Di tempat lain.
Hambali beserta sang istri menyambangi bekas bangunan yang kali ini tak ubahnya seperti tempat yang begitu angker. Dia melihat konbdisi salah satu saudaranya. Seorang wanita yang kondisinya sudah tak begitu sehat. Wanita itu memilih untuk tetap tinggal di tempat ini dan menjaga semua peninggalan dari kedua orang tua mereka.
“Mbak, kenapa kau masih bertahan di sini? Kondisimu saat ini sudah tak lagi sehat.”
“Sri, aku hanya ingin menjaga rumah ini. Bagaimanapun juga, rumah ini punya kenangan yang berharga.”
“Rumah ini menurutku tak ada gunanya lagi. Buat apa ada rumah tapi memberi kenangan yang begitu buruk? Gara-gara perempuan bangsat seperti Darti, semuanya jadi hancur.”
“Sri, asku sudah memaafkan mereka.”
“Kau sudah memaafkan mereka, tapi bagiku tidak. Aku tau mereka mau menyingkirkan Mim dan mereka gagal. Dengan teganya mereka mefitnah keduas orang tua kita? Aku sama sekali tak bisa memaafkan mereka. Bagaimanapun juga, mererka harus dapat balasannya.” Sri hanya bisa seperti itu. Dia tak bisa ikhlas begitu saja seperti yang kakaknya lakukan.
“Tidak baik memendam amarah seperti itu.”
“Aku bukan memendam semuanya. Ini terkait keadilan. Bagaimanapun caranya, Darti harus bisa aku dapatkan. Dia harus bertanggung jawab atas semua yang menimpa panti asuhan ini.” perempuan itu langsung menyusuri bekas bangunan yang sudah tak berbentuk. Entah sudah kali keberapa dia melakukan hal ini. Sri hanya berharap jika dirinya akan menemukan beberapa barang yang bisa dia gunakan untuk mencari keadilan.
Sri sendiri terhenti. Entah barang apa lagi yang dia temukan. Sudah lama bangunan itu tak dijamah oleh manusia. Hanya beberapa orang yang mendapagt izin seperti Sri yang bisa leluasa masuk ke wilayah itu. Alif sendiri yang saat itu sempat mampir tak bisa seleluasa Sri.
Wanita itu melihat sekelilingnya. Bekas sebuah ruangan yang tak salah adalah kamar. Dis ingat, dari kamar itu api berasal. Tempat yang biasanya digunakan Lam dan Mim untuk beristirahat. Dia melihat barang itu dengan teliti. Sebuah kain yang sepertinya adalah sebuah baju.
“Ukurannya lumayan kecil. Ini pasti milik Mim. Ini adalah baju milik Mim. Aku yakin.” Sri akhirnya keluar dan menunjukan barang itu pada sang suami dan kakaknya. Terlihat jelas jika sang kakak tengah memendam sesuatu. Perasaan sedih bercampul penyesalan.
“Ayah sudah membawa kedua bocah malang itu kemari. Dia sudah tak ada keluarga. Tapi, ternyata justru semuanya jadi senjata yang mematikan. Mereka yang berniat menyelamatkan bocah terlantar malah harus mendapatkan hal yang semacam ini.” Perempuan itu menangis. Dengan duduk di kursi rodanya, dia menceritakan apa yang sudah menjadi niat dari kedua orang yang begitu mereka sayangi.
“Makanya Mbak, ini gak bisa dibiarkan. Mereka sekarang tidak seperti dulu. Mereka hanya perempuan lemah. Darti sendiri gak tau rimbanya ada di mana. Tapi aku akan bertekad, mendapatkan perempuan itu. Dia harus bertanggung jawan batas semua yang terjadi.” Semua terdiam dengan apa yang Sri katakan. Hambali yang dari tadi tak berbicara apapun langsung mendekat dan menenangkan sang istri.
“Sudahlah Dek! Aku yakin kau pasti bisa. Yang paling penting sekarang, bagaimana kondisi kesehatan dirimu dan Mbak Narsih ini bisa membaik.” Sri hanya bisa terdiam dan meneteskan air mata. Dia begitu bersyukur dengan kehadiran sang suami di sisinya.
***
“Apa yang terjadi? Kenapa Alif jadi seperti ini?”
“Gak tau Gus. Tadi Alif sempat mengeluhkan jika dia gerah. Padahal suasana sama sekali gak gerah.” Umar sendiri tertegun mendengar apa yang baru Hidayat ceritakan. Dia langsung mengecek kondisi Alif yang masih dalam kondisi lemah. Umar juga mengajak Alif bicara. Setelah sekian lama dia mengecek, akhirnya dia meyakini jika Alif terkena sihir.
“Bukan santet atau apa. Hanya sekedar peringatan saja. Aku tidak bisa menduga siapa yang memberi. Sebelum ada bukti, aku tidak bisa menuduh siapapun.” Mereka hanya terdiam dan saling pandang. Ingin rasanya Ibu dari Alif melarang mereka untuk bersinggungan dengan Lam damn Mim. Dia tak ingin jika anak mereka menjadi sasaran empuk kedua bocah itu untuk segala aksinya.