Alice

Laurenzo Jordan Santana
Chapter #2

The Terror

Hening. Itu adalah suasana yang kurasakan sekarang. Tidak ada suara sekecil apapun yang terdengar diruangan ini yang sebelumnya penuh dengan keceriaan serta cahaya. Aku terbangun dan kulihat kondisi hall yang kacau balau akibat ledakan yang terjadi tadi. Lampu-lampu yang pecah dan padam membuat satu-satunya penerangan di hall ini hanyalah sinar bulan yang masuk melalui jendela. Aku berusaha memperhatikan sekelilingku untuk mencari apakah ada orang lain di hall ini. Aku tidak menemukan siapa-siapa, menurutku melihat mayat akan lebih melegakan daripada tidak menemukan siapa-siapa. Aku pun mulai panik, kuraih handphoneku dan hal yang pertama kali aku lihat adalah baterai dan sinyalku. Baterai ku yang masih 80% membuatku sedikit tenang, akan tetapi aku tidak memiliki sinyal sama sekali. Kenapa sinyal harus hilang selalu pada saat penting seperti ini. Akhirnya aku menyalakan senter di hpku untuk menyinari sekelilingku. Aku masih tidak menemukan siapa-siapa. Ruangan yang sebelumnya penuh ini sekarang benar-benar kosong tanpa satu orang pun selain aku. Aku berlari menuju pintu keluar dengan sekuat tenaga, kulewati kursi-kursi yang tergeletak akibat pengaruh ledakan. Saat aku sampai di pintu keluar aku tetap tidak melihat siapa-siapa padahal aku sudah berlari dari ujung sampai ke ujung hall. Aku mulai ketakutan dan kucoba teriak sekuat-kuatnya

"AAAAAAAHHHHH!!!"

Suara teriakanku malah membuat suasana diruangan ini semakin mencekam. Sekarang yang kudengar hanyalah gema dari suaraku. Aku sudah tidak tahan lagi, aku akan keluar dari tempat ini aku tidak peduli kenapa aku sendirian di ruangan ini. Kupegang gagang pintu dan kucoba untuk membukanya, dan hasilnya sudah bisa ditebak. PINTUNYA TERKUNCI. "SIAALAAAN" hanya kata itu yang keluar dari mulutku. Aku mencoba segala cara untuk membuka pintu sialan ini untuk terbuka. Mulai dari menarik, mendorong, menendang, mendobrak, memukul. Semua hasilnya sia-sia, malah membuat tangan dan kakiku sakit. Disaat aku sudah mulai putus asa aku baru ingat dibelakang panggung ada pintu lain yang terhubung dengan lorong didalam sekolah. Tapi apakah ide bagus untuk malah menuju lebih dalam ke sekolah? Aku tidak tahu dimana keberadaan orang bertopeng itu, dan menurutku menuju lebih dalam kesekolah malah akan membuatku semakin terjebak.

Tidak butuh waktu lama untukku mengambil keputusan. Bila aku berdiam diri diruangan gelap tanpa satu manusiapun ini lama-lama aku bisa jadi gila. Yang ada dalam pikiranku sekarang hanyalah keluar dari ruangan ini. Aku kemudian mulai berlari menuju arah panggung, kulewati lagi kursi-kursi yang tergeletak dan aku masih berusaha mencari mungkin ada seseorang yang pingsan sama sepertiku. Tetapi hingga aku sampai ke panggung pun aku tidak melihat satupun manusia di ruangan ini. Aku pun naik ke atas panggung, dan aku melihat sesuatu yang membuatku semakin tenang dan takut di waktu yang bersamaan.

Aku melihat mayat Mr. Jeff terbaring di tengah-tengah panggung. Kucoba dekati tubuh Mr. Jeff untuk memastikan bahwa dia benar-benar meninggal atau tidak. Semakin aku dekat dengan tubuh Mr. Jeff, kuingat-ingat kembali kejadian yang terjadi pada Mr. Jeff. Saat-saat dimana Mr. Jeff ditembak oleh orang bertopeng itu terulang-ulang terus di kepalaku. Kucoba cek nadi Mr. Jeff tapi hasilnya nihil, Mr. Jeff benar-benar sudah meningggal. Kucoba untuk membalikkan badannya dan kulihat di tengah dadanya ada lubang bekas tembakan orang bertopeng tersebut. Mr. Jeff dipandanganku merupakan orang yang berusaha untuk melakukan semua tugasnya dengan baik, dan menurutku posisinya sebagai kepala sekolah di sekolah ini selama 10 tahun membuktikan bahwa dia adalah sosok yang berhasil menjalankan tugasnya sebaik mungkin. Dia selalu berusaha meningkatkan kualitas sekolah ini melalui murid-muridnya dengan menyediakan segala fasilitas dan pelatihan-pelatihan kepada muridnya agar bisa berkembang. Dia juga pernah sempat berusaha membantuku untuk menemukan talenta ku dimana, akan tetapi sepertinya dia menyerah sehingga dia membiarkanku begitu saja. Aku percaya salah satu alasan dia berusaha membantuku adalah karena dia juga merupakan tetanggaku, Mr. Jeff menurutku memiliki keluarga yang baik dan harmonis. Baik anak dan istrinya juga dapat menjadi panutan di lingkungannya masing-masing. Bisa dibilang Mr. Jeff adalah sosok yang sempurna dan aku masih tidak paham motif dari orang bertopeng itu. Kenapa dia membunuh Mr. Jeff ? Mr. Jeff adalah orang yang disukai banyak orang dan tidak mempunyai musuh. Tetapi mengapa masih ada orang yang tega membunuhnya?

