Manusia tercipta dengan banyak keinginan. Tetapi tidak semua keinginan bisa membahagiakan mereka. Setidaknya itu yang disampaikan oleh Arafis Ohba kepada Alice di malam yang sepi. Suasana hening kafe kadang cocok untuk berkomtemplasi atau merenungi hikmah kehidupan. Walaupun para penghuni kafe dan penginapan sudah lama mati.
"Kau mau tambah kopi lagi?" tawar Alice.
"Oh tentu saja boleh!"
"Kau tidak bisa tidur atau memang tidak ingin tidur, kawan?"
"Mungkin keduanya."
"Ada sesuatu yang kau pikirkan?"
"Lumayan!"
"Lumayan apa?"
"Lumayan membingungkan."
"Tumben kau bicara sepotong-sepotong?"
"Ya mungkin masalah pekerjaan, akhir-akhir ini sedang banyak orang yang harus kami antar pulang."
"Bukannya biasanya seperti itu?"
"Iya sih, tetapi agak mengganjal juga. Dulu saat aku masih hidup, kematian yang terbanyak berasal dari peperangan. Tetapi sekarang justru kematian yang banyak berasal dari rasa takut dari diri mereka sendiri."
"Dari diri sendiri?"
"Benar. Ketakutan menghasilkan kecemasan dan kecurigaan yang tidak berdasar. Aku punya kawan yang bernama wabah, dia mendapatkan tugas untuk mengantar orang sebanyak lima ribu orang di sebuah negeri tertentu selama setahun. Tetapi setelah selesai malah membawa lima puluh ribu orang. Jelas itu jadi tugasku beserta para penjaga lain."