Aura itu jelas aku rasakan. Aura itu jelas sekali. Dia begitu kuat dan begitu mengikat desa ini. Aku tidak bisa terus menerus begini. Harus ada sesuatu yang harus aku lakukan. Memang, aku tidak bisa begitu saja menuduh mereka berdua sebagai biang keladi dari semua ini. Tapi, jika aku lihat beberapa hari terakhir, semua bukti yang aku kumpulkan mengarah pada kedua anak itu.
Memang bukti belum kuat. Aku harus mencari tau semua ini. Apalagi, aku sudah berbicara pada Ummi terkait semua yang aku temui. Kecurigaanku semakin kuat. Ya Allah, mudahkanlah jalanku. Aku ingin ada titik terang yang selama ini warga desa alami.
***
Umar sendiri malam itu langsung menceritakan semua yang dia lihat dan dengar pada sang ibu. Nyai Rofi yang mendengar cerita sang putra tak begitu terkejut. Memang ada sesuatu yang dia ketahui tentang anak-anak Kasih.
“Umar, hati-hati ya! Ini memang gak mudah. Jangan lupa selalu berdoa dan minta perlindungan dari sang kuasa!” Umar sendiri mengiyakan apa yang baru saja dipesankan sang ibu. Dia yakin, jika sang ibu sampai berpesan seperti itu, ini bukanlah hal yang mudah untuk dilalui.
“Insya Allah Ummi. Terima kasih sudah diingatkan. Insya Allah mungkin besok aku mau ke suatu tempat. Aku rasa tempat itu akan menjadi awal mengungkap semua ini.”
“Iya. Ummi hanya bisa berdoa.” Telepon itu akhirnya disudahi. Umar sendiri masih terdiam dan menatap pemandangan malam desa ini yang begitu indah. Dia sama sekali tak menyangka, jika di balik keindahan desa ini, ada hal yang begitu misterius dan justru kali ini menjadi momok bagi warga desa.
Alif sendiri yang mendengar semuanya langsung mendekat. Dia menanyakan untuk apa segera datang ke tempat itu? Umar hanya bisa menjawab jika semua ini ada hubungannya dengan Lam dan Mim.
“Lam dan Mim? Tapi, apa kau punya cukup bukti untuk langsung menuduh mereka?”
“Bukan untuk menduduh. Aku sama sekali tidak ingin menghakimi kedua anak itu. Kau pasti tau sendiri keanehan kedua bocah itu. Aku rasa, di balik semua keanehan mereka dan kejadian di desa ini masih ada hubungannya.”
“Gus, boleh aku ikut?”
“Lalu, yang membantu warga di sini siapa?” Alif terdiam beberapa saat sebelum akhirnya Hidayat datang dan menyatakan kesediaannya.
“Aku akan di sini dan berada bersama warga. Aku penduduk asli desa ini. Insya Allah aku akan membantu saat kalian membutuhkan sesuatu.” Umar sendiri akhirnya bisa bernafas lega mendengar kesediaan dari lelaki ini.
Esok harinya, mereka langsung bersiap. Setelah berpamitan ke beberapa pemangku desa, mereka memulai perjalanan. Tujuan pertama, jelas menuju Panti Asuhan Bintang Gemilang.
Perjalanan itu begitu melelahkan. Setelah sampai di tujuan, mereka sendiri memutuskan untuk sarapan dan sekalian bertanya pada warga sekitar. Mereka harus mengumpulkan infotrmasi sebanyak-banyaknya terkait bagaimana bangunan itu bisa terbakar dan memakan korban nyawa.
Belum sempat mereka bertanya, ada beberapa orang yang bercerita terkait angkernya bangunan itu. Beberapa kali terdengar jika ada teriakan dari bangunan yang sudah kosong. Mereka langsung mendengar denbgan begitu seksama.
“Maaf Bu, maksudnya bangunan kosong itu yang sebelah mana ya?” Umar akhirnya memberanikan diri bertanya. Penjual itu akhirnya menyadari jika salah satu pembelinya adalah Umar.
“Masya Allah Mas Umar. Ini kamu rupanya.”
“Iya Bu. Masih ingat sama saya?”
“Ya pastinya ingat. Masa gak ingat.” Penjual itu akhirnya menceritakan semua yang ditakutkan para warga terkait gedung itu. Gedung yang sudah lama tidak terurus dan menyisakan bekas kebakaran. Tak salah lagi, bangunan yang mereka maksud adalah Bintang Gemilang.
“Kalau boleh tau, sejak kapan itu terjadi?”