Air mata pun mulai turun dari mataku. Sosok Mr Jeff yang dikagumi banyak orang termasuk aku, telah tergeletak tak bernyawa di ruangan gelap ini. Talenta dan peran yang dia punya untuk mengubah banyak orang telah hilang begitu saja oleh tembakan seseorang yang menurutku tidak mengerti sosok Mr. Jeff. Kuusap air mataku, karena aku harus berusaha untuk keluar dari tempat ini agar aku tidak bernasib sama seperti Mr. Jeff. Kursi-kursi diatas panggung pun terlihat kosong, tidak terlihat guru-guru serta murid-murid berprestasi termasuk Adam disana. Aku berjalan menuju belakang panggung dan kulihat pintu keluar dari tempat mengerikan ini. Kucoba untuk membuka pintu itu dengan berharap agar pintu itu tidak terkunci, dan terbukalah pintu itu. Dibalik pintu itu kulihatlah lorong panjang sekolahku ini, hal baik yang dapat kulihat dari lorong ini adalah bahwa lampu di lorong ini menyala. Lorong panjang yang biasanya terdapat banyak murid berjalan dilorong ini sekarang begitu sepi. Aku mulai berjalan dan kulewati lah lift dan tangga yang terletak di awal lorong ini. Pemikiranku untuk naik ke lantai atas langsung aku hilangkan, karena tujuan utamaku sekarang adalah keluar dari sekolah ini. Aku berpikir untuk keluar melalui pintu belakang sekolah, untuk mencapai sana aku harus melewati lorong panjang ini sampai ke gedung sebelah. Setelah itu baru aku bisa kebagian belakang gedung itu untuk menuju ke gerbang belakang sekolah.

Berada di lorong yang panjang dan seperti tidak ada ujungnya ini membuatku resah dan takut. Aku pun mulai berlari sekencang-kencangnya, aku sudah tidak peduli terhadap peraturan dilarang berlari di lorong yang tertempel di tembok-tembok yang aku lewati. Ini berurusan dengan nyawa jadi aku tidak peduli terhadap hal sepele seperti itu. Akhirnya aku sampai ke tengah-tengah lorong ini, di tengah lorong ini terdapat taman yang indah. Taman ini memiliki semua hal yang diperlukan oleh taman untuk terlihat menarik dan indah. Mulai dari kursi dan meja taman, kolam ikan, tanaman-tanaman hias, serta 1 pohon besar yang terletak di tengah-tengah taman. Aku pun mulai lelah dan aku berpikir untuk beristirahat di taman tersebut. Kududuk tepat di bawah pohon sambil melihat bintang serta bulan yang menyinari malam terseram selama hidupku ini.

Acara yang aku pikir bakal dapat merubah hidupku telah benar-benar merubah hidupku. Kejadian malam ini tidak pernah sekalipun terbesit di pikiranku. Aku mulai berpikir atas segala tindakanku di masa lalu, apakah yang membuat aku harus mengalami kejadian seperti ini? Aku mulai berpikir bahwa aku bisa menjadi orang yang berbeda, apakah aku dapat membuat pilihan yang berbeda? Aku merasa aku bisa menjadi pribadi yang lebih baik, dan aku merasa bahwa mungkin sudah terlambat untuk berubah. Pikiran-pikiran buruk pun mulai menyelimuti pikiranku, dimulai dari apakah aku bisa keluar dengan selamat dari tempat ini? Apakah semua temanku meninggal? Kenapa aku sendirian? Kenapa hal ini terjadi disekolahku? Apa kesalahanku sehingga aku mengalami kejadian seperti ini? Kenapa aku tetap hidup sampai sekarang? Kenapa aku? Kenapa aku?

