Tanpa menunda waktu hingga terbitnya matahari, dia pun bergegas pergi ditemani anaknya, Harits. Mereka menuju tempat yang dimaksud, kemudian segera melakukan penggalian. Tak lama, tersemburlah mata air yang jernih dan murni. Air yang penuh berkah dan mengalir seterusnya. Air yang dahulu oleh Zat Yang Maha Penyayang ditakdirkan sampai kepada Isma‘il dan ibunya ketika mereka berada di tengah gurun pasir tandus, sebelum mata air tersebut tertimbun kembali oleh kerikil, bebatuan, dan pasir.
Sesungguhnya ‘Abdul Muththalib atau Syaibah, sebagaimana namanya, adalah laki-laki agung, mulia, dan memiliki kemampuan yang sulit ditemukan pada diri orang selainnya. Dan, apakah laki-laki yang merupakan kakek Rasulullah Saw. dan ‘Ali ibn Abi Thalib ini hanyalah seorang laki-laki seperti lakilaki lainnya?
Sungguh, namanya sudah sangat terkenal di seantero Arab, dari utara hingga selatan. Namanya harum dengan keharuman yang mengagumkan. Banyak sekali pujian dan sanjungan dari manusia yang dialamatkan kepadanya. Inilah yang melatarbelakanginya digelari Syaibah Al-Hamdi (Orang Tua yang Terpuji). Mereka menggambarkannya sebagai, “Laki-laki yang suka memberi makan manusia di dataran dan memberi makan binatang buas di pegunungan.” Dia laki-laki dengan kebijaksanaan nan luas dan keimanan yang mendalam.
Ketika Abrahah menyerang Kota Makkah dengan ambisi hendak menghancurkan kiblat kaum muslimin—dan dia datang dengan membawa pasukan yang sangat besar sampai-sampai kaum Quraisy gentar menghadapinya—mereka pun segera berhamburan mendatangi sosok yang dituakan di antara mereka, yaitu ‘Abdul Muththalib. Mereka mendatanginya untuk bertanya mengenai pandangannya.
Kemudian, setelah ‘Abdul Muththalib memahami titik lemah kaumnya dalam menghadapi kedatangan pasukan Abrahah, dia memerintahkan mereka agar membawa kaum wanita, anak-anak, dan barang-barang mereka ke daerah pegunungan. Sehingga Baitul Haram menjadi kota kosong dan memasrahkan penjagaannya kepada Allah Swt. Adapun jika pasukan Abrahah menyerang mereka ke arah gunung, mereka bisa bertahan dengan melempari mereka sebelum pasukan itu bisa mencapainya dan menimpakan keburukan terhadap mereka.
‘Abdul Muththalib menghadapi Abrahah dengan sikap yang tak jauh berbeda. Ketika Abrahah meminta bertemu dengan pemimpin kaum Quraisy untuk diajak bicara, ‘Abdul Muththalib yang menemuinya. Pada momen inilah dia melontarkan ucapan yang fenomenal, “Unta itu milikku. Sedangkan Ka‘bah memiliki Tuhan yang akan menjaganya.”10
***
Tentu Syaibah Al-Hamdi tak akan bersikap demikian, kecuali karena dorongan keimanan yang sangat kuat pada kekuasaan dan kekuatan Allah Swt. Oleh karena itulah, setelah menyelesaikan pembicaraan dengan Abrahah, dia segera pergi ke Baitul Haram. Di sana, dia meraih rantai pintu Ka‘bah. Kemudian dia memegangnya kuat-kuat dan berdoa kepada Allah Swt. dengan penuh keyakinan bahwa pertolongan-Nya pasti akan datang.
Dia berdoa, “Sesungguhnya seseorang telah menghalau keburukan dan menimpa apa yang menjadi miliknya. Maka, cegahlah keburukan yang hendak menimpa apa yang menjadi milik-Mu.” Jika saja Allah Swt. menakdirkan untuk tak mengabulkan doanya sehingga Abrahah pun kuasa menghancurkan Ka‘bah, entah ke mana keimanannya kepada Allah akan pergi. Namun, pada titik inilah akan tampak betapa dalam keimanan dan kebijaksanaannya. Dia pun menyempurnakan doanya kepada Allah Swt., “Jika Engkau membiarkan Ka‘bah kami, sesungguhnya segala urusan ada di tangan-Mu.”11
***
Benar, seandainya apa yang dikhawatirkan ‘Abdul Muththalib sampai terjadi, yaitu Abrahah dan pasukannya berhasil menghancurkan Ka‘bah, dia tak akan kehilangan keimanannya meski hanya sedikit. Dan, apa yang akan terjadi, sesungguhnya kejadian itu ada dalam kebijaksanaan Allah Swt. Itulah yang dia yakini dengan keyakinan yang sangat kuat.
Demikianlah keimanan seorang laki-laki yang bertuhan. Bumi digemparkan dengan kemusyrikan, bukan hanya di Jazirah Arab, melainkan melanda bangsa-bangsa besar lainnya, seperti Persia dan Romawi. Ketika itu, hatinya tetap teguh meyakini bahwasanya ada Tuhan Yang Lebih Luhur, Mulia, dan Agung. Sesungguhnya keimanan ‘Abdul Muththalib bisa terlihat bersih dan suci, yaitu dalam doanya tadi.