Bocah kecil itu sedang memutar jari-jarinya. Kelereng hitam menempel kuat diantara jempol dan jari manisnya. Tak lama kemudian meluncurlah si bola kecil menuju kelereng yang lain. Tepat mengenai sasaran. Bocah itu senang dan membawa pulang sekantong kelereng. Beberapa temannya tertunduk lesu.
Nama bocah itu, Muhammad Ali. Panggil saja Ali. Ayahnya, Farid Firmansyah, seorang pengagum berat petinju legendaris dunia, Muhammad Ali. Saking nge-fans-nya, ketika mempunyai anak pun diberi nama yang sama. Harapannya kelak bocah itu akan tumbuh menjadi seorang yang berani, tegar, dan yang paling penting, saleh.
Farid seorang tentara berpangkat Letnan Dua. sehari-hari dinas di markas Kodim (Komando Distrik Minter) Kota Besar. Sementara ibu Ali, Munawati seorang guru SD. Letak sekolah tempatnya mengajar tak jauh dari rumah. Mereka tinggal di asrama tentara Pangkalan Lima. Sebuah lokasi perumahan perwira pertama TNI yang sederhana dan asri.
Selain keluarga kecil itu, tinggal bersama mereka adalah Marsidah, ibu dari Munawati. Seorang janda pensiunan tentara yang usianya sudah lanjut. Farid merupakan sosok tentara yang pemberani. Selain gagah, tinggi besar, kumisnya pun tebal seperti almarhum Saddam Husein, mantan presiden Irak. Meski tampak seram, tapi hatinya baik. Ia selalu mengajari bocah itu tentang jiwa kepahlawanan, yakni membela orang yang lemah dan berani menghadapi siapa pun asal benar. Kedisiplinan menjadi menu harian yang dicontohkan Farid pada anak satu-satunya.
“Ali harus jadi anak yang tegar dan kuat," kata Farid suatu ketika pada bocah itu.
Ibu Ali, seorang wanita yang sabar dan lembut. la sosok perempuan yang penuh perhatian pada anaknya. Munawati menanamkan jiwa kesederhanaan, kepedulian pada sesama manusia, dan menghargai keberagaman atau perbedaan.
"Orang yang baik adalah orang yang berguna bagi orang lain," nasehat Munawati pada anaknya.
Munawati mendidik anak semata wayangnya sejak kecil tentang nilai-nilai kebaikan. Tak jarang, saat ia menemani anaknya menonton televisi, Munawati acap kali memberi pelajaran pada bocah itu di balik tayangan yang disajikan. Pada usia dini, keluarga itu sangat selektif dalam melihat sajian televisi. Acara-acara teve yang belum pantas dilihat anak kecil tidak diperbolehkan dilihat bocah itu.
Pada usianya yang hampir lima tahun, kehidupan yang dijalani Ali tak jauh berbeda dengan anak-anak seusianya. Bermain ceria bersama teman sebaya. Sehari-hari, bocah itu menjalani masa kanak-kanak yang menyenangkan. Tiap pagi, Ali dan ibunya diantar sang ayah naik sepeda motor ke sekolah di TK Bayangkari. Jaraknya kira-kira lima ratus meter dari rumah. Sehabis mengantar Ali, sang ayah pun mengantar istrinya dan langsung dinas di kesatuannya.
Biasanya Ali pulang sekolah bareng dengan kawan-kawannya berjalan kaki. Siang hari, jika tidak bermain dengan kawannya, bocah itu tidur di kamar. Sore hari, ia belajar mengaji di musala. Kalau hari libur, bocah itu suka bermain bola di lapangan rumput dekat asrama. Sepakbola adalah olahraga rakyat yang murah dan digandrungi anak anak Indonesia.
Marsidah sang nenek, sangat sayang pada cucunya. Perempuan tua itu selalu memanjakan bocah itu. Marsidah hidup dari uang pensiun karena ia seorang janda pahlawan. Suaminya seorang prajurit yang gugur di Laut Arafuru ketika pemerintah Indonesia ingin merebut Irian Jaya dari Belanda pada 1970-an. Sang suami meninggal di medan perang dan jenazahnya terkubur di maha luasnya lautan Arafuru.
Keseharian Marsidah diisi dengan kegiatan di yayasan Bunga Kemboja. Tempat para janda pahlawan mengadakan kegiatan sosial. Di samping itu, untuk mengisi waktu luang, Marsidah juga suka membuat kue. Biasanya, kue itu dititipkan ke warung-warung tak jauh dari rumah. Tak sungkan bocah itu pun suka membantu menitipkan kue neneknya di kantin sekolah.
***
Pada suatu hari, Minggu pagi, langit di angkasa tampak berawan tebal. Matahari tidak tampak karena tertutup mendung yang menggunung. Semalam, hujan mengguyur deras Kota Besar. Akibatnya, jalanan tak beraspal di kompleks tentara pun banyak yang becek. Hari itu tanggal merah, keluarga Ali berkumpul di rumah.
Saat itu, bertepatan dengan hari ulang tahun Ali yang ke-5. Ayah dan ibunya bermaksud membelikan hadiah kejutan untuk anak semata wayangnya. Jam di dinding rumah yang sederhana itu menunjukan angka sembilan pagi. Ayah dan ibu bersiap pergi ke toko yang berada di pusat kota. Tapi, tiba-tiba hujan di luar cukup deras dengan petir menggelegar yang memekakkan telinga. Mereka berdua duduk di ruang tamu menunggu hujan reda, sementara bocah itu asyik bermain mobil-mobilan kesukaannya.
"Ali, Ibu mau ke pasar, Ali di rumah saja ya, sama Nenek," kata Munawati.
"Ali ikut, Bu ...!" rengek Ali.
"Eh, Ali di rumah saja, kan, di luar hujan," bujuk ayahnya.
"Kalau hujan, ayah dan ibu di rumah aja, kan, jalannya licin nanti bisa jatuh," kata bocah itu sambil terus memainkan mobil balapnya.
Ayah dan ibunya tersenyum kecil mendengar jawaban cerdas anaknya.
Marsidah keluar dari dapur, ia membawa sepiring bubur ayam.
"Ali di rumah sama Nenek, ini Nenek buatkan bubur kesukaan Ali," kata Nenek menghibur.
Bocah itu menghentikan mainannya, ia senang melihat nenek membawa makanan kegema-rannya. Sesendok bubur suapan neneknya dikunyahnya dengan nikmat. Di luar, hujan mulai reda. Tak lama kemudian Farid menstarter motornya di teras rumah. Munawati bangkit beranjak dari tempat duduknya, bersiap untuk pergi. la menghampiri anaknya.
"Ali, umur Ali sekarang lima tahun, Ali jangan nakal, ya, kalau ditinggal ayah sama ibu di rumah," kata Munawati sambil mencium mesra anaknya.