Pertanyaaan itu terpikir terus di kepalaku. Suasana taman yang seharusnya menenangkanku malah membuatku semakin takut dan kacau. Aku pun mulai menangis. Aku menangis bukan hanya karena menangisi diriku sendiri, akan tetapi aku menangisi semua orang di SMA Cahaya ini yang aku tidak tau keadaan mereka sekarang seperti apa. Bila aku yang meninggal atau menghilang itu bukanlah masalah karena aku bukan siapa-siapa, akan tetapi yang meghilang adalah semua orang yang berprestasi dan memiliki talenta-talenta untuk peran mereka masing-masing. Kenapa harus aku yang selamat? Kenapa tidak mereka yang lebih penting dari diriku yang selamat. Aku rela bila aku yang ditembak oleh orang bertopeng itu daripada Mr. Jeff. Tangisanku pun tak bisa kuhentikan disaat aku mengingat kebaikan dan kehebatan Mr. Jeff dan dampaknya terhadap sekolah ini dan orang-orang disekitarnya.

Aku tidak tau sudah berapa lama aku di taman ini. Aku sudah tidak ingin berbuat apa-apa, perasaanku untuk keluar dari tempat ini pun sudah tidak aku pikirkan. Aku hanya ingin duduk diam disini dan menerima apapun yang terjadi, bila orang bertopeng itu datang akupun tidak akan lari. Bila dia menodongku dengan pistolnya pun aku terima, aku sudah merasa bahwa matipun tidak masalah bagiku. Aku hidup pun tidak ada gunanya, orang-orang yang lebih penting dariku saja menghilang dan meninggal. Lebih baik aku yang posisinya dibawah mereka ini, juga ikut hilang dari dunia ini. Keheningkanku pun dipecahkan oleh suara langkah kaki dari lorong sekolah. Secepat mungkin aku bersembunyi di balik pohon berharap bahwa langkah kaki itu bukanlah orang bertopeng itu.

"Ah, betapa bodohnya aku."

Tadi aku berpikir bahwa aku tidak takut kalau orang bertopeng itu datang. Ternyata aku tetaplah orang yang tidak bisa apa-apa, menerima kematian pun aku tidak sanggup. Disaat aku masih berpikir tentang kebodohanku, langkah kaki itu terhenti tepat di depan taman. Oke, aku mengambil keputusan bahwa siapapun itu aku tidak akan sembunyi dan menghadapinya dengan berani. "Huuuffff" kutarik napas panjang dan berdirilah aku dan keluar dari balik pohon. Sosok yang berada di lorong itu membuat senyum terpancar kembali di wajahku.

"Adaaaam" hanya kata itulah yang keluar dari mulutku.

"Alice? Benarkah itu kamu? Aku tidak sedang bermimpi kan" jawab Adam dengan sambil terheran-heran melihat sosok didepannya.

"Iya adam, ini aku Alice. Alice temanmu dari dulu yang kamu benci dan kamu sayangi. Seharusnya aku yang tanya benarkah itu kamu Adam?" Jawabku sambil meniru ekspresi Adam.

"Hmmm, kalau kubenci itu pasti sih. Tapi kalau aku sayangi juga? Itu perlu dipertanyakan sebenernya dan ga usah tiru-tiru mukaku lice, ga lucu tau." Sahut Adam sambil mencubit pipiku.

"Jangan cubit-cubit pipi orang seenaknya ya. Oh, aku senang sekali kamu orang pertama yang aku temui sejak aku sadar Dam. Kamu gatau betapa takutnya aku saat aku bangun dan kulihat tidak ada seorangpun di sekitarku. Belum lagi ada pembunuh di sekolah ini sekarang, aku takut Dam." Sambil menangis aku memeluk Adam.

"Iya Lice, tenang-tenang sudah ada aku disini. Selama kita bersama kita bisa mengatasi segala permasalahan ini kok Lice. Oke, sudah jangan takut ya." Adam berusaha menenangkanku sambil mengelus kepalaku.

