Keegoisan mereka justru membuat hidup kami semakin terpuruk. Aku sampai tak bisa melanjutkan sekolah yang saat itu hampir selesai. Semua ini gara-gara lelaki yang mengaku menyayangi kami. Siapa lagi kalau bukan ayah kami sendiri. Entah apa yang membuat dia begitu buta dan akhirnya membiarkan kami semua menjadi penebus segala kekalahan dari penjudi itu? Kak Fajar yang berusaha membebaskan kami justru dihajar habis-habisan.
Aku melihat bagaimana beberapa preman menghajar lelaki yang ingin menyelamatkan kami dari lubang kehancuran itu hingga hampir saja kehilangan nyawanya. Aku tak habis pikir, kenapa ayah kami begitu kejamnya dengan anak-anaknya? Apakah dia benar-benar menyayangi kami semua? Atau selama ini apa yang Kak Fajar katakan ada benarnya?
Ketika orang lain menangis saat orang yang mereka cintai kehilangan kehormatannya, tapi tidak dengan dia. Lelaki itu justru tertawa dan menganggap jika aku pantas seperti ini. pemikiran semacam apa ini? Kenapa ada orang yang berpikiran seperti itu? Apakah kami tak ada harganya di mata lelaki itu?
***
“Mbak Ima.”
“Kak Fajar hampir meregang nyawa saat ingin menyelamatkan kami dari tangan penjudi itu. Tapi, gara-gara di agila harta, nyawa damn kehormatan anak-anaknya tak ada harganya.” Ima sendiri tak ingin membahas masalah itu. Dia kembali bekerja dan menjalankan tugasnya sebagai juru masak di tempat ini. Alif sendiri meminta waktu sebentar saja. Ini semua terkait dua keponakannya.
“Mbak. Aku tau apa yang Mbak lalui beberapa tahun terakhir mungkin tidak nyaman untuk diingat. Tapi, ini semua demi keponakan Mbak Ima sendiri.” Keponakan. Dua anak yang begitu dia sayangi. Yang dia tau, mereka berdua sekarang berada di tangan seseorang yang dipercaya Fajar. Dia berada dalam pengawasan sang kakak.
“Aku tidak pernah khawatir sama mereka berdua. Bersama siapapun mereka, kakakku pasti mengawasinya. Dia tak mungkin membiarkan kedua anak itu lepas pengawasan.”
“Tapi Mbak. Mereka aneh.”
“Apa maksud kalian? Apapun yang mereka lakukan, bukanlah hal yang salah. Keadilan untuk aku, Kak Kasih dan semua keluarga Ibunya, mereka harus membayarnya. Aku yakin kedua anak itu bisa membalaskan dendam kami dan memulihkan nama baik kami.”
“Mbak, istighfar!”
“Tidak perlu sok perhatian! Tidak ada yang pernah perhatian sama aku selama ini. Sampai ada Mas Faris. Mas Faris yang berhasil menangkap mucikari yang selama ini membuat aku terbelenggu dalam dunia yang sama sekali tidak pernah aku inginkan.” Ima sendiri langsung memasuki sebuah ruangan. Mereka tak bisa berbuat apapun. Apa yang pernah terjadi di masa lalunya, sama sekali tak bisa dimaafkan oleh dirinya. Dia menganggap, jika semua ini gara-gara orang yang bernama Wicaksono.
“Mbak Ima, aku mohon bantu kami! Ini sama sekali bukan untuk menghina masa lalu Mbak Ima atau apapun. Apa yang sudah terjadi membuat banyak warga di desa itu ketakutan. Arwah Mbak Kasih bergentayangan, dan Mbak tau jika orang-orang yang pernah membuat Mbak Ima dan keluarga menjadi seperti itu telah mendapatkan balasannya.” Ima sama sekali tidak membuka pintu ruangan tersebut.
Alif sendiri memimnta agar Umar tak memaksa Ima melakukan hal tersebut. Dia bisa memahami jika perempuan itu butuh waktu untuk membuat dirinya menjadi lebih tenang dan terbuka. Umar sendiri terdiam dan langsung menjauh. Di dalam ruangan, Ima sendiri menangis. ingin rasanya, dia ikut membuat penghuni di desa itu semakin menderita atas apa yang pernah terjadi dengan dirinya dan kakaknya. Semua ini tak pernah adil.
Fajar sendiri juga bercerita jika kematian Kasih sama sekali tak wajar. Dia diracun oleh orang yang entah siapa. Tega sekali orang itu. Dia hanya bisa menganggap jika mereka adalah sekumpulan orang yang begitu pengecut. Rumah yang harganya tak seberapa harus disita oleh bank. Dia harus pindah dari satu lokalisasi menuju lokalisasi yang lainnya. Tak ubahnya, dia adalah perempuan yang tak pernah ada harganya.
“Mbak, kami akan pergi. Jika Mbak Ima ingin bercerita, terutama masalah kedua keponakan Mbak dan apapun yang menyangkut masalah itu, kami akan siap mendengarnya kapanpun itu. Permisi.” Alif sendiri meminta agar Umar bisa meninggalkan tempat ini. Tak ada pilihan lain kecuali membiarkan dia menenangkan diri. Tak ada gunanya memaksa perempuan itu bercerita jika dirinya saja belum siap. Umar sendiri mengerti. Dia akhirnya pergi.
Talk lama, Ima menghentikan mereka. Dia mendekat dan langsung memberikan sebuah tulisan singkat. Alif terdiam dan membaca nama dari sebuah tempat. Nama yang sama sekali tak asing baginya.
“Sendang? Sendang desa itu?”
“Iya. Sendang itu adalah tempat yang bersejarah bagi aku dan Kak Kasih.” Bayangan itu kembali muncul. Kejadian yang begitu menyeramkan saat dia dan Kasih harus dibawa paksa untuk melayani orang yang sama sekali tidak mereka kenal.
Flashback
“Mbak, kau dipaksa untuk jadi wanita seperti itu? Lalu, kau mau saja?”