Lagi-lagi mereka. Kenapa mereka terus menghantui diriku? Kenapa mereka seperti tak bisa membiarkan rencanaku ini berjalan dengan baik? Ingin rasanya aku langsung melenyapkan mereka dari wilayah ini.
Mereka hanyalah pendatang baru. Mereka sok agamis. Aku sama sekali tak bisa membiarkan mereka untuk terlalu ikut campur dan membantu mereka. Orang yang membantu penjahat adalah penjahat. Jika mereka terus berada di barisan mereka, aku akan ikut melenyapkan mereka. Aku sama sekali tak peduli jika sampai mereka tak terima. Aku juga melihat sendiri mereka melakukan kejahatan dan aku sama sekali tak bisa melawan. Mereka juga harus merasakan hal yang sama.
***
Mim sendri akhirnya pergi. Lam hanya bisa mengikuti langkah dari adiknya. Dia sama sekali tak ingin jika Mim tak bisa mengendalikan diri. Sampai akhirnya mereka sampai di sebuah tempat. Tempat yang kali ini ditempati oleh Lesti. Lesti terlihat seperti orang yang tak memiliki jiwa.
Mim tersenyum melihat kondisi perempuan itu yang sudah tak lagi seperti dulu. Hisyam mantap menceraikan perempuan tersebut setelah fakta kebakaran tragis di panti asuhan itu terbongkar.
“Orang yang dulu berusaha menyingkirkan kita, malah membunuh anaknya sendiri. Orang yang dulu membenci kita. Sekarang dibenci oleh banyak orang. Orang yang membuat seorang wanita malang bertambah malang, kini tak lebih seperti orang gila.” Lesti hanya menoleh dan ketakutan melihat kedua orang yang kali ini berada di dekatnya. Lam dan Mim, dua orang yang masih belia kali ini berhasil membuat dirinya hancur. Mereka menggunakan cara lain untuk membuat dia seperti ini.
“Apa mau kalian? Kenapa kalian membuat aku menjadi seperti ini? Katakan! Apa mau kalian?” Lam sendiri tersenyum mendengar perempuan itu yang tampak nyaris histeris.
“Kami hanya mau kau merasakan apa yang dirasakan oleh ibu kami. Aku hanya mau kau menjadi seperti ibu kami.”
“Maksudmu?”
“Kau harus menebus semua kesalahanmu. Kau harus membayar semua yang pernah kau perbuat pada kami.” Lesti menggeleng dan langsung pergi. Mim sendiri dengan hentakan kakinya langsung membuat Lesti terjatuh. Perlahan, dia mendekat dan menjambak perempuan itu yang sudah lemah. Lesti hanya bisa meringis.
“Mim, aku minta maaf. Aku tidak pernah bersalah dalam kejadian itu.”
“Tidak bersalah? Apa kau tidak pernah memikirkan nasib ibuku dan Tante Ima? Apa kau tidak pernah memikirkan nasib keluarga pengelola Bintang Gemilang? Apa kau tidak pernah mekikirkan nasib anak yang tinggal di tempat itu setelah panti asuhan itu harus ditutup?”
“Mim, kau harus tau. Sejak kejadian itu, aku selalu dihantui perasaan bersalah. Sejak kejadian itu, aku sering mengalami mimpi buruk. Aku bahkan harus beberapa kali melaksanakan terapi ke profesional. Kau harus tau itu.”
“Aku tidak mau tau. Kau sudah tega membakar tempat itu. Itu artinya, kau sengaja ingin menghilangkan tempat tinggal yang nyaman untuk aku dan teman-temanku. Tidak ada yang namanya anak emas seperti yang disebarkan oleh beberapa orang yang tidak bertanggung jawab. Tidak ada yang namanya diskriminasi yang kami terima. Aku sebagai anak cacat, tidak pernah mengalami hal itu, sama sekali tak dibedakan.” Mim menatap wanita itu dengan tajamnya. Lesti hanya menangis dan terus meminta maaf atas kejadian yang dialami Mim beberapa tahun belakangan. Seluruh hidupnya penuh dengan air mata, terutama setelah kematin sang ibu.
“Asal kau tau, Mim dapat ruangan khusus bukan karena dapat perlakuan yang istimewa. Tapi, saat itu, kondisi kesehatannya memang mengkhawatirkan. Orang tua asuh kami tidak ingin teman-teman kami yang lain mengidap penyakit yang sedang Mim lawan. Tapi, dia sama sekali hak yang harusnya dia dapat dikurangi.” Mim sendiri tersenyum melihat Lesti terus bersimpuh. Dia kali ini bisa melihat seseorang yang membuat sang ibu begitu lemah kini juga mengalami hal yag sama.
“Sudah lama aku menantikan pemandangan seperti ini. Sudah lama aku menginginkan hal semacam ini. Kali ini semua terjadi dan aku lihat secara langsung.” Mim hanya menatap Lesti yang kali ini bisa menangis.