Siapapun mereka, aku tidak akan tinggal diam. Mereka yang ingin menghalangi jalan kami mencari keadilan untuk mendiang, aku pastikan akan ikut lenyap. Mereka harus lenyap bersama orang yang sama sekali tidak punya hati Nurani.
Banyak yang bikang jika ini salah. Banyak yang bilang jika apa yang aku lakukan ini tidak benar. Kenapa ini harus tertuju padaku? Kemana mereka saat ibuku mengalami hal yang begitu menyedihkan? Kemana mereka saat ibuku harus mendapatkan suami bejat seperti Wicaksono? Apakah mereka buta?
Dengan mudahnya, mereka menghukum Ibu yang menjadi korban, tapi membiarkan lelaki dan beberapa perempuan hina itu berkeliaran. Aku bersumpah akan membalas semuanya. aku berjanji, akan membuat hidup mereka tidak tenang. Aku akan membuat desa ini menjadi desa yang begitu terkutuk. Siapapun yang tinggal di desa ini, akan mengalami hal yang sama seperti seorang Pelita Kasih dan keluarganya.
Darti, Lesti, Dayyana dan Dahayu. Kalian berempat dan keluarga akan menjadi orang yang pertama kali mendapatkan balasan. Balasan itu akan lebih hina dan membuat kalian hina di hadapan banyak orang.
***
Mim sendiri tak tinggal diam. Seseorang yang bernama Alif telah mengetahui tempat ini. hal itu sama sekali tidak bisa dibiarkan. Dia mengikuti langkah Alif diam-diam. Alif sendiri sama sekali tak sadar jika dirinya tengah diikuti oleh seseorang.
Alif sendiri dengan perjalanan yang begitu sulit akhirnya bisa sampai kembali ke rumahnya. Umar yang menunggu hanya bisa berharap cemas. Dia takut jika sampai Alif kenapa-napa.
“Alif, kau dari mana? Jangan bilang jika kau tadi mengikuti Mim!”
“Maaf Gus, aku memang sengaja mengikuti langkah tiga orang itu. Bukan tanpa sebab. Aku hanya ingin tau di mana tempat mnereka menahan orang-orang itu.”
“Lalu?”
“Aku menemukanya. Hanya saja, tempatnya sulit dijangkau. Aku saja tadi hampir celaka jika tidak hati-hati.” Umar hanya busa menggeleng. Dia akhirnya meminta agar Alif segera bersiap-siap. Hari ini rencana mereka tak bisa ditunda lagi.
Mereka akhirnya siap. Alif sendiri tersenyum dan berpamitan pada orang tuanya. Hanya doa yang bisa mereka berikan. Tak lama, mereka menaiki motor.
Siapa sangka, belum sempat motor melaju, Mim berbuat ulah. Motor tersebut langsung terjatuh dan melukai kedua orang itu. Alif sendiri kali ini dibuat tak berdaya oleh bocah itu. Dengan mustika yang dia miliki, dia akhirnya berhasil membuiat Alif tak sadar.
Mim tertawa dan langsung meninggalkan lokasi. Warga yang mengetahui kejadian itu langsung menolong. Lagi-lagi, ada korban dari anak satu itu.
“Maaf, kenapa Mas Alif dibuat seperti ini oleh bocah itu? Apakah dia punya masalah dengannya?”
“Ini mungkin efek kenekatan dari Alif. Tadi dia mengikuti Mim diam-diam.” Umar menjelaskan apa yang baru saja diceritakan oleh Alif. Warga sendiri tak bisa berbuat banyak. Salah seorang warga akhirnya berinisiatif untuk memanggil dokter desa. Alif harus mendapatkan pertolongan pertama.
Dokter akhirnya datang. Lama dokter tersebut memeriksa dan menangani Alif. Sampai akhirnya dia keluar dengan wajah yang campur-aduk.
“Dokter, ada apa? Bagaimana kondisi Alif?”
“Kondisinya bagus. Tapi, kakinya mungkin harus segera dapat tindakan.”
“Kenapa dengan kakinya? Apakah parah?”
“Kalau saat ini memang belum terlalu parah. Tapi jika ini tidak segera ditangani lebih lanjut, saya takut kondisinya semakin memburuk.” Ibu Alif hanya bisa menangis. Hidayat yang saat itu mendengar kondisi tersebut berusaha menenangkan kedua orang tuanya.
“Bibi, Insya Allah Alif gak apa-apa. Doanya saja semoga Alif segera sembuh!” Perempuan itu hanya bisa mengangguk. Dia juga menceritakan jika rencana Alif kali ini gagal.
“Bibi, saya akan ke sana sendiri. Insya Allah gak apa-apa. Biar Alif istirahat dulu.”
“Umar, gak apa-apa? Kalo Hidayat yang menggantikan Alif gimana?”
“Gak usah. Hidayat biar menemani Alif. Aku yakin dengan kehadiran Hidayat, Insya Allah bisa sedikit membantu.” Mereka tak bisa mencegah niat Umar. Apalagi kepergiannya untuk membantu warga di desa ini.