“Mim.”
“Jangan mengangguku! Kalian tidak pernah tau apa yang aku hadapi. Kalian tidak pernah tau apa yang selama ini aku alami. Kalian tinggal bicara saja sok ngatur. Kalau kalian mau, gantikan posisiku.” Mereka terdiam dan saling menatap. Sri yang sedari tadi melihat pertengkaran itu langsung membujuk Rena agar Mim dibawa ke tempat yang aman. Kondisi Mim sudah tak memungkinkan untuk diajak bicara baik-baik.
“Maaf, aku bukan mau mendukung Mim atau bagaimana. Aku tau apa yang dia rasakan. Aku juga merasakan kejadian yang dia alami.” Sri mengajak mereka menuju sebuah bangunan yang sudah lagi tak berwujud. Sri hanya bisa menatap semua ini dan tak merasa jika tetes demi tetes air mata keluar.
“Bibi.”
“Panti Asuhan ini didirikan sekitar 30-an tahun yang lalu. Ayah mendirikan panti ini karena ingin menampung anak terlantar yang berkeliaran di sekitar sini. 14 tahun yang lalu, dia membawa dua anak malang yang baru ditinggal oleh ibunya. Dia Lam dan Mim. Dan kau tau, kedatangan mereka membawa berkah di tempat ini. Banyak orang yang akhirnya mulai perhatian ke panti asuhan yang dikelola oleh kedua orang tua kami.” Sri terdiam beberapa saat sebelum akhirnya tangis itu pecah. Luka dalam hati perempuan itu bukan main-main.
Lama perempuan itu menangis. Umar sendiri menunggu perempuan itu sedikit lebih tenang.
“Semua ini berubah saat Lesti datang ke tempat ini. Dia yang aku harapkan bisa membantu Yayasan ini, ternyata banyak melemparkan tuduhan yang gak benar. Sampai puncaknya, kebakaran yang melanda tempat ini. Beberapa anak asuh dari panti ini meninggal, dan anak Lesti juga menjadi korban. Dan dia dengan mudahnya bilang jika semua ini adalah keteledoran dari pengasuh dan pengelola.” Umar sendiri terdiam dan memandang Mbah Yani. Lelaki tua itu hanya tersenyum pada Umar.
“Aku sudah menduga, jika ada orang yang ingin menyingkirkan kedua anak dari Kasih.” Mbah Yani akhirnya bersuara.
“Dan pelakunya adalah Lesti dan teman-temanya.” Sri dengan lantang langsung mengutarakan semua ini. Hambali yang mengetahui semua ini langsung menenangkan sang istri. Tak baik jika dia terus marah dengan semua ini.
“Ibu yain jika pelaku pembakaran ini adalah mereka?”
“Siapa lagi Umar? Pasti mereka. Dan aku sebenarnya marah dengan seseorang yang bernama Wicaksono. Dia sama sekali tak bertagggung jawab sebagai lelaki. Bisa-bisanya dia berjudi dan menikmati semua ini di atas penderitaan istri dan anak-anaknya.” Sri langsung pergi dan tak kuat untuk mengingat semua ini. Perempuan itu melihat sang kakak yang kondisinya semakin hari semakin lemah. Geraknya juga terbatas.
“Mbak Narsih, mungkin saja dalam lisanmu bisa mengatakan memaafkan mereka. Tapi, dalam hati, aku tau kau pasti masih sakit hati. Aku mohon, kau jujur pada dirimu sendiri! Jujur apa yang sebenarnya dalam hatimu? Kau pasti masih menyimpan amarah ini pada keempat perempuan gak tau malu itu kan?”
Perempuan yng duduk di kursi roda hanya bisa menyebut nama Lam dan Mim. Dia ingin meminta maaf atas semua yang pernah terjadi di masa lalunya. Dia ingin bersimpuh di hadapan mereka berdua. Dirinya gagal memberikan rumah yang nyaman untuk tinggal.
Sri yang melihat pemandangan itu hanya bias menangis. Dia melihat kondisi sang kakak, tak tega dengan semua ini. Dia berjanji, akan membalaskan semua ini. Dia berjanji, akan membalaskan semua sakit hati yang keluarganya rasakan sejak tragedi itu.
“Aku akan membuat mereka bertekuk lutut di hadapanmu. Siapapun mereka, harus bertekuk lutut karena ulah mereka sendiri. Pegang janjiku Mbak! Aku siap digantung di bekas bangunan itu jika aku gagal.” Narsih menoleh. Dia meneteskan air mata setelah mendengar apa yang baru dikatakan oleh Sri. Tak lama, mereka berpelukan dan langsung menangis. Tak ada kebohongan di antara mereka kali ini. Narsih akhirnya bisa terbuka terkait apa yang selama ini mengganjal hatinya.
“Sri. Kenapa aku tidak bisa seperti dirimu? Kau begitu lantang untuk membasmi mereka. Aku tidak bisa.”