarat dengan kemuliaan, keagungan, dan mukjizat. Pada saat yang bersamaan, perjalanan hidup sang Imam adalah perjalanan yang dipenuhi dengan dera kesulitan dan kepedihan.
Kisah kehidupannya terdapat kemenangan dan kekalahan, kekuasaan dan kesederhanaan, kesusahan dan kemudahan, kepahlawanan dan penderitaan, kemuliaan dan peristiwa-peristiwa memilukan. Semuanya saling bertemu hingga menimbulkan benturan yang sangat membahayakan. Menghadapi situasi itu sungguh hal yang sangat berat dan menakutkan, meski sekadar menggambarkannya dengan coretan kata-kata dalam sebuah buku.
Itulah mengapa saya sangat berat dan takut manakala akan menulis sebuah buku tentang kisah hidupnya. Ada rasa ketakutan menyergap saya ketika menelusuri keseharian pahlawan ini. Kesehariannya harus dia lalui dengan segala onak dan duri yang berserakan di sekelilingnya, berupa fitnah, konspirasi jahat, dan intimidasi yang merongrongnya dari berbagai arah.
Selain itu, ketakutan yang saya rasakan juga timbul ketika menyaksikan betapa persinggungan yang cukup tajam terjadi di antara sesama kaum muslimin—mereka saling mengintai untuk saling menyerang.
***
Oleh sebab itulah, saya memilih untuk mengubah arah perahu menuju para sahabat Rasulullah Saw. sebagaimana yang telah dituturkan dalam buku saya berjudul Rijâl Haula Al-Rasûl.
Ketika menapaki seluk-beluk kehidupan dan kepribadian mereka yang mulia, saya mulai beradaptasi. Secara bertahap, saya mulai memberanikan diri mengarungi apa yang sebelumnya saya hindari. Pada akhirnya, saya merasa tenang. Wawasan saya pun bertambah sehingga semakin yakin dan mantap untuk mulai menghayati kerinduan saya kepada sang Imam dengan menelusuri jejak-jejak kehidupannya.