Alif Lam Mim

Zainur Rifky
Chapter #46

Amarah Mim

Terlihat jelas jika mereka sangat tertekan. Terlihat jelas jika mereka kali ini tak bisa hidup dengan ketenangan. Aku justru bisa tersenyum dengan kondisi mereka saat ini. Aku kali ini bisa bergembira dengan apa yang sedang mereka hadapi.

Jika mereka dulu bisa membuat hidup aku dan adik layaknya binatang yang sama sekali tak ada harganya. Hanya hinaan yang dulunya kami terima. Hanya tatapan tajam dan amarah yang dulu kami terima. Apa salah kami? Apakah ibu berbuat salah? Apakah ibu menjadi pelacur karena keinginannya sendiri?

Semuanya tidak benar. Semuanya hanya akal-akalan dari lelaki hina semacam Wicaksono. Aku saja malas menyebut namanya. Aku saja ingin rasamya menghajar lelaki itu hinga babak-belur. Sama seperti dia memperlakukan kami.

Ibu sudah puas setiap hari menjadi bulan-bulanan. Aku dan Mim bahkan tak jarang menjadi sasaran amarahnya jika Ibu tak bisa lagi untuk dibuat babak-belur. Walaupun kami meronta, dia sama sekali tak ingin mendengarnya. Dia begitu senang saat kami hidup dalam bulan-bulanan. Adik hampir saja mati saat itu.

Ayah mana yang tega seperti itu? Ayah mana yang justru dengan mudahnya membuat anaknya nyaris meninggal di tanganya sendiri? Itu bukan Ayah, tapi tak lebih dari musuh dan lelaki yang paling bejat.

Darti, dia yang membuat semuanya menjadi seperti ini. Dia juga harus ikut bertanggung jawab. Dia juga harus ikut menderita dan lebih menderita dari kami. Darti, permainan ini sudah dimulai. Permainan ini akan semakin seru. Aku yakin kau akan mati perlahan. Aku yakin, kau akan merasakan apa yang pernah ibu Kasih rasakan.

***

“Alif, kita tidak punya banyak waktu. Kita harus ketemu Abi dan Mbah Yani. Semua ini harus segera selesai.” Alif hanya bisa mengiyakan perkataan Umar. Tak ada waktu untuk berleha-leha kali ini. Semua harus segera. Ini sudah gawat. Kedua bocah itu sudah membalaskan semua dendam yang selama ini mereka rencanakan.

Satu jam perjalanan menggunakan motor, mereka akhirnya tiba di rumah Kyai Rosyid. Kyai Rosyid sendiri sudah menungu mereka kali ini.

“Umar, Alif, silahkan masuk! Ada seseorang yang ingin juga bertemu dengan kalian.” Umar sendiri terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Abinya. Seseorang? Ingin bertemu dengannya? Siapa gerangan? Apakah seseorang yang sangat penting?

“Siapa Abi?”

“Bukan orang asing untukmu. Masuklah! Kau lihat sendiri!” Umar yang diikuti Alif langsung memasuki ruangan yang tak begitu besar. Terlihat seorang lelaki tua yang memang tak asing denganya. Dia adalah Mbah Yani.

“Mbah Yani? Mbah Yani ada di sini? Padahal nanti mau mampir ke rumah.”

“Umar, Ummi kamu itu sudah kenal lama sama aku. Aku hanya ingin sekedar silaturahmi saja. Lagipula, gak ada salahnya kan menyambung silaturahmi?” Umar sendiri mengiyakan. Dia tersenyum dan langsung ingin berbincang terkait Lam dan Mim.

“Mbah, terkait Lam sama Mim.”

“Lam dan Mim. Dua anak yang sangat malang. Apa yang sudah terjadi dengan mereka? Apakah pembalasan itu sudah dimulai?”

“Sudah Mbah. Ini masyarakat desa sudah mulai ketakutan. Apalagi teror itu masih saja berlangsung.”

“Teror Mbak Kasih. Sepertinya itu masih saja dilaksanakan. Kasihan ibunya.”

“Apa yang harus dan bisa kita lakukan?”

“Kita harus bertemu dengan kedua bocah itu. Mau tidak mau, kita harus bersinggungan dengan bocah malang itu. Mungkin tidak sekarang. Kalian, tolong atur waktu! Waktu kita sama sekali tidak banyak.” Alif terdiam. Waktunya memang tidak banyak. Tapi, bagaimana mendekati kedua bocah itu? Dia sudah pernah berbuat nekat. Justru hal tersebut membuat dirinya harus menerima konsekuensinya.

“Alif, ada apa Nak?”

“Maaf Kyai, mohon maaf semuanya. Bagaimana kita mendekati kedua bocah itu? Sedangkan saya sendiri sudah beberapa kali mencoba, tapi hasilnya selalu seperti itu. Bahkan, yang ada saya malah dibuat celaka sama Mim.”

Lihat selengkapnya