“Pak Hisyam, pelan-pelan saja!” Hidayat sendiri membantu Hisyam untuk duduk dan mengatur nafasnya. Apa yang Hisyam ingin sampaikan, sama sekali bukan hal yang biasa.
“Mas Alif, kira-kura sampeyan bisa gak minta bantuan Gus Umar? Sepertinya kejadian ini sudah gawat.” Alif dan Hidayat hanya bisa saling menatap. Memanggil Gus Umar seperti rencana mereka?
“Bapak yakin?”
“Yakin Mas Alif. Ini semua terkait kondisi desa ini. Kalian semua pasti tau terkait apa yang terjadi. Rumah Pak Lamdi kan dapat serangan aneh, walaupun istrinya sedang sakit. Istriku juga sama. Bahkan, asisten di rumah saya juga sampai ketakutan.” Mereka terdiam. Semalam saja rumah Lamdi juga mendapat gangguan walaupun lelaki itu tengah melakukan ritual. Dahayu sampai berteriak tak karuan dengan sosok yang dia lihat.
“Baiklah, saya akan bicara dengan orangnya.” Hidayat langsung mengajak Alif bicara. Mereka secepatnya harus bertemu Umar dan memberi tahu atas semua yang terjadi di wilayah ini.
***
“Kasih. Wanita cantik yang malang.”
“Aku bukan kasih. Aku Darti.” Lelaki yang ada di hadapan Darti tak mau bergeming. Lelaki itu jelas melihat perempuan itu sebagai Kasih.
Darti terus berteriak dan meminta agar tak lagi mendapat penghinaan seperti sebelumnya. Lelaki itu tak peduli. Baginya, yang penting hutang Wicaksono – suami Kasih – harus lunas hari ini juga.
“Kau tau Nona manis, suami kamu telah menggadaikan kesucianmu. Kau harus bersamaku kali ini agar lelaki yang kau cintai selamat.”
“Tolong! Jangan seperti ini! Aku akan membayar berapapun hutang Mas Wicaksono, tapi jangan lakukan itu padaku!” Lelaki itu tetap tak pedului. Darti langsung saja diterkam saat itu juga.
Wicaksono yang melihat pemandangan itu terdiam dan hanya bisa menangis. Sampai sekarang, mereka terus mengejarnya dan ingin merusak kehormatan dari wanita yang dia cintai.
“Hentikan! Tidak seharusnya wanita diperlakukan seperti itu.”
Sebuah cambuk langsung mengenai tubuh Wicaksono. Cambuk naga api milik Ki Ageng, kali ini berada di tangan Lam. Dengan cambuk itu, Lam siap membuat lelaki yang sudah menginjak martabat ibunya kesakitan.
“Tidak seharusnya wanita diperlakukan seperti itu, tapi kau yang membuat seorang Pelita Kasih terhina.” Cambuk itu kembali mengenai tubuh yang mulai lemah.
“Lam. Hentikan Nak! Hentikan semua ini!” Lam sendiri langsung menatap Wicaksono dengan begitu tajam. Apa yang dialami oleh Darti mirip seperti yang dia lakukan pada Kasih. Anak ini berhasil membalikkan keadaan.
“Apa yang kau lakukan pada ibu beberapa tahun silam?” Wicaksono langsung bersimpuh di kaki anak itu. Kali ini dia tak bisa berbuat apapun. Dia mengaku kalah. Amarah dari Lam tak bisa dia bendung. Dia melihat sendiri sang ibu sakaratul maut. Dia juga tak tega dengan adiknya yang terus-menerus mendapatkan cacian dari orang sekitarnya.
“Ayah salah Nak. Maafkan ayah ya Nak!”
“Tidak ada yang bisa mengembalikan senyum ibu pada kami. Tidak ada yang bisa mengembalikan senyum di wajah Mim. Cacian yang kami dapatkan, termasuk apa yang didapatkan Mim, sudah merubah semuanya.”