Aku tidak pernah menyangka, lamaran yang datang padaku akan membawaku ke kisah hidup yang penuh dengan liku. Suamiku yang dulunya dikenal sebagai orang alim ternyata jatuh ke jurang perjudian sebelum dia berani melamarku.
Aku masih ingat saat dia datang. Dia menjanjikan banyak kebahagiaan padaku. Dia berjanji akan membawaku untuk hidup serasa bagai di surga. Tapi, semuanya tidak seperti yang aku pikirkan. Beberapa bulan setelah pernikahan kami, dia mulai menelan banyak kekalahan. Banyak sekali pukulan dan hinaan yang aku terima, bahkan saat aku mengandung anak yang pertama. Semua hinaan dan cacian juga menjadi makananku setiap saat.
Aku hampir saja menyerah dengan apa yang dilakukan olehnya. Tapi, gara-gara kedua anakku, aku terus bertahan dan memberikan semua cinta untuk anak yang kelak aku harapkan menjadi jagoan untuk ibunya. Di tengah semua penghianaan yang diberikan oleh orang sekitarku, mereka adalah kekuatanku.
***
“Menikah? Tapi Pak, aku belum mau menikah.” Kasih sendiri ingin membantah apa yang ayahnya perintahkan. Tapi, keteguhan dari lelaki itu membuat dia tak bisa berbuat apapun.
“Kau ngomong apa Kasih? Sudahlah, ikuti kata Bapak! Dia anak orang yang berada. Dia akan membuat kamu hidup lebih baik dari kehidupan kita yang sekarang.”
“Tapi Pak, aku kan masih ingin melanjutkan pendidikan.”
“Halah, buat apa perempuan sekolah tinggi-tinggi? Ujung-ujungnya jadi pelayan suaminya. Nikah saja kamu! Mumpung ada yang mau dengan anak miskin seperti dirimu.” Kasih terdiam dan menatap Wicaksono yang tersenyum. Lelaki itu mendekat dan terus memberikan senyuman pada perempuan yang selama ini berhasil merebut hatinya.
“Kasih, kau adalah orang yang berhasil merebut hatiku. Aku dengan ini, bermaksud untuk melamarmu. Mau kau menjadi pendamping hidupku?”
“Apa yang bisa kau berikan padaku?”
“Apapun yang kau mau. Aku janji, akan membawamu ke kehidupan yuang lebih baik. Kau tak mau kan hidup terus seperti ini? kita akan bangun kehidupan ini berdua.” Kasih sendiri yang mendapatkan kode dari ayahnya tak bisa berbuat apapun. Dia mau tak mau langsung menerima lamaran itu.
Selama menunggu hari pernikahan, Kasih banyak mendapatkan olokan, terutama dari Darti. Wanita itu yang sudah lama menaruh hati pada Wicaksono tak terima jika sang pujaan direbut begitu saja oleh wanita kampungan semacam Kasih.
“Eh, anak kampungan, ngaca kamu itu ya! Anak miskin mau sok jadi pendamping hidupnya Mas Wicaksono. Gak level tau.”
“Maaf, kalo kamu ingin menikah dengan Wicaksono, silahkan saja! Aku sama sekali tidak ingin menjadi duri di antara kalian.”
“Halah, omong besar doang. Ngaku aja kamu! Mau uangnya dia kan?”
“Saya memang miskin. Tapi saya bukan pengemis. Jika Mbak Darti ingin menikah dengan dia, langsung saja menghadap dengan yang bersangkutan. Kenapa kau mengejekku seperti ini?”
“Eh, udah miskin sok belagu lagi. Eh, kita apakan nih bocah?”
“Eh Darti, lihat gak sih, dia kan gak bisa dandan seperti kita. Coba lihat! Dia gak bisa pake make up. Bajunya lihat! Kampungan seperti ini.” Salah seorang dari mereka terus merendahkan harga diri Kasih.
“Jorok tau gak.”
Kasih sendiri akhirnya memilih pergi. Darti sendiri mencegah dan ingin terus menginjak harga diri perempuan itu. Mereka masih belum puas untuk melakukan itu semua. Apa yang dia bawa langsung dilempar dan dibuat kotor.
“Makan tuh!” Ketiga perempuan itu meninggalkan Kasih tanpa kasihan. Sesampainya di rumah, Kasih hanya terdiam dan bisa menangis. Dias sudah puas untuk menjadi bahan olokan dari warga sekitar.
“Gak usah nangis! Lemah banget sih jadi perempuan. Gak kayak ibunya.” Kasih sama sekali tak menjawab. Dia lebih memilih untuk kembali ke dapur dan mengerjakan semuanya yang bisa dia kerjakan.
***
Pernikahan itu akhirnya digelar. Memnagh tak meriah, tapi untuk ukuran warga di desa itu, pesta itu lumayan besar.
Awal pernikahan, mereka hidup bahagia. Wicaksono begitu memanjakan Kasih dan menjadikannya ratu. Tapi, semuanya berbalik saat Kasih mengandung Lam. Wicaksono mulai kasar dan hampir tiap hari melakukan kekerasan. Pukulan dan tamparan menjadi makanannya tiap hari.
Hal itu terus menjadi ketika anak itu lahir. Saat lelaki itu pulang dan tak ada uang ataupun makanan, Kasih langsung jadi bulan-bulanan. Dia tak bisa cerita pada siapapun. Percuma saja dia cerita. Dia mengadu pada keluarganya, justru dianggap jika hal itu memang wajar diterima oleh perempuan.
“Gitu aja. Udah wajar kan?”