"Ok Lice, sekarang kita harus sama-sama tenang dan berusaha mencari tahu sebenarnya apa yang terjadi. Aku bakal ceritain apa yang kuingat dan setelah itu kamu bisa ceritain apa yang kamu ingat. Aku bakal cerita dulu ya, jadi hari ini berjalan seperti biasa tanpa ada hal aneh. Kecuali tadi pagi-pagi aku membantu untuk mempersiapkan acara perpisahan untuk hari ini. Setelah itu aku pulang sekolah bersama kamu Lice, dan kita berpisah dan masuk ke rumah kita masing-masing. Aku pun bersiap-siap, sekitar pukul 16.00 aku sudah selesai dan akupun langsung berangkat ke sekolah. Karena aku ketua panitia jadi aku harus sampai lebih awal daripada siswa lain untuk mengecek semuanya. Tidak ada hal aneh juga selama perjalananku menuju ke sekolah, maupun disaat aku disekolah untuk persiapan terakhir. Setelah itu murid-murid mulai berdatangan dan masuk ke Hall dengan teratur. Acara pembukaan pun berjalan dengan lancar, aku dan Rebecca membuka dengan sambutan serta memberitahu rangkaian acara hari ini. Dilanjutkan dengan Mr. Jeff memberikan beberapa kata dan tiba-tiba ada ledakan lalu lampu hall padam. Setelah lampu menyala tiba-tiba ada sosok bertopeng berdiri di depan Mr. Jeff dan menembaknya. Tidak lama kemudian ada ledakan lagi di panggung dan saat aku sadar aku sudah ada di hall yang gelap gulita dan kosong. Aku menyusuri hall dan berusaha mencari orang lain tapi aku tidak menemukan siapa-siapa, kucoba untuk mencari jalan keluar tapi hasilnya pun nihil. Pintu yang terbuka hanyalah pintu lorong antar gedung a dan b. Aku berjalan dan saat sampai di depan taman ini aku merasakan ada seseorang. Tidak lama kemudian kamu keluar dari balik pohon itu Lice, dan kamu juga orang pertama yang aku lihat semenjak aku sadar Lice. Hmm kalau kamu gimana kok bisa sampai di taman ini Lice?" Pandangan Adam pun fokus kepadaku.

"Haaa? Kamu bangun di hall? Yakin? Ok-ok aku ceritain ceritaku. Hari ini juga sama kayak kamu berjalan seperti biasa sampai orang bertopeng itu menembak Mr. Jeff. Ledakan di podium itu membuatku pingsan dan aku bangun di hall yang gelap gulita dan tidak ada orang juga. Aku sudah berusaha mencari-cari dan berteriak tetep aku ga menemukan siapa-siapa di hall itu. Aku pun berusaha membuka pintu masuk hall, tapi terkunci sehingga aku lari ke pintu belakang panggung. Di panggung aku nemui mayat Mr. Jeff. Setelah itu aku keluar dan berlari di lorong sampai aku sampai di taman ini. Aku duduk di bawah pohon sampai aku dengar langkah kakimu Dam. Tapi kenapa aku tidak melihatmu ya di hall?" Tanyaku kepada Adam sambil terheran-heran.

"Iya bener aku bangun di hall tadi Lice. Tapi ada beberapa hal aneh dari ceritamu Lice. Pertama, kamu bilang bahwa kamu mencari-cari seluruh hall bahkan sudah berteriak tapi tidak menemukan siapa-siapa. Padahal aku sudah pasti tadi terbangun di hall dan aku tidak mendengar teriakanmu Lice. Kedua, kamu melihat mayat Mr. Jeff di panggung, sedangkan aku terbangun di atas panggung lho Lice, dan aku tidak menemukan mayat satu orangpun termasuk Mr. Jeff. Kita berada di hall yang sama tapi seperti kita di tempat yang berbeda." Jawab Adam sambil berusaha menemukan penyebab keanehan ini.

"Tidak mungkin!! Aku bener-bener ngelihat mayat Mr. Jeff di atas panggung. Tidak mungkin aku salah lihat, aku mengenal dia sejak aku kecil. Hampir setiap hari juga aku melihatnya baik di sekolah maupun di rumahnya. Sekali lagi tidak mungkin aku salah lihat Dam. Kamu seharusnya sangat tau Dam kalau aku bakal mengenali wajahnya, dia kan....." Jawabku sebelum Adam menutup mulutku

" Sshhhhh. Aku mendengar langkah kaki Lice, ayo kita sembunyi dulu." Bisik Adam sambil menarikku untuk bersembunyi di balik pohon.

Aku dan Adam pun bersembunyi di balik pohon tempatku bersembunyi tadi. Aku berpikir tadi tempat sembunyi ini tidak berhasil saat Adam lewat, apakah ini bakal berhasil sekarang? Kucoba melihat sekeliling untuk mencari tempat persembunyian lain, dan hasilnya nihil. Tidak ada lagi tempat untuk bersembunyi, tempat terbaik ya di balik pohon ini. Aku dan Adam berpegangan tangan sambil berharap siapapun yang memiliki langkah kaki itu tidak menemukanku dan Adam. Langkah kaki itu semakin keras dan keras dan tiba-tiba berhenti, tepat di depan taman.

"Sial" kataku dalam hati

Aku menoleh ke arah Adam, Adam pun melakukan hal yang sama. Aku tau kami berdua memiliki pikiran yang sama. APAKAH DIA TAU KAMI BERSEMBUNYI DI SINI? Langkah kaki itu terdengar kembali, bukannya menjauh akan tetapi arah langkah kaki itu semakin mendekat menuju pohon tempat persembunyian kami. Genggaman tanganku dan Adam menjadi semakin erat, karena kami tidak tau apa atau siapa yang berjalan ke arah kami.

"HOOIIII"

Lihat selengkapnya