“Lam sama Mim? Maaf Pak Hisyam, kami justru kali ini mau mencari tau tentang mereka berdua.” Hidayat sendiri langsung menjawab pertanyaan Hisyam. Mereka langsung mempersilahkan lelaki setengah baya itu bergabung bersama mereka.
Hisyam sendiri terdiam beberapa saat sebelum bercerita terkait yang menimpa sang istri. Ada embun kesedihan yang terpancar dari lelaki itu. Mengingat semua yang terjadi di masa lalu, dia merasa bersalah tak bisa merawat kedua bocah malang tersebut.
“Kemarin, istriku terluka. Kata mantri, kakinya terkilir. Tapi, aku sendiri berpikir jika kaki istriku bukan sekedar terkilir. Ada sesuatu di balik semua ini.” Hisyam mulai terbuka tentang apa yang dialami Lesti. Saat Lesti pulang dengan dua asistennya, perempuan itu terus menyebut nama Mim dan ingin meminta maaf. Sepertinya ada sesuatu yang menghubungkan kejadian semalam dengamn anak itu.
Hisyam tak lupa untuk menunjukkan sebuah pesan yang dia terima kemarin. Alif sendiri langsung membaca pesan itu. Pesan dengan nada ancaman pada istri lelaki yang kali ini bersama mereka. Hidayat yang juga ikut membaca pesan itu tampak begitu merinding. Ancaman itu bukanlah ancaman biasa.
“Ini dilempar oleh seseorang yang aku sendiri kurang tau. Saat aku menengok ke jendela, tak ada orang sama sekali. Cepat sekali larinya.” Hisyam sendiri melanjutkan cerita. Alif sendiri semakin bertambah heran dengan kejadian demi kejadian aneh. Jika dugaannya adalah Mim, bukankah dia cacat? Lalu, jika dia saja bergerak tidak sebebas orang lain, bagaimana bisa menghilang secepat itu?
“Kalau memang Mim, harusnya kemanapun dia berada ada suara kursi roda. Apa Bapak mendengar?” Hisyam terdiam dan mengingat yang terjadi malam tadi. Semat dia mendengar suara seperti kursi roda, hanya saja tidak dia pastikan. Hisyam sendiri menemani istrinya yang kesakitan.
“Terdengar sih. Tapi tidak lama. Aku sendiri tak terlalu menanggapi suara itu. Apalagi, kondisi istriku saat ini tengah sakit.” Mereka saling menatap. Apa benar jika itu Mim? Di kampung ini tak banyak orang yang menggunakan kursi roda, salah satunya memang dia. Tapi, yang paling sering kelihatan memang Mim.
Mereka sendiri akhirnya memutuskan berbincang sambil berjalan menuju tempat tinggal Hisyam. Alif dan Hidayat sendiri juga berniat menjenguk Lesti dan melihat kondisinya.
Di tengah perjalanan, mereka mendapati Lam dan Mim baru dari sebuah tempat. Tampak tak ada yang aneh dari kedua anak itu. Mim sendiri juga tengah duduk di kursi roda dan tatapannya tak fokus.
“Lam, Mim.” Alif mencoba menyapa kedua anak itu. Mereka sendiri langsung menoleh dengan panggilan dari Alif. Lam sendiri hanya terdiam, tapi tidak dengan Mim. Tanpa aba-abna, Mim melemparkan beberapa batu ke arah mereka. Hisyam sendiri terkejut dengan apa yang dilakukan oleh anak itu.
Lam sendiri berusaha mengendalikan emosi adiknya. Hisyam sendiri meminta agar Mim menghentikan apa yang dia lakukan. Tak pantas jika Mim berbuat seperti itu. Mereka tidak bersalah atas apa yang terjadi 14 tahun yang lalu.
“Mim. Kumohon hentikan semua ini Nak! Jangan melukai orang yang tidak bersalah!” Lam sendiri mengajak Mim untuk menjauh. Hisyam sendiri mencegah mereka. Ingin sekali dia meminta maaf atas apa yang terjadi dalam hidup kedua anak itu. Hidup ini memang tidak adil bagi mereka. Semuanya gara-gara dia.
“Tidak perlu sok perhatian! Tidak perlu sok kasihan pada kami! Adiku kondisinya seperti ini, semuanya gara-gara kalian.” Lam sendiri membuat Hisyam terdiam dan hanya bisa menangis.
“Lam, Mim. Maafkan aku atas apa yang terjadi! Maafkan aku saat itu tidak bisa mencega kejadian itu! Aku siap jika memndapatkan hukuman dari kalian berdua. Hukum aku Nak! Hukum aku! Aku yang bersalah.”
Setelah Hisyam mengatakan hal tersebut, Mim tiba-tiba tertawa begitu kencang. Mim hanya tertawa kali ini. Tampak jika kondisinya memang tak waras. Hisyam sendiri hanya menangis dan bersimpuh di hadapan mereka berdua. Sontak, Lam sendiri mendorong tubuh itu dengan cara yang agak kasar.