Ali ibn Abi Thalib

Mizan Publishing
Chapter #2

Bab Pertama: Seorang Anak Sekaligus Cucu [1]

Seorang pemuda sedang duduk. Napasnya terengah-engah. Perasaannya tak menentu berada di antara kaum yang mengelilingi ayahnya yang tengah berbaring dalam detik-detik kematian. Melihat keadaan sang ayah yang demikian itu telah membuat energinya terkuras dan bersedih hati. Akan tetapi, dia tetap dalam kesadaran, kecerdasan, dan kecemerlangannya yang luar biasa sehingga bisa melihat ketika dua hal saling bertemu: kepahlawanan dan kematian.

Bagi pemuda cerdas tersebut, momen yang sedang dia hadapi sungguh langka. Momen ketika dia menyaksikan secara langsung bagaimana seorang pahlawan pada zamannya berhadapan dengan detik-detik kepulangannya meninggalkan alam dunia. Kemudian, ajal kematian pun datang perlahan tapi pasti menjemputnya. Pemuda tersebut menunggu. Dia menyaksikan sang pahlawan menghadapi kematiannya.

***

Orang tua yang sedang menghadapi detik-detik kematian itu bergeser di atas tempat tidurnya. Dia memberi isyarat kepada orang-orang yang ada di sekelilingnya agar membantunya mengubah posisi tubuhnya supaya sedikit tegak. Setelah mereka membantu mengangkat punggung dan meluruskan kepalanya, dia pun mengarahkan pandangan matanya kepada mereka yang hadir di tempat itu dengan pancaran kasih sayangnya. Dia terus memandangi mereka, sampai-sampai mereka bisa merasakan ada nuansa dingin menyergap hati mereka.

Kemudian, dia menyampaikan beberapa kalimat kepada mereka. Dia ingin menyampaikan wasiat terakhirnya kepada mereka, juga kepada dunia. “Wahai kaum Quraisy, aku wasiatkan kepada kalian untuk selalu mengagungkan rumah ini, Ka‘bah, karena di dalamnya terdapat keridhaan Tuhan dan penyangga kehidupan. Sambungkanlah oleh kalian tali persaudaraan dan janganlah memutuskannya karena sesungguhnya silaturahim bisa menunda ajal. Jauhilah oleh kalian perbuatan zalim karena sesungguhnya perbuatan itu telah membinasakan kaum-kaum sebelum kalian.

Wahai kaum Quraisy, penuhilah oleh kalian undangan dan berbagilah kepada orang yang meminta, karena di dalam keduanya terdapat kemuliaan hidup dan mati. Hendaklah kalian jujur dalam berbicara dan tunaikanlah amanah. Ingatlah, sesungguhnya aku mewasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik terhadap Muhammad, karena sesungguhnya dia adalah Al-Amin, orang yang tepercaya di antara kaum Quraisy. Dia orang yang paling jujur di kalangan bangsa Arab dan seorang yang paling aku wasiatkan kepada kalian.

Sesungguhnya dia membawa sesuatu yang bisa diterima hati, tetapi banyak diingkari oleh lisan dan ditakuti oleh kesombongan. Demi Allah, aku seperti sedang melihat kaum lemah bangsa Arab, orang-orang pinggiran, dan orang-orang lemah di antara manusia. Mereka telah memenuhi seruannya dan membenarkan ucapannya serta memuliakan perintahnya. Kemudian mereka dinaungi oleh bayang-bayang kematian. Demi Allah! Tak ada seorang pun yang mengikuti jalannya, kecuali dia pasti akan mendapatkan petunjuk. Dan, tak ada seorang pun yang mengikuti petunjuknya, kecuali dia pasti akan mendapatkan kebahagiaan.”1

Sang pahlawan sudah berada di penghujung usianya, tetapi ucapan yang terlontar dari lisannya sungguh mengguncangkan jiwa dan menggetarkan sukma.

***

Kemudian, dia mengarahkan pandangannya kepada keluarga terdekatnya dari Bani Hasyim. Dia memberikan wasiat lain kepada mereka secara khusus, “Dan kalian, wahai Bani Hasyim, penuhilah ajakan Muhammad dan benarkanlah dia. Niscaya kalian akan meraih kemenangan dan mendapatkan petunjuk.”2

Setelah menyampaikan semuanya, dia memberi isyarat lagi kepada mereka agar mengembalikan tubuhnya ke posisi semula. Lalu, dia berbaring telentang dengan balutan selimutnya. Dan, beberapa saat kemudian, dia telah sampai dalam pelukan kematiannya yang tenang.

