Bisa dibayangkan kisah Ali. Sejak usia lima tahun, bocah itu hidup tanpa kasih sayang ibu bapaknya. Karena asrama tentara itu hanya untuk prajurit yang masih aktif maka beberapa bulan setelah ayahnya tiada, mereka harus pindah meninggalkan rumah itu. Kini, bocah itu dan neneknya mengontrak pada sebuah rumah petak di pinggir kota. Marsidah dengan sabar membimbing dan mengajari bocah itu tentang ketabahan dan keikhlasan. Nilai-nilai agama juga ditanamkan nenek sejak bocah itu masih belia. Setiap pulang Sekolah ALi belajar ngaji di TPA.
Uang pensiun nenek, sebenarnya sudah bisa mencukupi kebutuhan mereka. Namun Marsidah masih mengisi kesibukannya dengan membuat kue basah untuk menambah penghasilan. Bocah itu ikut membantu menitipkan kue dagangan neneknya ke kantin sekolah. Pagi hari, bocah itu menitipkan kue itu, kemudian siang hari sepulang sekolah mengambil uang kue yang laku dan sisa kue jika ada. Sisa kue itu nanti dijual keliling di kampung. Bila tak laku juga biasanya akan diberikan pada pengemis tua disimpang jalan.
Setelah selesai TK, usia 6 tahun kini Ali duduk di kelas satu SD Negeru Ketapang. Bocah itu semakin rajin membantu neneknya. Setiap jumat pagi nenek pun sering mengajak bocah itu untuk menengok makam orang tuanya yang jaraknya sekitar 3 km. Di tempat itu sang nenek sering mengajari doa-doa antara lain doa untuk kedua orang tua.
Suatu hari Rahmat, adik kandung Farid satu-satunya bertandang ke rumah mereka. Rahmat bersama keluarganya tinggal di tengah kota, jarak rumah mereka cukup jauh. Biasanya kalau tidak ada keperluan penting, laki-laki itu jarang main ke rumah Marsidah.
Rahmat berjalan lemas menuju rumah kecil itu. Wajahnya sangat kusut. Ia pun mengetuk rumah. Marsidah membukakan pintu, ketika bocah itu sedang belajar mengaji di musala.
"Ada apa, Nak Rahmat? Kok, kelihatan letih,” tanya Marsidah.
"Begini Bu ..., saat ini, saya lagi dapat musibah," kata Rahmat. la diam sesaat.
Marsidah mempersilakan duduk. Sekelebat kemudian segelas teh manis terhidang di meja.
“Bu, saya telah melakukan kesalahan di pekerjaan, kesalahan tersebut dianggap fatal yang berakibat perusahaan mengalami kerugian ratusan juta rupiah. Sekarang, saya dipecat dan masih harus membayar denda lima puluh juta," tutur Rahmat sedih.
Rahmat bekerja sebagai juru survey di sebuah perusahaan pembiayaan mobil. Dia dianggap tidak bisa memberikan data calon nasabah dengan benar sehingga ada dua mobil yang dibawa kabur oleh dua nasabahnya. Kasusnya saat ini sedang ditangani polisi. Akhirnya Rahmat dipecat, dan dia akan di penjara bila tidak mau mengganti sebagian kerugian.
“Masya Allah," ucap Marsidah kaget.
“Uang sebanyak itu saya tidak punya, Bu. Akhirnya, terpaksa saya jual macam-macam barang berharga, tapi ternyata tetap saja belum cukup dan hutang saya masih 25 juta rupiah," cerita Rahmat.
Marsidah mendengarkan dengan saksama.
“Saya sudah tidak ada duit lagi, kalau tidak dibayar sisanya, saya bisa dipenjara,” katanya melas.
“Apa yang bisa Ibu bantu, kamu tahu kan, ibu juga nggak punya apa-apa ...."
“Mungkin saya ingin dipinjami dulu uang asuransi bang Farid di yayasan Bakti Yudha. Nanti, saya bayar cicilannya ke Ibu."
"Wah, itu kan bukan uang Ibu, tapi milik Ali. Ibu tidak berani kalau Ali tidak ditanya lebih dulu."
“Saya tahu kondisi ibu dan Ali. Sebenarnya saya juga berat untuk melangkah kemari. Tapi saya sudah tidak tahu lagi mau pinjam ke mana. Mau ke bank saya tidak punya jaminan. Ke rentenir malah bunganya nanti mencekik. Satu-satumya harapan adalah tabungan almarhum kakak saya,” tutur Rahmat sedih. Rahmat tahu klaim asuransi kematian abangnya Farid, disimpan di koperasi Yayasan Bakti Yudha.
Ketika Ali pulang sekolah, pamannya bicara baik-baik pada bocah itu. Rahmat membawakan bocah itu sepotong cokelat. Ali senang menerimanya. Bocah itu terlalu lugu untuk ditanya masalah seperti itu. la hanya mengiyakan ketika sang paman bermaksud meminjam uang pensiun ayahnya.
Akhirnya, keesokan harinya Marsidah mengambil uang yang disimpan di Yayasan. Rahmat pun mendapat pinjaman dua puluh lima juta rupiah milik almarhum Farid. Rahmat berjanji akan mencicil selama dua tahun pada Marsidah. Uang tabungan pensiun milik orang tua bocah itu sudah dicairkan semua. Sebagai gantinya Rahmat akan membayar bulanan cicilannya untuk kebutuhan pendidikan keponakannya.