Amarah itu. Amarah yang sangat menakutkan untuk siapapun. Amarah dari seseorang yang pernah aku sakiti. Seorang bocah yang dulunya aku sia-siakan kali ini bisa mengeluarkan kata yang begitu merendahkan. Seorang bocah yang aku kenal sebagai bocah yang sama sekali tak bisa berbuat apapun, kali ini bisa membuat aku ketakutan. Bukan hanya ketakutan, tapi juga membuatku menangis dan rugi.
Kedua bocah yang dulu dengan berbagai cara agar aku bisa menyingkirkannya, sekarang, dihadapanku sendiri, dia ingin membunuhku. Kesalahan yang pernah aku perbuat pada mereka sekarang justru berbalik pada diriku dan orang yang aku sayangi. Bahkan, keluargaku kali ini tak punya rumah untuk sekedar tinggal. Semuanya telah digadai untuk menebus apa yang pernah aku perbuat.
Aku masih ingat dengan jelas, anak Kasih yang bungsu, aku buat dia meronta dengan segala macam siksaan. Dia yang terlahir dalam keadaan cacat, aku buat dia semakin tidak berdaya. Dia harus menerima amarahku yang meledak-ledak hingga dia nyaris kehilangan nyawa.
Apakah maskih ada maaf darinya? Apakah masih ada kesempatan untuk menebus semua kesalahan yang pernah aku lakukan? Darti, karena wanita itu aku jadi gelap mata. Aku yang sudah beristri justru bisa terlena dengan semua yang dia miliki. Aku bahkan tidak ingat bagaimana banyak orang yang ada di desa ini mengantri untuk mendapatkan wanita seperti Kasih.
Nak, maafkan aku! Maafkan aku yang tak bisa melaksanakan tugas sebagai ayah. Maafklan aku yang tak becus untuk menghadapi semua ini. Aku akan menerima semua amarah yang ada dalam hatimu.
***
Amarah itu sudah menyala. Amarah itu sudah semakin menyala-nyala. Tangan itu sudah melayang dan menghantam tubuh Wicaksono beberapa kali. Cacian dan hinaan kali ini keluar dari mulut anak cacat yang dulunya sering menjadi pelampiasan Wicaksono.
Wicaksono hanya bisa menangis dan terus mengucapkan kata maaf. Tak bisa dia bayangkan, betapa sakit hatinya anak ini saat itu. Anak yang seharusnya mendapat perlindungan darinya ternyata harus mendapat siksaan dan amarah dari dirinya.
“Mim, cukup! Jangan lagi seperti ini Nak! Aku mengaku salah. Aku mengakui semua kesalahanku pada kalian.”
Apa yang dikatakan Wicaksono sama sekali tak mendapat respon dari Mim. Yang dia ingat, lelaki ini terus menyiksanya walaupun dia sudah meronta dan tak berdaya. Kali ini, buat apa dia mendengarkan ocehan dari lelaki ini? Tak ada gunanya. Semua tidak bisa membalikkan keadaan.
“Permintaan maafmu tidak akan membuat ibu hidup lagi. Permintaan maafmu tidak akan pernah membersihkan nama ibu di hadapan orang desa. Sekali lagi, permintaan maafmu, tidak akan pernah membuat keadaan masa klecilku bahagia. Semua gara-gara kau lelaki bangsat.” Pukulan itu terus dilayangkan pada Wicaksono. Kali ini, lelaki itu hanya bisa pasrah dengan amarah itu. Layaknya Kasih dan anak-anaknya yang hanya bisa meronta saat dirinya melampiaskan semua emosi.
“Kenapa kau bisa menikah dengan ibu kalu kau hanya membuat hidupnya semakin tersiksa? Kenapa kau menikah dengan ibu kalau kau sama sekali tak mencintainya? Dasar lelaki gak tau diuntung.” Lam memberikan hadiah tiga buah tamparan. Tamparan itu melengkapi tamparan yang sudah dilayangkan oleh Mim. Tamparan itu membuat Wicaksono semakin pasrah. Amarah dari kedua anak Kasih membuatnya semakin berada dalam titik terendah dalam hidupnya.
“Maafkan aku! Aku tidak bermaksud membuat semua ini pada kalian. Aku menyayangi kalian.” Lam langsung menjambak rambut lelaki itu. Dengan kasarnya, dia meminta lelaki itu untuk berdiri.
“Aku masih ingat saat kau menyiksa adik hingga dia tak bisa berjalan. Sudah tau dia cacat dan kesulitan jalan, tapi kau membuat dia semakin tidak berdaya. Apa yang kau mau?”
“Mim sudah sembuh kan. Dia bia jalan kan? Tapi, kenapa dia sekarang jadi seperti ini?”