***

Sungguh, pahlawan yang wafat itu sudah menunaikan amanah terakhir yang dipikulnya, yaitu amanah yang sangat khawatir tak sempat ditunaikannya karena terhalang kematian. Lalu, kepalanya terkulai lemah ke arah dadanya. Terkulai dengan kekhawatiran dan penuh kasih sayang. Namun, kekhawatiran terhadap siapa? Dan, kasih sayang itu untuk siapa?

Yaitu kekhawatiran terhadap orang-orang Quraisy. Sedangkan rasa kasih sayangnya adalah untuk anak saudaranya yang dikurung oleh kaum Quraisy dengan segala tipu daya dan intimidasi mereka hanya karena dia menyerukan, “Lâ ilâha illâllâh,” bahwa sesungguhnya tak ada Tuhan selain Allah. Tahukah Anda siapa yang sedang kita bicarakan sekarang?

Benar! Dia adalah Abu Thalib, seorang yang dituakan dan memiliki pengaruh di kabilah Quraisy. Dialah penghulu pada generasinya. Adapun pemuda yang sedang duduk dengan napasnya yang terengah-engah diliputi perasaan yang berkecamuk tadi adalah putranya, ‘Ali ibn Abi Thalib.

Perhatikanlah, anak muda itu kemudian mencium kening ayahnya dan tak lupa mendoakannya. Lalu, dia bangkit untuk menangani urusan-urusan lain dengan berbekal ketabahan yang luar biasa. Ada kebahagiaan yang sangat besar berlompatan di dalam hatinya. Kebahagiaan yang mampu melunasi rasa sedih yang sedemikian dalam ketika menghadapi kenyataan bahwa ayahnya telah wafat. Kebahagiaan itu muncul disebabkan dia menyaksikan ayahnya meninggal tak dalam keadaan diam, melainkan kematian yang ditutup dengan berwasiat yang sarat dengan semangat.

Dalam untaian kalimat yang terucap dari bibirnya, tersirat secara jelas tentang keutamaan hidup yang dia jalani di tengahtengah manusia di atas bumi. Dalam wasiatnya tadi, dia juga menekankan seseorang yang sanggup menunaikan berbagai keutamaan baru dengan baik. Dialah sosok yang menyerukan manusia untuk mendekat kepada Allah dengan izin-Nya, yaitu Muhammad ibn ‘Abdullah.

Ya, pemuda itu sangat sedih dan terpukul karena kehilangan orangtuanya. Namun, dia merasa bahagia karena telah menerima nasihat yang benar, jujur, dan sangat indah dari ayahnya. “Agungkanlah Ka‘bah. Sambungkanlah silaturahim. Tinggalkanlah perbuatan zalim. Penuhilah undangan. Berbuatlah secara jujur. Hiduplah dengan menunaikan amanah. Dan yang terakhir, bantulah Muhammad, karena dia pemberi petunjuk menuju jalan yang lurus,” begitulah nasihat sang ayah, Abu Thalib. Dari keturunan orangtua ini, lahirlah seorang ‘Ali.

Kaum Quraisy memandang Abu Thalib dengan pandangan rakyat terhadap pemimpinnya. Mereka begitu mencintai, menghormati, dan segan terhadapnya. Namun, semua itu bukan karena kedudukannya di tengah orang-orang Quraisy saja, melainkan dia juga memiliki karakteristik yang mulia, sifat-sifat yang luhur dan kepribadian yang adil. Kebaikan-kebaikan inilah yang membuat dirinya memiliki kekuatan, keistiqamahan, dan keagungan di hadapan manusia.

Untuk mengenal kepribadian sosok pahlawan yang satu ini, cukuplah kita memperhatikan beberapa fragmen sikapnya terhadap Islam dan kaum Quraisy. Dia turun langsung meringankan beban yang dihadapi Rasulullah Saw., meski paman dan sanak familinya yang lain tak melakukan hal serupa. Dia pun banyak meringankan beban yang dipikul kaum Quraisy.

Lihat selengkapnya