Desa ini harus hancur. Semua harus bertanggung jawab atas kematian ibu yang aku sayangi. Semua harus bertanggung jawab atas apa yang selama ini dialami oleh adikku. Aku sama sekali tidak rela jika mereka harus menjadi korban dari kesalahan yang bukan mereka lakukan. Aku tidak tau kenapa mereka mengucilkan kami? Kenapa kami harus dikucilkan?
Kenapa hukuman itu harus diarahkan pada orang yang sama sekali tak mengerti? Kenapa mereka menatap kami sebelah mata? Kami sendiri tak tau apa yang menjadi salah pada diri kami? Ibu jadi wanita yang begitu rendah karena ulah dari lelaki sialan yang bernama Wicaksono dan pelacurnya. Kenapa mereka aman-aman saja?
Aku tidak rela mereka bisa hidup bebas. Aku tidak rela mereka melenggang di desa ini di atas air mata dari mendiang ibu. Aku pastikan mereka akan menangis. Mereka akan bersimpuh di makam ibu dan hidupnya akan dipenuhi dengan penderitaan.
***
Di tempat berbeda.
Lam sendiri mengikuti Darti yang ingin sekali pulang. Dia sengaja membiarkan dia pulang karena ada sesuatu yang ingin dia tunjukkan. Sebuah kejutan yang selama ini dia tunggu-tungu. Kemarahan warga yang sudah siap untuk dilampiaskan pada wanita yang telah menyebabkan satu desa kena imbasnya.
Lam sendiri langsung memberikan isyarat yang berupa siulan. Sontak, warga yang berada di sekitar situ langsung menoleh dan menatap Darti secara tajam. Darti sendiri yang melihat tatapan itu kaget dan bingung. Apa yang telah terjadi?
“Waduh, ada pelacur papan atas di sini. Gak mau nih disambut dengan sambutan spesial?” Salah seorang wanita langsung mengucapkan kata-kata itu tanpa dia pikir. Riuh tepuk tangan langsung menghiasi sekitar balai desa. Mereka sudah menunggu saat-saat seperti kali ini.
“Masa gak mau sih? Dia aset di kampung kita. Selama ini kan dia jadi simpanan si penjudi, terus sudah membuat desa kita namanhya tercoreng. Ya buat apa sih, harusnya aset emas seperti ini kan kita manfaatkan. Lumayan nambah uang kas desa.” Gemuruh tawa langsung terdengar. Lisna yang saat itu juga berada di tempat itu sama sekali tak membela. Darti terus menatap sang adik dengan mata yang berkaca-kaca. Dia sangat berharap jika sang adik yang selama ini dia cintai bisa membelanya.
Tapi, semuanya sia-sia. Dia justru diam dan ikut tersenyum dengan kata demi kata yang begitu menyakitkan hatinya.
“Darti, kenapa? Berharap Lisna mau membantumu?” Rena menatap Lisna dan Darti secra bergantian. Dia tersenyum saat Lisna justru sama sekali tak mau memandang wajah sang kakak. Sakit hati perempuan muda itu sepertinya sudah menjadi tanaman yang cukup besar dan subur.
“Lisna, kenapa kau jadi seperti ini?”
“Semua kebaikan akan hangus oleh satu keburukan. Apalagi, keburukan yang kau lakuka itu keburukan yang bukan main-main. Kesalahanmu, sudah menutup semua kebaikanmu di masa lalu. Kau ingat, aku sebelum mendapat pelecehan dari orang yang memenangkan judi itu, aku sempat dijual. Aku jadi simpanan oleh banyak lelaki berduit. Aku heran, aku saja muak menjalani itu semua. Tapi, kau justru bias bersenang-senang menjadi wanita seperti itu. Ditambah lagi, kau menjadi wanita murahan justru di atas air mata istri sahnya. Kau tersenyum di atas anak-anaknya yang entah hari itu sudah makan atau belum.” Lisna akhirnya memilih pergi dan tak mau lagi berurusan dengan kakaknya. Kali ini, dia benci dengan perempuan itu. Teramat benci.
“Lisna.” Lisna sendiri tak lagi menghiraukan orang itu. Baginya, Darti tak ubahnya seperti orang lain. Bukan lagi siapa-siapa bagi dirinya.
“Darti, mau lari kemana kau? Adikmu sudah tak lagi menyayangimu.”